5. Kalian Jual, Aku Borong.

1789 Kata
Dia terjaga saat mendengar suara ketukan pintu. Sejenak Dia bingung, karena terbangun di kamar yang asing. Tatkala pandangannya membentur lukisan mural di dinding, Dia langsung ingat di mana dirinya berada. Ia sekarang ada di Citeko. Di rumah masa kecilnya. "Iya, sebentar," sahut Dia tatkala ketukan pintu kembali terdengar. Ia segera membuka pintu. Ternyata Bik Titin yang mengetuknya. "Maaf, Bibik mengganggu istirahatnya Neng Dia. Pak Suhar meminta Bibik memanggil Eneng untuk makan malam." Bik Titin berdiri di ambang pintu dengan jemari saling menjalin. "Hah, makan malam? Bukannya ini masih sore?" tanya Dia. Perasaan ia baru memejamkan mata beberapa menit saja. "Sekarang sudah pukul tujuh malam, Neng. Makanya Bapak meminta Bibik membangunkan Eneng. Takut Eneng kelaparan dan malamnya tidak bisa tidur." Bik Titin tertawa. "Jam tujuh malam?" Dia terperanjat. Ia pun memindai jam di dinding. "Astaga, benar-benar sudah malam rupanya." Dia menepuk keningnya. Ia ketiduran cukup lama rupanya. "Saya cuci muka sebentar baru ke ruang makan ya, Bik?" ucap Dia seraya berjalan ke wastafel kamar mandi. "Iya, Non. Semuanya sudah menunggu di meja makan," terang Bik Titin. "Semuanya?" Gerakan Dia terhenti. "Memangnya siapa saja yang ada di meja makan, Bik?" tanya Dia penasaran. "Anu, ada Bapak, Ibu, Neng Kencana, Neng Dahayu serta keluarga Ilmani lengkap." "Keluarga Ilmani itu siapa, Bik?" Dia membasuh wajahnya. Menepuk-nepuk lembut kedua matanya untuk menyamarkan muka bantalnya. Setelah merasa lebih segar, Dia mengeringkan wajahnya dengan handuk kecil. "Itu lho, keluarga Pak Jafar Ilmani dan Bu Sekar. Ayah Bayu dan Wahyu. Bapak ingin memperkenalkan Eneng pada keluarga mereka," terang Bik Titin. Dia mendecakkan lidah. Moodnya langsung merosot mendengar nama Bayu. "Bayu itu kok ada terus di rumah ini sih, Bik? Apa keluarga mereka masih ada hubungan kerabat dengan Ayah." Dia mengoleskan sedikit moisturizer agar wajahnya terlihat lembab, seulas lip balm berwarna netral, dan sedikit blush on agar pipinya terlihat segar. Dia juga memperbaiki sanggul cignon-nya agar kembali rapi. "Bukan kerabat sih, Neng. Tapi keluarga mereka memang sudah akrab sejak dulu. Dengar-dengar Pak Yusuf juga ingin menjodohkan salah satu anaknya dengan anak-anak, Bapak. Entah dengan Neng Kencana atau Neng Dahayu. Pokoknya, siapa sajalah yang mau," tutur Bik Titin lagi. Pantas saja mereka akrab. Kedua keluarga akan segera berbesanan rupanya. "Kalau Wahyu, dia itu siapa, Bik?" "Wahyu itu saudara kembarnya Bayu. Menurut cerita Bu Sekar, Wahyu lahir tujuh menit setelah Bayu." Seorang Bayu saja sudah membuatnya sakit kepala. Bagaimana jika ada dua? Dia mumet sendiri memikirkannya. "Bibik duluan saja. Saya ingin berganti pakaian. Yang ini sudah kotor terkena keringat. Nanti saya ke ruang makan sendiri saja," kata Dia. "Baik, Neng. Nanti dari kamar ini Eneng jalan lurus. Setelah bertemu ruang tamu Eneng belok kanan. Ruang makannya ada di sana. Bibik permisi ke dapur dulu." "Baik, Bik. Saya tidak lama kok. Hanya mengganti pakaian saja," kata Dia lagi. Bik Titin mengangguk dan berlalu. Sepeninggal Bik Titin, Dia mengeluarkan sebuah sweater rajut berwarna krem dari koper. Ia menukar cardigannya dengan sweater berkerah tinggi favorit ibunya. Untuk bawahan, ia menggunakan celana jeans yang sangat pas membalut pinggul dan kakinya. Seperti pesan Oma Wardah. Ia harus membuat ayahnya teringat akan ibunya. Dengan begitu ayahnya akan teringat akan tanggung jawabnya terhadapnya. Dia menarik napas dua kali sebelum membuka pintu kamar. Setelah lima belas tahun, ini adalah pertama kalinya ia bertemu lagi dengan ayahnya. Tidak bisa dipungkiri, Dia sangat nervous di momen-momen seperti ini. Dia berjalan sesuai petunjuk yang diberikan Bik Titin. Baru melangkah sampai di ruang tamu, ia sudah mendengar keriuhan dari arah ruang makan. Canda tawa terdengar penuh keakraban. Dia gamang. Ia merasa seperti orang asing yang terjebak di rumah ini. "Kencana tahun ini usianya sudah berapa?" "24 tahun, Tante." "Wah sudah matang juga ya? Masih mau membantu ayahmu bekerja atau mau menjadi menantu Tante saja? Bayu juga sudah berusia 30 tahun. Sudah sangat pantas membina rumah tangga. Tante juga sudah kepingin sekali menggendong cucu." "Cana sih terserah Ayah saja. Pokoknya Cana ikut apa pun kata ayah." "Jangan mengikuti apa kata Ayah, Cana. Ikutilah suara hatimu. Buatlah keputusan berdasarkan keinginanmu sendiri. Apapun keputusanmu, Ayah akan selalu mendukungmu. Ayah akan bahagia jika kamu bahagia." "Terima kasih, Yah. Ayah adalah Ayah yang terbaik di dunia." Ternyata hati ayahnya masih selembut dulu. Berbanding terbalik dengan ibunya yang dingin dan acuh. Lihatlah, terhadap anak tirinya saja ayahnya bisa bersikap selembut itu. Apalagi terhadap anak kandungnya sendiri bukan? "Lho Neng Dia kok berhenti di sini? Ruang makannya di depan, Neng. Ayo, Bibik antar." Bik Titin tiba-tiba saja menghampirinya. "Iya, Bik." Dia sedikit lega. Dengan adanya Bik Titin ia jadi tidak terlalu canggung karena berjalan sendirian. Dia mengekori Bik Titin hingga ke ruang makan. Kehadirannya membuat suasana menjadi hening. Percakapan pun seketika terhenti. Akan halnya Dia. Begitu banyaknya orang yang duduk di meja makan, pandangannya hanya mengarah pada satu sosok— ayahnya. Sekonyong-konyong, waktu seakan berhenti. Ayahnya menatapnya tanpa berkedip. Berbagai macam emosi tergambar jelas di kedua matanya. Satu emosi yang sangat jelas terlihat adalah ; kepedihan yang perlahan berganti menjadi tatapan tidak percaya. Ayahnya menatapnya tanpa mengucapkan sepatah pun kata. Dia juga tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sebelumnya ia memang telah melihat wajah ayahnya yang sekarang melalui media sosial yang ia baca. Namun melihatnya secara langsung seperti ini, rasanya berbeda. Seperti perkiraannya, waktu lima belas tahun telah membuat beberapa perubahan pada wajah ayahnya. Ada kerutan-kerutan di kening dan sudut-sudut mata ayahnya. Juga rambutnya yang sekarang memutih. Namun selebihnya, semua tetap sama. Wajah inilah yang dulu ia rindukan setiap harinya. Semoga saja kehadirannya akan membuat ayahnya menyayanginya kembali seperti dulu. Kepada anak-anak tirinya saja ayahnya bisa bersikap sehangat itu, apalagi terhadap dirinya bukan? Senyum Dia mengembang. Ya, ayahnya pasti akan menyayanginya. Selama lima belas tahun tidak mencarinya, pasti itu karena ayahnya sangat sibuk merintis usaha-usahanya. Bukan mengabaikannya karena telah memiliki keluarga baru seperti yang dikatakan ibunya. Ya, pasti begitu! "Apa kabar, Yah?" Dia memecah keheningan dengan menyapa ayahnya penuh kerinduan. "Baik. Ayo, duduk. Kita akan makan malam bersama," sahut ayahnya singkat. Dia terpana. Kedua tangannya yang tadi sedianya ingin memeluk ayahnya, perlahan terkulai di sisi tubuhnya. Ayahnya tidak terlihat antusias menyambutnya. Alih-alih memeluk, ayahnya bahkan tidak bangkit dari kursinya. Baik, ayo duduk. Kita akan makan malam bersama. Seperti inikah reaksi seorang ayah yang tidak bertemu dengan putri kandungnya selama lima belas tahun lamanya? Sepertinya apa yang ibunya katakan memang benar. Istimewa Kencana dan Dahayu tampak tersenyum dengan air muka mengejek. Keduanya seolah-olah mengatakan bahwa dirinya bukan siapa-siapa di mata ayahnya. Kamu tidak boleh kalah, Dia. Saat ini kamu tidak punya siapa pun dan apa pun lagi, kecuali harga diri. Pertahankanlah itu. Dia menarik napas dua kali, mengangkat dagunya tinggi dan melangkah anggun ke meja makan. Ia meniru gaya dingin ibunya dengan sempurna. Ia tidak akan membiarkan emosi mengalahkan otaknya. "Selamat malam semuanya." Dia menarik kursi kosong di sebelah seorang laki-laki muda berparas serupa Bayu. Walau memiliki wajah yang sama, dia yakin kalau laki-laki ini bukan Bayu. Air muka lelaki muda ini tampak tenang. Tidak sinis seperti lelaki di sampingnya. "Yusuf, Sekar, Wahyu, kenalkan ini putriku, Dia. Kalau Bayu sih, pasti sudah kenal." Pak Suhardi memperkenalkan putri sulungnya. Ayahnya tidak mau menyebut nama lengkapnya. "Hallo, semua. Kenalkan, saya Dia. Dia Nan Dinanti Suhardi." Dia merapatkan tangan di d**a. Memperkenalkan dirinya sopan. Dia juga dengan sengaja mengucapkan nama lengkapnya. Ada kepuasan tersendiri di hati Dia, tatkala melihat Kencana dan Dahayu yang memberengut. Nama itu memang terdengar sangat istimewa. "Kok Ayah menamai Teh Dia dengan nama aneh begitu sih? Tidak umum." Dahayu yang penasaran langsung bertanya. "Menurut almarhumah Ibu, waktu itu Ayah sangat menantikan kehadiran saya di dunia. Karena itulah, begitu saya lahir, Ayah spontan memberi nama ini. Ibu juga bercerita bahwa Ayah bilang, dengan nama ini, ia tak perlu repot menjelaskan maknanya jika ada yang bertanya. Nama saya sudah menjelaskan artinya sendiri," jawab Dia dengan tenang. "Benar juga ya?" Pak Yusuf tertawa. "Kenalkan, Om bernama Yusuf, dan ini istri Om, Sekar. Nah, pemuda yang wajahnya mirip Bayu ini adalah Wahyu, adik kembar Bayu. Seperti kata ayahmu tadi, Bayu tidak perlu diperkenalkan lagi, bukan? Toh tadi dia yang menjemputmu," kata Pak Jafar sambil menyambut Dia ramah. "Kalau kamu ingat, kita dulu pernah beberapa kali berjumpa. Waktu kamu tingginya masih segini sih." Pak Jafar menurunkan tangannya setinggi kursi makan. "Begitu ya? Maaf, saya tidak ingat," jawab Dia sopan. "Kamu mirip sekali dengan ibumu saat muda. Tante tadi seolah-olah kembali ke masa lalu." Bu Sekar memandangi dia dengan tatapan seperti bermimpi. "Sikap dan bahasa tubuhnya juga sama 'kan, Bu?" celetuk Bayu. "Kamu pernah bertemu dengan Ibu saya?" Dia menjinjitkan alisnya. "Pernah. Ibumu dulu beberapa kali ke kantor ayah bersama ayahmu," pungkas Bayu. "Iya. Dia adalah cerminan Sahila di masa mudanya." Bu Sekar setuju dengan penilaian sang putra. "Berarti Ayah cuma dapat hikmahnya saja dong? Soalnya wajah Teh Dia semua diborong ibunya." Dahayu tiba-tiba menyeletuk. Ada ejekan samar di kedua matanya. "Tidak juga. Kata Ibu, bentuk hidung saya, sama persis dengan Ayah. Panjang lurus dari pangkal hingga ujung, tanpa lekukan atau tonjolan. Menurut ibu, istilahnya dulu apa ya?" Dia mengerutkan kening, pura-pura lupa. "Hidung aristokrat," sahut Pak Suhardi singkat. Sejujurnya dulu dirinyalah yang mengatakan istilah itu pada Sahila sebagai candaan untuk memuji dirinya sendiri. "Nah, itu." Dia tersenyum puas saat melihat wajah Dahayu seketika berubah kesal. "Ayo kita makan. Jangan mengobrol terus. Nanti makanannya menjadi dingin." Pak Suhardi mengganti topik pembicaraan. Tidak etis rasanya membahas perihal mantan istri, sementara istri sahnya ada di sini. "Oh iya. Ayo kita makan dulu." Bu Sekar yang sadar kalau Pak Suhardi tidak enak dengan istrinya, menyambut perubahan suasana. Dalam sekejab percakapan di meja makan terhenti. Masing-masing orang mengisi piring dengan makanan sambil berbincang ringan. Suara dentingan alat-alat makan terdengar seriring tawa merdu Kencana dan Dahayu. Keduanya mendominasi percakapan. "Dia di sini liburan atau apa?" Wahyu bertanya ringan. Sedari tadi sebenarnya ia sudah mencuri-curi pandang pada Dia. "Tinggal untuk menghindari kejaran dari para debt collector kan, Teh?" cetus Dahayu lagi. Dia menghentikan suapannya. Ayahnya telah memberitahu semua orang tentang masalahnya rupanya. Kedua mata Dia mendadak panas. Ayahnya tidak berusaha menjaga harga dirinya. "Dayu, jangan sembarangan berbicara!" Bu Isnaini menegur putri bungsunya. Anaknya yang satu ini memang susah sekali diatur. "Dayu tidak sembarangan bicara kok, Bu. Dayu mendengar sendiri pembicaraan Ayah dengan seseorang di telepon. Betul kan, Yah?" Dahayu meminta dukungan ayahnya. Ada kepuasan di kedua bola matanya saat memandang sang ayah. Teteh dari negeri antar berantah ini pasti akan malu karena rahasianya ia buka di depan umum. Semoga saja teteh-tetehannya ini segera angkat kaki dari rumahnya karena malu. "Dayu benar. Saya ke sini karena ingin ayah membayar semua hutang-hutang saya. Selama sebelas tahun ini, ayah sudah mengurus dan membiayai kalian semua. Sekarang gantian, Ayah yang akan mengurus masalah saya." Dengan hati yang dikuat-kuatkan, Dia membalas Dahayu. Karena semua orang kompak menyerangnya, ia akan membela dirinya sendiri. Mereka semua menganggapnya mata duitan? Baiklah, akan ia wujudkan keinginan mereka semua. Ia akan mengambil semua hak-haknya. Terlanjur basah, ia akan nyebur sekalian saja!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN