5. Secercah Perhatian.

1127 Kata
Aku hanya wanita bodoh yang terus saja bodoh. Pandangan mereka tentangku selalu sama. Aku, Rara yang tak bisa apa-apa. Aku mencintai seorang pria, dia galak, tapi ganteng. Rasa cinta ini ku pendam semakin dalam, aku tau ia sangat membenciku. Aku selalu salah di matanya. Disisi lain, aku merasa senang kala di dekatnya. Muhammad Husein Hanif, namamu akan setia ku kurung dalam hatiku. Walau hatimu, tak terbesit namaku. Sekali lagi, aku adalah gadis bodoh. Sudah di perlakukan semena-mena, tapi tetap menyimpan cinta. Dalam sujudku, aku selalu meminta, semoga suatu saat kau akan baik padaku. Entah kapan itu, untuk saat ini, benci aku sepuasmu, hina aku sepuasmu, marahi aku sepuasmu, hingga aku benar-benar bisa pergi jauh dari mu. Rara Azizah. Rara termenung dalam kamarnya. Bergelung pada selimut yang membuatnya damai. "Kak Rara, buatin aku s**u!" Haidar memasuki kamar Rara dengan berteriak. Rara bangun, masih jam sepuluh malam. Tapi, matanya sudah sangat mengantuk. "Minta sama mama aja lah," suruhnya pada Haidar. "Mama nyuruh aku minta sama Kaka." jawab Haidar. "Ayo kak. Aku lapar nih," mau tak mau, dengan malas Rara bangkit dari rebahannya. Ia berjalan gontai menuruni tangga. Membuatkan s**u untuk adiknya. Ternyata, Haidar sangat menguji kesabarannya. Tidak hanya menyuruhnya membuatkan s**u, Haidar memintanya untuk menemani main PS. Rara sudah berkali-kali memejamkan matanya karena ngantuk, tapi Haidar segera menepuk pipinya dan berteriak 'jangan tidur, aku takut. Huff, bayi besar yang sangat merepotkan. Rara mengambil ponselnya. Membuka aplikasi w******p. Tidak ada pesan masuk, karena memang ia tak punya teman. Kling! Baru aja akan meletakkan hp nya, satu pesan masuk dari seseorang yang sejak tadi ia pikirkan. Kak Husein?: Jam segini masih online? chat sama siapa?. Satu pesan dari Husein membuat ia mengerutkan alisnya. Perasaan, dia baru on. Udah di todong aja sama pertanyaan tuduhan. Rara?: Sama setan. Entah keberanian dari mana, Rara membalas demikian. Kak Husein?: Letakin, tidur. Udah malem. Rara?: Kalau bisa, aku udah tidur dari tadi. Panggilan vidio dari Kak Husein. Rara berdecak sebal. Husein ini tak mengerti keadaan hatinya yang kesal, dan raganya yang lelah. Dengan malas, ia memencet tombol merah di layar ponselnya. Malas bertatap muka dengan Husein. Rara tak tau saja, bagaimana mencak-mencaknya Husein di sebrang sana saat dia meriject panggilan Videonya. Jam sudah menunjukkan tengah malam. Namun, Haidar tak kunjung mau tidur. Dengan kesal, Rara berlari menuju kamarnya. Di bawah, Haidar sudah menangis dan menjerit. 'Dasar bocah cengeng' dumel Rara membanting keras pintunya. Ia menyumbat telinga dengan earphone yang di setel lagu keras. Memejamkan matanya karena besok harus masuk pagi. Kadang Rara berpikir. Kapan malam terus tanpa pagi. Rara hanya ingin tidur saja. Di pagi harinya, Rara sudah siap dengan seragam sekolahnya. Matanya sangat berat, efek mengantuk. Melangkahkan kakinya keluar kamar. Ia di kejutkan oleh papanya yang berdiri menatapnya tajam. "Selama ini papa terlalu baik sama kamu. Tapi, kamu malah ngelunjak," desis papa Rara. "Sejak kapan kamu mulai kerja? kamu ingin menjatuhkan citra papa sebagai pengusaha yang sukses hah?" "Papa jangan kebanyakan drama deh!" kesal Rara. "Sudah berani bantah papa, hem? selama ini kurang papa kasih kamu uang, sampai kamu kerja kayak gitu?" teriak laki-laki paruh baya itu. "Yang papa maksud, uang sepuluh ribu tiap hari tanpa sarapan? kalau papa tak sudi aku disini, bilang aja. Jangan buat aku mati perlahan karena kelaparan. Karena akan jatuh citra papa yang papa banggakan." Plak! Rara memegangi pipinya yang sakit karena tamparan papanya. "Terimakasih tamparannya pa. Papa hebat," Rara berlari meninggalkan papanya. Dulu, saat ia kecil, ia sangat sering membangga-banggakan papanya yang bagai superhero. Tapi kini, untuk menyebut laki-laki itu sebagai 'Papa, ia sudah muak. Husein yang melihat perdebatan dari ruang tamu, hanya menatap tajam papa Rara. Sebelum ia mengejar kepergian Rara. "Rara tunggu!" teriak Husen. Rara diam, jantungnya bertalu-talu. Selalu seperti itu. Ia sembunyikan dengan menundukkan kepalanya. "Aku antar ke sekolah, ayo masuk mobil." Rara enggan menyahut, ia melanjutkan langkahnya menjahui Husein. Husein menariknya kembali. Menatap Rara dengan tajam. Ia paling tidak suka di bantah. "Jangan marahin aku seperti mereka kak. Hatiku sudah sakit, hiks hiks." tiba-tiba Rara terisak sambil membekap mulutnya. Sebenarnya ia malu menangis dihadapan Husein. Pasti Husein akan lebih merendahkannya. "Siapa yang akan membentak mu? kaka hanya akan mengantarmu ke sekolah." ucap Husen melembutkan suaranya. Husen mengumpat dalam hati. Kenapa ia tak pantas berbicara lembut. Mungkin memang setelan mulutnya sudah ngegas dari lahir. Rara mengikuti Husein memasuki mobil. Husein membuka kotak makan yang ia bawa. Nasi serta lauk pauk yang bergizi. Mamanya lah yang memasakannya. Dijamin rasanya tak mengecewakan."Buka mulut kamu, aku suapin!" titah Husein. Rara menurut, ia membuka mulutnya menerima suapan dari Husen. Lagi, jantung Rara rasanya mau copot ketika di perlakukan lembut oleh orang yang namanya selalu ia minta pada-Nya. Rara mencoba membiasakan hatinya. Semoga ia tak larut dalam perasaan yang di porak-porandakan Husein. Setelah makanan habis. Husein menyerahkan sebotol s**u untuk Rara. Rara menolak, ia tak suka s**u. Tapi, tatapan tajam Husen membuatnya meneguk s**u itu. Rasa amis membuatnya mual. Ia kembali ingin menangis, kenapa ia terjebak bersama orang pemaksa tapi sangat ia damba?. "Hijabnya berantakan. Benerin dulu!" titah Husein. Rara segera membenarkan hijabnya yang memang miring. Husein melajukan mobil menuju sekolah Rara dalam keadaan hening. Sesekali ia mengamati wajah ayu Rara tanpa balutan make up sedikitpun. Andai Rara adalah anak mamanya. Pasti, Rara sudah di perlakukan seperti berlian oleh mamanya. Dijaga, tidak dibiarkan tergores sedikit pun. "Jangan turun dulu. Ini kartu debit untuk kamu. Gunakan sesukamu, itu milikmu." Husein menyerahkan kartu debit yang sudah atas nama Rara pada Rara. "Ini bukan milikku." "Jangan membantah, atau kaka akan marah. Dan kalau sampai kaka tau kamu tak menggunakan uang dalam kartu itu, siap-siap kaka kasih hukuman. Tidak ada lagi yang namanya makan roti. Kamu harus makan nasi sehari tiga kali. Tidak boleh melewatkan minum s**u. Nanti kaka belikan. Kaka akan pantu kegiatan kamu terus. Hindari pekerjaan berat. Jangan bekerja lagi. Cukup kamu belajar yang rajin, jangan memaksakan diri, Sana masuk ke kelas!" ujar Husen panjang lebar. Rara menatap tak berkedip kearahnya. "Ini ada vitamin, biar kamu gak ngantuk. Kamu pasti begadang kan tadi malam?" tanya Husein yang tepat sasaran. Setelah menerima vitamin dari Husein, Rara segera melenggang pergi. Dalam perjalanan menuju kelas ia menundukkan kepalanya, menyembunyikan raut berbinar diwajahnya yang kian bersemu. Kelemahan wanita tetap sama. Yaitu perasaan. Husein menatap punggung Rara dengan pemikiran yang berkecamuk. Gadis itu seakan punya magnet yang bisa mengikat dirinya. Rara, gadis lugu mendekati bodoh itu dengan tak tau diri menari-nari di pikirannya. Melihat Rara sedih, dirinya juga sedih. Tapi,rasa perhatiannya selalu tertutup oleh rasa gengsi. Husein masih menimang apa yang harus dia lakukan. Ia sudah terjebak terlalu dalam pada gadis itu. Dibalik kasarnya Husein, ada rasa yang sulit untuk djelaskan untuk Rara. Sesampainya di kelas, Rara sudah ditodong Aldrik. Aldrik menatap Khawatir kearah Rara yang pipinya terdapat luka lebam. Rara tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya saat ada yang perhatian padanya. Bagi Rara, perhatian adalah hal yang langka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN