44. Dijodohkan?

1610 Kata
Merasakan hangatnya memeluk tubuh ini, dan mencium wangi aroma tubuh Aiden yang sangat menenangkan. Deema suka wangi ini, wangi yang menyejukkan hatinya. Ia tidak benar-benar marah kepada Aiden. Ia pun kesal dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menenangkan Aiden disaat emosi besar seperti itu. Tapi, pada saat ia melihat ketulusan Aiden yang terus meminta maaf kepadanya. Hati Deema pun luluh. Deema bisa merasakan Aiden mengusap bagian belakang kepalanya. ''Maaf, gara-gara aku, kamu harus ngerasain sakit.'' Deema melepaskan pelukannya. ''Maaf, Mas. Aku juga salah di sini.'' Aiden mengusap air mata Deema sambil tersenyum. ''Kamu boleh pukul aku sepuas kamu. Biar sama-sama ngerasain sakit.'' Deema menggeleng. ''Aku enggak selebay itu,'' katanya yang saat ini masih bisa tersenyum. Tak lama, suster tadipun dag. Memberikan Aiden paperbag kecil berwarna biru tua yang bertuliskan dan berlogokan rumah sakit ini. ''Permisi, Pak. Ini ada salep gel yang harus di oleskan tiga kali sehari. Ada obat anti biotik nya juga. Jangan lupa buat ganti perban beberapa jam sekali.'' ''Terimakasih, suster,'' ucap Deema. Suster itupun mengangguk. ''Lekas sembuh, Bu. Hati-hati dalam berkendara ya. Saya permisi.'' Selesai suster itu pergi dari hadapan mereka, Aiden dan Deema saling menatao satu sama lain. ''A--ayo pulang.'' Ajak Aiden sedikit gugup. Deema pun mengangguk. Ia dibantu oleh Aiden turun dari brankar dan berjalan pelan-pelan. ''Mas, aku memang setua itu ya? Kenapa semua panggil aku bu?'' tanya Deema yang tidak habis pikir. Padahal wajahnya masih sangat imut seperti ini. Aiden terkekeh dengan pertanyaan Deema. ''Kamu tahu sendiri, setiap orang yang baru berinteraksi sama kita, mereka pasti panggil kamu, Bu. Kalau saya tidak keberatan karena saya sudah terbiasa.'' ''Hmmm ... Berarti aku juga harus terbiasa?'' Aiden mengangguk. Ia membukakan pintu mobil untuk Deema. ''Harus terbiasa,'' jawab Aiden. ''Terimakasih, '' kata Deema kepada Aiden karena telah membukakan pintu mobil untuknya. Tak lama, Aiden pun masuk dan duduk di kursi pengemudi. Aiden tak lupa memakaikan Deema sabuk pengaman dengan baik dan tepat. Sama halnya dengan dirinya. ''Mau maafkan saya?'' tanya Aiden. Deema mendengus kesal. ''Baru aja tadi minta maaf ngomongnya pakai 'aku' sekarang masa 'saya' lagi. Gak asik banget sih, Mas.'' ''Jadi, harus pakai a--aku?'' tanya Aiden dengan ragu. Deema pun tersenyum dan mengiyakan. Aiden membuang napasnya panjang. Ia tidak ingin kembali mengecewakan Deema, dan lebih baik ia menuruti semua ucapan Deema. ''Iya, sayang ... Maaf ya.'' Deema mengangguk. ''Iya, Mas. Gak perlu terus minta maaf. Aku ngerti kok. Aku yang seharusnya minta maaf, karena gak bisa jadi orang yang bisa kamu andalkan. Aku hanya bisa merepotkan dan ... Menambah masalah.'' Aiden mengusap tangan Deema dengan lembut. ''Aku tidak menuntut apapun dari kamu. Aku yang masih belum sempurna di sini.'' Ada sedikit geli yang mengusik perut Deema karena mendengar Aiden berbicara seperti itu. ''Kenapa? Gak pantes ya saya berbicara seperti itu?'' ''Hahaha ... Enggak kok, Mas. Aku cuma pengen ketawa aja. Habisnya kamu lucu banget.'' Aiden ikut tersenyum mendengar Deema sudah bisa tertawa kali ini. Ia pun mulai melajukan mobilnya untuk bisa sampai di rumah Deema, mengantarkan kekasihnya pulang dengan selamat. Butuh waktu 16 menit, untuk Aiden bisa mengantarjan Deema pulang ke rumahnya. Deema yang hendak turun pun memakai terlebih dahulu tasnya. Tak lupa, ia untuk berpamitan dengan Aiden. ''Mas, aku pulang ya. Maaf dan terimakasih untuk hari ini.'' Aiden tersenyum dan mengangguk. ''Aku yang harus minta maaf sama kamu. Maaf untuk hari ini.'' ''Kamu jangan capek-capek ya. Selesai pulang dari sini kamu tidur. Besok kamu ada jam di kelas aku, jangan kasih materi yang susah-susah ya, Pak Mas yang ganteng,'' ucap Deema sambil tersenyum manis. Aiden yang gemas, mengacak rambut Deema. ''Sana tidur. Minum obatnya. Besok berangkat sekolah sendiri ya, aku sepertinya tidak bisa menjemput.'' ''Iya, Mas. Tidak apa-apa. Aku turun ya ...'' sebelum turun dari mobil, Deema menyempatkan diri untuk mencium tangan Aiden. Ia pun turun dari mobil Aiden. ''Mas hati-hati bawa mobilnya. Inget, sampai rumah langsung tidur, okey?'' Aiden mengangguk dan mengangkat jempolnya. ''Siap, Bu Bos.'' Deema pun sedikit tertawa. Ia melambaikan tangannya, lalu berjalan dan masuk ke dalam rumahnya. Memperhatikan Deema yang masuk ke dalam rumahnya, ia sampai terlupa dengan janjinya dengan sang ayah. Tak lama, ponselnya kembali berbunyi. Benar saja, Farid menghubungi dirinya lagi. Aiden pun mengangkat telpon itu. ''Ayah tunggu kamu dari tadi. Kamu kemana?'' ''Aku pulang.'' ''Langsung saja. Untuk pengembalian perusahaan kamu ke semula, ayah mau menjodohkan kamu dengan anak rekan bisnis ayah.'' ''A--'' Belum sempat Aiden membalas ucapan Ayahnya. Telpon itu dengan cepat dimatikan. Aiden kembali memukul setirnya dengan kencang. Mengapa ayahnya itu selalu mengambil keputusan tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu? Aiden tidak mengerti dengan jalan pikiran ayahnya itu. Aiden melihat ke arah rumah kecil yang ditinggali oleh Deema. Untung saja Deema sudah masuk ke dalam rumahnya, jika tidak, mungkin Deema akan mendengar dan kesalahpahaman pun pasti terjadi. Aiden buru-buru menyetir mobilnya agar cepat sampai di rumahnya. Ia ingin menjelaskan semuanya agar, ayahnya itu tidak selalu mengambil keputusan begitu saja. .... Aiden berjalan terburu-buru masuk ke dalam rumahnya. Ia sudah membuka jasnya yang ia bawa sedari tadi. Tak lupa untuk membuka dasi yang sedari tadi mencekik lehernya. Ketika masuk ke dalam rumah, ternyata ayahnya dan bundanya sudah menunggu dirinya di ruang keluarga, juga Kaila yang berada di sana. ''Dari mana saja kamu? Duduk,'' kata Farid dengan suara dinginnya. Yara dan Kaila sudah menenangkan Farid agar tidak berbicara emosi kepada Aiden. Tapi ternyata itu sudah tidak mempan. Aiden yang tidak ingin menambah masalah itupun lebih baik menghampiri ayahnya. Sebelum duduk, tak lupa ia mencium tangan ayah, bunda dan kakaknya itu. Ia pun duduk di sebelah Kaila yang berhadapan langsung dengan Farid. ''Ada apa, Yah?'' ''Kamu tidak niat memegang perusahaan yang Ayah kasih?'' Aiden mengalihkan pengelihatannya. ''Aiden mengumpulkan niat buat pegang perusahaan Ayah. Ayah tau sendiri kalau Aiden tidak suka dalam urusan berbisnis.'' ''Ayah ... Aiden ...'' Ingat Yara agar mereka berbicara tahu batasan. ''Ayah tau semua kejadian yang dialami perusahaan kamu dari sekertaris Ayah, tanpa kamu berbicara langsung dengan Ayah.'' Aiden berusaha tenang, ia lebih baik untuk menyandarkan tubuhnya yang lelah di sofa. Kaila yang melihat itu, menepuk pundak adiknya. Ia tidak ingin berbicara karena tidak mau ikut campur dengan masalah ayah dan adiknya itu. ''Jadi Aiden harus gimana biar Ayah senang?'' ''Menikah dengan anak rekan bisnis Ayah.'' ''Yah!'' Yara dan Kaila mengingatkan ucapan ayahnya itu yang kelewat batas. Aiden sebentar melirik ke arah Farid. ''Maaf kalau Aiden enggak sopan kali ini, Yah. Tapi, yang Ayah perintahkan sekarang itu gak masuk akal di kepala Aiden.'' ''Ayah mau yang terbaik buat kamu. Tinggalin anak kecil itu. Semenjak kamu dengan dia, otak kamu semakin sempit untuk berpikir!'' Aiden memukul meja yang ada di sampingnya. ''Stop jangan bawa-bawa dia di masalah ini. Dia gak ada sangkut pautnya dengan hal ini!'' Aiden sudah terlanjur terbawa emosi. ''Ayah ... Sudah, Yah ... Kasihan Aiden,'' ucap Yara yang masih membela anaknya. Ia memang pernah menentang dengan perempuan pilihan anaknya, Aiden. Tapi, Yara sudah nyaman dengan kehadiran Deema di kehidupannya. Dan mengapa Farid sangat lancang mengucapkan hal itu? ''Enggak ada yang minta buat Aiden ada di posisi ini. Ayah yang dulu suruh Aiden buat jadi pemimpin perusahaan ini. Aiden sudah bilang, dan aku sudah pernah katakan jauh-jauh hari sebelum aku mimpin di perusahaan itu. Kalau Aiden memang tidak berniat buat punya perusahaan itu.'' ''Aiden! Dimana rasa bersyukur kamu?'' ''Dimana perasaan Ayah! Ayah tau? Apa yang Aiden rasakan selama ini?'' ''Aiden ...'' ingat Kaila sambil mengusap lengan Aiden dengan lembut. Kaila tahu, jika keras kepala Aiden sama dengan keras kepala ayahnya. Begitupun dengan sikapnya yang sama-sama sulit di atur. ''Sejauh mana Ayah mau mengejar duniawi Ayah?'' tanya Aiden dengan serius. ''Ini baru permulaan, Yah. Ayah sendiri yang ngasih kepercayaan buat Aiden, kalau Aiden bisa jaga perusahaan ini. Tentang uang yang di bawa kabur itu, Ayah gak perlu khawatir, aku bisa ngatasin itu semua.'' Aiden bangun dari duduknya. ''Dan Ayah harus ingat satu hal. Aiden tidak suka dengan orang yang mengusik hubungan pribadi Aiden. Siapapun itu. Maaf Bund, Yah, Kak, jika Aiden lancang seperti ini.'' Aiden pergi dari ruang keluarga untuk menuju kamarnya. Ia masih bisa mendengar jika Ayah, Bunda dan kakaknya sedang memanggil namanya. Ia sangat lelah hari ini, masalah terus berdatangan tanpa henti. Ada sedikit rasa bersalah di hatinya karena sudah berbicara menggunakan nada tinggi di depan kedua orang tuanya. Tapi, Aiden tidak bisa menutupi akan hal itu, ia harus mengeluarkan isi hatinya agar semuanya baik-baik saja. Masuk ke dalam kamarnya, ia menyimpan tas kerjanya dan langsung berjalan menuju ke arah komputernya. Ia tidak bisa diam saja, ia harus bergerak agar bisa mencari dan menangkap orang yang sudah mengambil kabur uangnya itu. Melihat laporan yang baru saja di kirimkan oleh sekretarisnya dan beberapa orang pesuruhnya, dengan teliti Aiden memeriksa berkas-berkas itu. Tak lama, dering ponselnya berbunyi. Ia bisa melihat jika nama sekretarisnya tertulis di sana. ''Halo?'' ''Pak. Pelaku sudah ditemukan oleh Tim B di ujung Tiongkok.'' ''Ya, saya sudah melihat hasil laporannya. Kerja bagus buat kalian semua.'' ''Bawa saja ke Indonesia. Biar hukum di sini yang berjalan.'' ''Baik, Pak. Akan saya sampaikan.'' ''Uang yang dia bawa masih amankan?'' tanya Aiden. ''Untuk hal itu, tim di sana masih bernegosiasi, karena pelaku tidak ingin mengakui kesalahannya.'' ''Saya sedang memantau semuanya. Cepat hubungi saya jika ada sesuatu yang terjadi. Lebihkan bonus bayaran untuk tim yang ada di Tiongkok. Saya ingin melihat pelaku itu masih hidup, jangan selesaikan dengan kekerasan. '' ''Baik, Pak.'' Aiden mematikan ponselnya. Ada sedikit rasa lega karena sudah mendengar jika pelaku yang menbawa kabur uangnya itu sudah tertangkap. Kini, tinggal ia mencari tahu dimana uang yang jumlahnya berpuluh-puluh miliar itu di sembunyikan. Aiden memilih pergi ke toilet untuk membersihkan tubuhnya. Mengguyur tubuhnya dengan air hangat yang bisa menenangkan hatinya. Selesai membersihkan tubuhnya, Aiden tidak lupa untuk bersembahyang. Hari yang sangat panjang kali ini. Banyak sekali kejadian tiba-tiba di dalam hidupnya. Untung saja, tuhannya masih mempermudah semua urusannya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN