37. Dua insan

1920 Kata
Obrolan mereka tidak pernah habis sampai di situ saja. Selalu banyak obrolan yang mereka bicarakan. Baik dari hal penting ataupun hal tidak penting sekalipun. Di waktunya yang bosan karena terus melihat Aiden yang bekerja, Deema memilih untuk membuka ponselnya, banyak sekali pesan yang ia dapatkan. Apalagi di grup telegram band musiknya. Salah satu anggota bandnya mengirimkan sebuah instrumen musik untuk ia pelajari. Deema pun mendengarkan musik tanpa vokal itu. Nada yang cukup indah. Tak hanya itu saja liriknya pun turut tercetak di sana. Deema sedikit menjauh dari Aiden. Ia ingin mulai belajar untuk menyesuaikan nada dan suaranya. "Mau kemana?" Aiden yang tadinya fokus dengan pekerjaannya itu, kini menengok ke arah Deema. "Mau latihan nyanyi, Mas. Aku takut ganggu." "Sini. Di sebelah saya." "N--nanti berisik gimana?" "Tidak apa-apa." Deema mengangguk dan kembali duduk di sebelah Aiden. Ia mulai menyalakan lagu yang dikirimkan oleh temannya. Deema mulai bernyanyi mengikut nada dan lirik yang sudah tersedia. Ia memiliki suara yang sangat merdu dan khas. Sampai Aiden tersipu dibuatnya. Alih-alih melanjutkan pekerjaannya, Aiden malah menopang kepalanya dan memperhatikan Deema yang sangat serius ketika sedang bernyanyi itu. Deema selalu membawakan lagu dengan penuh perasaan, agar penonton yang mendengar pun ikut merasakan apa arti lagu yang sedang ia bawakan. Apalagi ini salah satu lagu nasional Indonesia. Deema harus serius dan sepenuh hati dalam membawakannya. Deema menyelesaikan lagunya, dan Aiden pun bertepuk tangan. "Masyaallah suara kamu ..." Puji Aiden. "Apa saya perlu buka studio musik ya?" Pikirnya. Deema sedikit tersenyum. "Apasi, Mas. Biasa aja tau enggak. Aku nyanyi buat hiburan aja bukan hal yang terlalu serius." "Saya bikin studio ya. Kamu yang kelola." Deema dengan cepat menggeleng. "Aku enggak serius di dunia musik. Aku lebih suka sama hal yang berbau dapur." "Kenapa? Suara kamu bagus banget loh ... Nanti ada acara besar saya mau jadikan kamu penyanyinya. Saya jamin orang bakal bayar kamu mahal." "Pasti aku tolak, Mas ... Aku lebih baik masak dan membuat kue dari pada menyanyi. Aku suka semuanya, tapi kalau disuruh memilih aku lebih baik suka memasak dan buat kue." Aiden pun mengangguk. "Yasudah, kamu cocok jadi anak buah Kaila." "Mas kita nyanyi yuk?" Ajak Deema. Aiden dengan cepat menggeleng. "Saya enggak bisa nyanyi. Suara saya fals banget." "Hahaha ... Serius? Ayo dong nyanyi bareng." "Enggak Deema ...." "Ayo ... Mas ..." Rengeknya. Aiden pun mencubit pipi Deema. "Jangan ngeledek saya ya. Saya enggak bisa nyanyi." Katanya yang membuat Deema tertawa terbahak-bahak. Selesai tertawa, Deema kembali membuka ponselnya. Merasakan punggungnya panas karena terus duduk di atas kursi, Deema memilih bersandar di bahu Aiden. "Mas ...." "Kenapa, sayang?" Deema tersenyum, ia memilih menyimpan ponselnya. "Cie panggil sayang ...." "Udah saling sayang, kan?" "Aaaaa ... Mau peluk tapi bukan muhrim ..." Gini malah Deema yang bergumam seperti itu. "Kamu mau peluk? Jangan, nanti ada yang bangun." Bisik Aiden. Deema pun refleks menjauh dari Aiden. Ya ampun ... Aiden selalu saja seperti itu, apa ia tidak sadar jika lawan bicaranya adalah anak SMA yang masih imut ini? "Mas! Ya ampun ...." Aiden pun malah tertawa. Ia membuka lebar tangannya. "Ini, katanya mau peluk." Sebentar Deema melihat ke arah Aiden yang sedang melebarkan tangannya itu. Aiden seperti menyruh dirinya untuk memeluk. "Mas, pindah ke sofa yuk. Punggung aku sakit banget," kata Deema yang mengajak Aiden untuk duduk. "Mau di sofa? Gak di kasur aja?" "Mas! Sekali lagi kaya gitu, aku suruh kamu tidur di mobil ya ...." "Hahaha ... Iya-iya ... Galak banget sih." Aiden berjalan terlebih dahulu ke arah sofa, dan Deema menyusul di belakangnya. Deema sudah melihat Aiden yang bersiap dengan lengannya yang ia lebarkan. Aish ... Deema malu, tapi ingin. Ya sudahlah ... Tidak ada kesempatan kedua kali. Deema pun duduk di sebelah Aiden dan langsung memeluk Aiden untuk pertama kalinya. Kenapa rasanya sangat nyaman sekali? Memeluk tubuh Aiden yang berotot itu, sungguh-sungguh sangat nyaman. Dan ... Wangi tubuh Aiden bisa tercium jelas saat ini. "Manja banget sih ..." Ucap Aiden yang mengusap kepala Deema. "Mas ... Aku peluk enggak apa-apa?" Tanya Deema. "Enggak apa-apa, asal jangan yang enggak-enggak." "Memangnya apa yang enggak-enggak?" Tanya Deema. "Jangan pegang-pegang saya. Saya masih suci." Aiden ternyata bisa sealay itu juga. Lagipun mana ada perempuan yang pegang-pegang duluan. Memang agak aneh pemikiran laki-laki satu ini. "Ya ampun, Mas. Aku enggak seaneh itu juga." "Nyaman peluk saya?" Tanyanya. Deema pun mengangguk. Ia memejamkan matanya menikmati sensasi memeluk Aiden seperti ini. Selain kesukaannya memasak dan membuat kue, kali ini memeluk Aiden adalah salah satu kesukaannya juga. Fix. "Mas, aku mau tanya, tapi kamu jawab jujur, sejujur-jujurnya. Okey?" "Banyak banget jujurnya." "Aish ... Aku serius tau, Mas ...." "Iya, sayang ...." "Mas dulu punya mantan gak?" Aiden mengangguk. "Punya." Deema yang tadi memejamkan matanya, kini membuka matanya dan melotot ke arah Aiden. "Loh ... Kok saya di pelototin?" "Serius, Mas ...." "Iya, Deema ... Saya serius." "Hmm ... Berapa?" "Satu." "Gak percaya." Deema tidak percaya jika mantan Aiden hanya satu orang saja. Itu sepertinya tidak mungkin. Deema yakin dengan sepenuh hati, jika Aiden memiliki banyak wanita di dekatnya. Siapa yang tidak mau dengan Aiden? Tampan, kaya, baik, pengusaha, guru, pokonya hal-hal baik ada pada Aiden, dan Deema tidak percaya jika Aiden hanya memiliki satu orang mantan. "Percaya. Mau dengar cerita saya?" "Apa? Bangga-banggain mantan kamu?" "Bukan, Deema ... Tapi tentang perjuangan saya mendapatkan satu wanita." Deema pun memilih untuk mengangguk. Ia ingin mendengarkan cerita yang keluar dari mulut Aiden. "Saya terakhir pacaran waktu kuliah. Umur saya masih delapan belas tahun waktu itu. Dan itu pertama kalinya juga saya pacaran. Saya tertarik sama satu perempuan, teman sekelas saya." Deema tidak melihat wajah Aiden yang bercerita. Ia masih memeluk tubuh Aiden. Dan mendengarkan suara Aiden lewat d**a laki-laki itu. "Lambat laun, saya mendekati diri. Dan itu butuh waktu beberapa bulan lamanya. Dari sana, saya keburu ketikung sama kating saya. Saya mundur lah di situ ... Gak lama dari itu, perempuan yang saya suka itu datang dan mendekati saya, sayang yang terlanjur suka akhirnya nembak dia buat jadi pacar saya ... Dan di situ saya enggak tahu kalau dia masih berhubungan sama pacarnya satu lagi itu." Deema sangat serius mendengarkan cerita dari Aiden. Ada sedikit rasa cemburu di hatinya ketika Aiden membangga-banggakan perempuan lain di hadapannya. "Saya bawa dia ke rumah buat dikenalin ke bunda. Tapi anehnya bunda gak setuju sama perempuan itu. Bunda liat, wajah perempuan itu galak katanya. Perempuan yang saya pacari memang selalu meminta yang aneh-aneh dengan saya. Pernah dia ingin saya membelikan dirinya mobil, dan saya turuti karena saya memang suka dengan perempuan ini. Sampai akhirnya ternyata semuanya itu hanya tipuan." "Saya dibohongi oleh perempuan yang sudah saya sukai itu. Dia masih berpacaran dengan kating saya, dan mobil yang sudah saya belikan ia bawa pergi. Pantas saja bunda tidak setuju, karena perempuan itu ternyata memang benar-benar jahat." "Uuuu kacian banget ... Terus kamu gimana? Mencoba untuk bunuh diri kah? Atau ... Mencoba jadi pakboy?" Aiden mengacak-acak rambut Deema. "Mana ada seperti itu. Yasudah ... Saya ikhlas aja. Untung saja, Allah ngasih tunjuk kalau dia memang enggak baik buat saya." "Terus, kamu kenapa langsung deket sama aku? Padahal kamu tau sendiri kalau aku bandel dan suka menindas kalau di sekolah." Aiden memikir sebentar, sebelum menjawab pertanyaan Deema. "Ih, kok mikir dulu sih?" "Saya suka lihat wajah kamu kalau lagi galak. Dan ... Saya merasa bersalah waktu hukum kamu sampai hidung kamu mengeluarkan darah. Di situ saya mulai suka dengan sikap kamu yang ternya lemah dan baik. Lemahnya kamu, ingin saya lindungi." Deema menahan senyumnya. "Memangnya aku lemah banget, Mas?" Aiden mengangguk. "Sudah kodratnya wanita seperti itu. Ayahpun bilang begitu. Laki-laki harus menjaga." "Terus apalagi yang ngeyakinin kamu?" "Kamu benar-benar perempuan baik. Hanya saja emosi kamu yang harus di perbaiki. Dan ... Semua keluarga saya suka dengan kehadiran kamu. Kamu tidak lihat, bunda dan kak Kaila yang selalu heboh dengan kehadiran kamu. Bahkan ayah saya juga." Deema menjadi tersipu malu, dan memang seperti itu adanya. Menjadi kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri di terima dengan baik dalam sebuah keluarga besar yang cukup terpandang. "Padahal aku galak loh, Mas ...." Aiden membenarkan semua pernyataan Deema. "Iya, kamu galak. Makanya saya aneh waktu bunda nerima kamu dengan sangat baik." "Aku bersyukur bisa di terima, di keluarga kamu. Semoga keluarga kamu juga nerima semua kekurangan yang aku punya." "Bunda dan ayah tidak pernah memandang seseorang dari kalangan. Mereka selalu menghargai. Kamu jangan takut ya ...." Deema semakin erat memeluk tubuh Aiden. "Terimakasih, Mas ...." "Terimakasih sudah mau hadir di dalam hidup saya. Sudah mengajarkan saya, dan selalu memberikan yang terbaik untuk saya. Walaupun pertemuan kita baru saja." Banyak sekali hal yang sudah Deema rasakan ketika bertemu dengan Aiden. Laki-laki yang bisa membawanya menuju hal yang lebih baik, selalu mengajarkan hal-hal baik, laki-laki sabar, tabah, dewasa dan pengertian. Deema rasa, Aiden pun bisa menerima semua kekurangannya. Semoga saja Aiden terus seperti ini. "Tidur. Sudah malam ...." Deema menggeleng. Dia masih ingin memeluk Aiden. Sambil memejamkan matanya ia pun berbicara. "Kamu tdiur di kasur aja, Mas. Aku yang tidur di sini. Badan kamu pasti pegal-pegal." "Kamu saja tidur di sana. Saya sudah biasa tidur di sofa." "Mas memang suka tidur di sofa? Perasaan kasur kamu lebih empuk deh ...." "Tau dari mana kalau kasur saya empuk? Kamu ngintip?" Deema yang sedang nyaman menutup matanya itu pun harus kembali membuka matanya. "Hah? Enggak, Mas. Maksud aku, pasti kamu punya kasur empuk. Kenapa harus tidur di sofa ...." "Oh ... Seperti itu. Saya kira kamu ngintip saya waktu kemarin." "Enak aja, kamu. Kamu kali yang ngintip aku." "Gak boleh suuzon ... Temennya setan." "Ih, berarti temen kamu dong, Mas ... Hahaha ..." Deema menjadi tertawa. Aiden yang mendengar itu pun ikut tertawa, karena suara tawa Deema selalu saja menular. "Mas, sayang ..." Panggil Deema mencoba memberanikan diri. "Kenapa?" Tanya Aiden dengan suara lembutnya. "Kamu jangan deket cewek-cewek ya kalau lagi di sekolah." "Lah. Saya jugakan punya murid perempuan, Deema ...." "Ya jangan genit-genit gitu pokonya. Aku gak suka ya ... Kalau aku ngeliat kamu genit sama perempuan lain ... Aku marah delapan hari tujuh malem. Titik." Kini Deema melepaskan pelukannya, ia merasa sedikit kesal dengan jawaban yang diberikan oleh Aiden. "Memangnya kamu gak tau saya di sekolah gimana?" Deema terdiam. Benar juga sih, Aiden jika di sekolah ekspresinya sangat dingin dan sedikit galak dibanding guru-guru lainnya. Mendengar itu, Deema kembali memeluk Aiden dengan sangat erat. "Iya, aku percaya. Aku juga ngerti hidup kamu bukan tentang aku. Kamu punya kerjaan, kamu ngajar, kamu bos besar, kamu sibuk pokoknya. Aku ngerti, Mas ... Tapi jangan lupa kabarin ya ...." Aiden mengangguk, ia mengusap rambut Deema dengan lembut. "Siap, Bu bos." Ah, andai dari dulu hidupnya seperti ini. Deema tidak akan jahat dan menindas orang lain. Tapi ... Apapun itu Deema selalu bersyukur dan bangga kepada dirinya sendiri karena sudah berhasil melewati fase kehidupan yang cukup rumit ini. "Tidur ya ... Sudah jam sebelas malam." "Tapi Mas juga tidur ya ... Jangan begadang, besokkan kita mau pulang. Kalau kamu lagi nyetir mobil terus ngantuk gimana?" "Iya, sayang ... Saya tidur ...." "Bentar ... Mau peluk dulu." Deema masih memeluk tubuh Aiden sambil memejamkan matanya. Begitu juga dengan Aiden yang mengusap kepala Deema sambil memejamkan matanya. Tak sadar, mereka tertidur dalam keadaan seperti itu. Sampai ... Aiden membuka matanya dan melihat jam menunjukkan pukul satu dini hari. Ia kasihan melihat posisi Deema yang sepertinya pegal. Ia mengangkat tubuh Deema dan memindahkannya ke atas kasur. Tak lupa menyelimuti tubuh Deema dengan selimut. Aiden yang merasakan pegal-pegal di seluruh tubuhnya, di tambah ia tak tahan untuk tertidur, pun memilih untuk tidur di sebelah Deema namun ia masih memberi jarak. Untung saja kasur ini memiliki bentuk yang besar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN