Pagi datang di hari Rabu, Deema tengah memakaikan cream diwajahnya agar terlihat lebih cerah dan bersinar. Pukul 6 pagi ini, ia sudah siap untuk berangkat ke sekolah, karena hari ini Deema akan berjalan kaki. Ia sudah memberitahu Aiden jika ia tidak perlu di jemput.
"Ratu, udah siang. Lo sekolah hari ini," kata Deema sambil melipat selimutnya bekas ia tertidur tadi.
"Ratu, bangun ...."
Ratu yang mendengar suara kakaknya itu pun membuka matanya. "Udah jam berapa ini, Kak?" Tanyanya dengan suara parau.
"Udah jam enam. Lo tidur jam berapa semalem? Jam segini belum bangun," ucap Deema.
"Hm? Aku gak enak badan semalem gak bisa tidur," kata Ratu yang baru bisa tertidur jam 3 malam.
"Lo sakit? Kalau sakit gak usah sekolah. Nanti pingsan," ingat Deema.
Ratu bangun dari tidurnya, ia pun duduk. "Enggak, cuma pusing dikit aja, nanti juga pulih."
Deema mengangguk. Ia teringat akan sesuatu yang harus ia sampaikan kepada Ratu. Deema baru bisa mengobrol dengan Ratu hari ini karena kemarin-kemarin, ia tidak ada waktu untuk mengobrol.
Deema mengambil paperbag kecil, lalu ia berikan kepada Ratu. "Ini Lo pakai, tas Lo yang itu buang aja," kata Deema yang memberi Ratu tas baru.
Tas yang Deema berikan itu, merupakan pemberian dari Aiden kemarin. Deema rasa, ia memiliki tas baru satu saja cukup, ia harus berbagi dengan adiknya yang lebih membutuhkan.
Dengan semangat, Ratu membuka paperbag itu. "Wah! Bagus banget tasnya, Kak ... Ini mahal banget ya?"
Deema tersenyum kecil. "Iya ini mahal. Lo harus jaga baik-baik. Dan itu, di situ ada banyak baju bagus-bagus, Lo bisa pake ambil yang mana aja yang Lo mau."
"Alhamdulillah ... Makasih, Kak ...."
"Uang Lo masih ada?" Tanya Deema.
Ratu mengangguk. "Masih ada untuk ongkos hari ini. Aku suka bawa bekal. Kan kamu suka bawa makanan kalau pulang."
"Udah Gue bilang, kalau temen Lo jajan, Lo juga ikut jajan. Jangan di sayang-sayang uang Lo. Ngerti? Kalau habis Lo tinggal bilang sama Gue. Gue ngasih Lo uang biar Lo juga sama kaya temen-temen Lo."
Deema menahan dirinya agar tidak menangis, ia tidak bisa jika membicarakan hal ini kepada Ratu, adiknya. "Iya, Kak ..." Kata Ratu sambil menunduk.
Deema mengambil sesuatu dari kantong celananya. Mengambil uang berwarna hijau dan ungu untuk di berikan kepada Ratu. "Ini, buat jajan sekarang sama besok. Gue harus ngasih Ibu juga. Bokap Lo gak balik-balik Gue pusing," kata Deema yang sekarang memilih untuk keluar kamar dan menemui ibunya, yang belum ia temui selama beberapa hari ini.
"Ibu?" Panggil Deema.
Kinanti yang tengah memasak air pun menengok ke arah anaknya. "Kenapa, Deem?"
"Uang ibu masih ada?" Tanyanya.
"Ada, kamu gak perlu ngasih ibu uang lagi. Ibu sekarang udah punya kerjaan nyuci di rumahnya ibu kepala desa," katanya.
Deema terdiam, melihat tubuh kurus tak berisi itu sangatlah kuat. Ia tidak bisa melarang, itu kehendak dan kemauan dari ibunya, Deema hanya bisa mengangguk.
"Ekhem ..." Deema mengetes suaranya agar tidak terdengar menahan tangisnya.
"Ibu kalau sakit diem di rumah aja. Aku masih bisa cari uang kalau untuk makan kita."
"Ibu tau kamu punya tunggakan di sekolah sangat banyak. Makanya Ibu mau kerja untuk makan kita."
"Ibu tau dari mana?" Tanya Deema. Ia sengaja tidak memberitahu tentang tunggakan di sekolahnya itu.
"Pihak dari sekolah kamu ke sini kemarin, menagih ke ibu," ucap Kinanti sambil memberikan sebuah surat.
Deema membaca surat itu, ia mengepalkan tangannya. Dan meremas-remas surat itu dengan cepat. "Ibu gak perlu mikirin ini. Ini biar jadi urusan Deema."
Deema pun berjalan cepat pergi ke kamar dan mengambil dompet serta tas sekolahnya. Ia tak sabar ingin memberikan uang muka ke pada pihak sekolah yang tidak pernah memberikan rasa simpati kepada siswanya.
"Bikin Gue bt aja pagi-pagi," kesal Deema sambil memakai sepatunya.
Setelah di rasa rapi, ia pun siap pergi ke sekolah dengan berjalan kaki seperti biasa.
Deema mengeluarkan dompetnya, menghitung uang yang ada di dompetnya. Hanya ada 800 ribu, bisa tidak ya ia bayar terlebih segini.
Dengan keadaan yakin dan sungguh-sungguh, Deema pun bertekad untuk bisa membayarkan ini semua. Dan ... Deema harus mencari pekerjaan lain lagi untuk menambah penghasilannya.
Deema memegang kartu pembayaran sekolahnya, agar ia ingat, jika sampai di sekolah nanti ia akan langsung berjalan menuju ruangan tata usaha dan membayar semampu yang ia bisa.
Terdengar suara perutnya berbunyi karena lapar. Deema sedikit tertawa dan mengusap perutnya. "Sabar ya, nanti di sekolah kita makan."
Deema terus berjalan, sampai ada satu klakson mobil yang berbunyi di belakangnya.
Kaca mobil sebelah kiri pun terbuka, ternyata itu adalah Aiden. "Mas! Selamat pagi!" Kata Deema sambil melambaikan tangannya.
Aiden tersenyum. "Pagi ... Masuk cepet."
Deema pun masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengamannya. "Jangan jemput, jangan jemput, tapi jalan kaki."
"Jalan kaki itu sehat tau, kamunya aja yang enggak tahu."
"Kamu yang sok tahu. Saya yang guru olahraga di sini."
"Hehehe ... Iya Mas suhu ...."
Aiden mulai melajukan mobilnya. Deema bisa melihat Aiden sekarang sangat tampan sekali dengan celana bahan berwarna hitam dan kamejanya berwarna maroon. Ia tampak gagah dan sangat-sangat tampan.
"Iya saya tampan."
"Ih, geer banget sih jadi orang."
"Saya gak kepedean. Tapi itu kenyataan."
Deema pun meledek Aiden dengan menjulur-julurkan lidahnya.
"Belum makan pasti."
"Hmm ... Aku sarapan di sekolah aja."
"Kebiasaan. Ambil di belakang ada roti dan susu."
Deema menatap curiga ke arah Aiden. Mengapa Aiden selalu saja memiliki banyak makanan yang ia simpan.
"Ambil ... Atau saya berhenti di sini menunggu sampai kamu makan?"
"Hehehe ... Iya, Mas ... Aku ambil."
Deema pun mengambil satu roti kemasan dan s**u kemasan berprisa cokelat. "Aku makan ya."
Deema menyimpan kartu pembayaran yang ia pegang tadi di atas dashboard mobil. Ia pun membuka bungkusan roti itu, dan memakannya berbarengan dengan s**u yang ia minum.
"Itu apa?" Tanya Aiden sambil menunjuk kartu yang Deema bawa tadi.
"Emm ..." Deema menelan makanannya. "Itu kartu bayaran."
"Kamu mau bayaran?" Tanya Aiden hati-hati.
Deema mengangguk sambil melihat ke arah Aiden. "Tapi aku cicil. Sekolah tega banget ya, kata ibu, kemarin pihak sekolah datang ke rumah ngasih surat tagihan ke ibu. Yauda, aku mau cicil sekarang."
Aiden terdiam. Ia sangat ingin membantu, tapi rasanya sedikit tidak sopan. Ia takut mengganggu privasi Deema, dan ia tahu jika Deema tidak suka dengan orang yang mengganggu privasinya.
"Nanti saya ikut bantu buat bicara ke tata usaha."
Deema menggeleng dengan cepat. "Enggak perlu, Mas. Biar aku aja yang ngomong. Mulut aku udah gatel banget buat ngomong."
"Tapi gak kamu ajakin tinjukan? Pegawai tata usahanya?"
"Hahaha ... Paling aku jegat kalau pulang sekolah."
Aiden ikut tertawa dengan candaan Deema. "Saya bantu ya."
Deema kembali menggeleng. "Akukan sudah kerja, dan waktu cicilan pun masih panjang. Aku masih punya kesempatan buat bayar semuanya."
Aiden mengangguk. "Perlu saya antar?"
"Mas, please ... Aku bukan anak TK."
Aiden tersenyum. "Yasudah, jangan cari ribut dengan orang lain."
Tak lama, mereka pun sampai di parkiran sekolah. Deema melihat sekitarnya, banyak sekali orang yang sedang ada di sini. Jika ia turun sekarang, pasti semua mata tertuju ke arahnya, dan Deema tidak mau itu.
"Mas, gimana ini turunnya?" Tanya Deema.
"Loncat," kata Aiden yang sudah bersiap-siap untuk turun. Sedangkan Deema ragu karena banyak orang di sini.
"Yasudah kalau mau di dalam mobil saya," ucap Aiden yang sekarang sudah turun keluar dari mobil.
"Eh ... Eh ... Eh ... Mas ...."
Deema menutup mulutnya karena keceplosan memanggil Aiden dengan sebutan Mas. Mau tak mau, dengan cepat Deema pun turun dari mobil Aiden. Dan berjalan mengikuti kemana Aiden pergi.
Dan benar saja, bisikan-bisikan gosip pun mulai terjadi.
"Eh an-jir doi udah suami istri kali ya."
"Baru aja putus sama si Avyan, udah gaet om-om lagi."
"Wah, keknya main sama om-om sih ...."
"Gak malu apa ya? Datang ke sekolah bareng-bareng jadi pusat perhatian."
"Tapi ... Mereka so sweet banget ...."
"Gak tahan sama kerennya pak Aiden ...."
"Pak Aiden galak di lapangan, tapi bisa sweet banget ke Deema. Pasti Deema spesial."
"Apa yang spesial dari Deema sih? Macan garang di jadiin istri, gak cocok banget."
Aiden melihat ke arah Deema. "Enggak perlu di dengar. Kamu ke kelas. Dan saya ke ruangan saya."
Deema pun mengangguk, dan melihat Aiden berjalan menjauh darinya.
Ia berjalan menuju tangga lantai dua, untuk pergi ke ruangan tata usaha dan membayar cicilannya.
Tanpa mengetuk pintu, Deema pun masuk dan memberikan kartu serta uang 800 ribu kepada penjaga tata usaha.
"Deema? Mau bayar berapa?" Tanya perempuan muda yang sepertinya seumuran dengannya, penjaga administrasi sekolah ini.
"Hitung aja," kata Deema santai.
Perempuan itu sedikit takut melihat wajah Deema yang tidak ada ramah-tamahnya.
"Kamu bayar delapan ratus ribu, dan cicilan kamu masih ada sembilan juta dua ratus ribu ya."
"Hm ... Gak perlu ngasih surat peringatan. Saya masih bisa bayar!" Katanya penuh dengan penekanan. Moodnya sudah hancur karena perempuan ini yang sepertinya datang ke rumahnya.
Deema pun mengambil kartunya dan langsung menuju keluar tata usaha, tanpa mengucapkan apapun.
....
Siang hari ini matahari sangatlah terik. Deema dan ketiga temannya sedang berada di dalam kelas, karena mereka sedang melangsungkan acara pembelajaran.
Tak lama, ada satu orang guru laki-laki datang kekelasnya, sontak semua yang ada di sana terdiam.
"Permisi, Bu. Saya mau panggil Deema untuk acara pentas seni," ucap seorang bapak guru itu.
"Baik, Pak. Silahkan. Deema, kamu bisa ikut pak Reno."
Deema melirik Lola yang ada di sebelahnya untuk bertanya dan meyakinkan jika ini benar. "Udah, Lo ke luar aja di panggil tuh."
Deema mengangguk. "Gue keluar dulu ya." Ia pun keluar dari kelasnya dan berjalan mengikuti kemana pak Reno pergi.
"Saya sudah liat penampilan kamu di paduan suara kelas sebelas kemarin. Suara kamu unik dan merdu. Avyan bilang, kamu bersedia untuk menjadi vokalis band kita. Saya sebagai pembina mengajak kamu untuk bergabung," ucap Pak Reno yang mengajak Deema mengobrol.
"Maaf sebelumnya jika Bapak nanti mendengar suara saya yang tidak seberapa ini."
"Tidak apa, kita latihan."
Sampailah ia di studio musik sekolahnya ini. Tempat yang luas dan ... Ruangan ini berada tepat di sebelah ruangan Aiden. Deema bisa melihat jika Aiden tengah membaca beberapa kertas yang sedang ia pegang.
"Masuk, Deem."
"Ha? Iya, Pak."
Deema masuk ke dalam studio musik ini. Ternyata di sini sudah banyak orang. Termasuk Avyan yang memegang gitar acoustic nya.
"Teman-teman, ini Deema. Kalian pasti sudah tau, dan kenal. Deema bakal menjadi vokalis kita nanti."
Riuh tepuk tangan pun mengisi tempat ini. Kurang lebih ada dua belas orang yang hadir di dalam ruangan ini. Deema sedikit grogi, ia bingung harus menyanyi apa kali ini.
"Langsung di mulai?" Tanya pak Reno.
"Hanya diiringi gitar bisa, Pak?" Tanya Deema.
Reno pun mengangguk. Dan memberi instruksi kepada Avyan. "Iya, Pak bisa." Jawab Avyan.
Deema pun berdiri di belakang stand mic dan memilih lirik-lirik lagu yang tersedia di buku.
"Vierra, seandainya," kata Deema sambil melihat ke arah Avyan.
Avyan mengacungkan jempolnya, dan mulailah petikan gitar itu terdengar. Deema mendengar petikan itu, sampai pas di satu nada ia pun masuk untuk bernyanyi.
Ia menyanyikan lagu itu dengan santai, dan juga dengan penuh perasaannya. Deema akhirnya bisa menyanyi lagi dengan serius saat ini. Setelah bertahun-tahun Deema tidak bernyanyi di hadapan orang. Rasanya kembali sedikit gugup, namun ia harus percaya diri agar bisa mengembangkan bakatnya.
Gugupnya bertambah, karena dari sini, Deema bisa melihat jika Aiden hadir berdiri di depan jendela dan melihat ke arahnya. Aiden tersenyum di sana, senyum itu seperti meyakinkan Deema untuk terus mengeluarkan suaranya dengan baik dan merdu.
Aiden baru tahu jika Deema memiliki bakat tersembunyi seperti ini. Ternyata Deema bukan hanya seorang murid nakal yang terkenal akan kesombongannya. Tapi Deema pun memiliki bakat yang orang lain tak miliki.
Riuh tepuk kembali mengisi, ketika Deema menyelesaikan nyanyiannya. Deema bisa melihat jika Aiden pun ikut bertepuk tangan.