28. Laki-laki baik

2152 Kata
Hari sabtu pun tiba, hari yang seharusnya ia libur bersekolah, tapi sekarang ia harus bekerja pukul 12 siang nanti. Dengan cuaca yang sedikit kurang mendukung ini, Deema harus menjalankan aktivitasnya lebih-lebih semangat dari hari biasanya. Karena apa? Ia sudah memiliki janji dengan pak Reno, dan grup band dari Avyan bahwa hari ini mereka janjian di salah satu studio yang berada tak jauh dari kawasan sekolah mereka. Dan rencananya, Deema akan menaiki angkutan umum saja untuk bisa sampai di sana. Saat ini jam masih menunjukkan pukul 07.30 pagi dan Deema sudah siap dengan baju rapihnya untuk pergi ke studio. Deema memiliki janji untuk kumpul di studio pukul 8 pagi, karena ia yang meminta. Ditengah memainkan ponselnya, Deema mendengar suara pintu yang terbuka. Siapa? Pikirnya ... Perasaan ibunya tengah pergi ke rumah kepala desa, dan adiknya baru saja pergi ke sekolah. Tak ingin ada penjahat yang masuk ke dalam rumahnya, Deema pun keluar dari kamar tidurnya. Betapa terkejutnya Deema melihat sang ayah, Yoseph tengah membuka sepatunya di sana. "Deema? Kemana ibu?" Tanyanya dengan wajah tanpa dosa. "Ngapain anda? Ada urusan apa?" Tanya Deema sambil melipat tangannya. Ia sedikit muak melihat wajah ayahnya itu. Urusan nanti jika itu tentang kesopanan, dan kehormatan. Untuk saat ini, Deema tidak ingin bertemu dengan ayahnya yang tidak tahu malu itu. "Ibu kemana?" "Udah! Gak perlu suruh-suruh ibu lagi! Dia menderita gara-gara anda!" "Deema! Jaga ucapan kamu!" "Kemana anda selama ini? Kemana!" Deema berteriak sambil menutup telinganya. "Tau apa kamu urusan orang tua?" "Orang tua-orang tua! Saya sudah dewasa! Bukan anak kecil lagi, yang bisa anda bohongi kapanpun anda mau. Pergi dari sini. Ini bukan tempat anda." Deema menahan getaran di hatinya, ia tahu, ia salah mengucapkan kalimat itu, tapi apalah daya, Deema tidak ingin semuanya menjadi semakin rumit. "Ibu menderita, Yah ... Ayah tau apa tentang kita? Yang ayah pikriin itu cuma gimana nanti-gimana nanti-gimana nanti! Coba Ayah pikirin, hidup kita nanti gimana!" "Deema capek ngeliat Ayah terus kaya gitu. Deema capek ngeliat Ayah terus berantem sama Ibu, Deema capek, Yah ... Deema mau semuanya baik-baik aja." Yoseph terdiam, ia terus saja melihat ke arah Deema dengan tatapan datarnya. Selalu saja seperti itu, Deema tidak tahu apa yang ada di pikiran ayahnya itu. "Ibu kemana? Ayah mau minta modal." "Modal? Modal apa lagi sih, Yah! Ayah kira ibu mesin uang? Ayah kira ibu siapa? Buat makan sehari-hari aja gak ada! Jangankan buat makan, ibu megang uang sepeser pun enggak! Pikiran ayah itu di mana sih?" "Ayah mending pergi dari sini ... Hiks ...." Deema tidak bisa menahan air matanya lagi. Persetan dengan wajah jeleknya ketika menangis seperti ini. "Ayah pergi dari sini ... Ibu udah capek sama Ayah ... Aku pun sama. Kalau Ayah memang gak mau punya beban hidup. Silahkan Ayah pergi dari sini." "Diem jadi anak kecil," balasnya. "Siapa yang anak kecil, Yah!" "Aku sudah bisa berpikir, mana yang baik dan mana yang enggak! Memangnya Ayah! Yang selalu menganggap semuanya sama saja. Menunggu uang datang tanpa di cari, lepas tanggung jawab, hilang tanpa kabar. Begitukah sosok seorang Ayah?" "Kalau Ayah gak mau pergi dari rumah ini, aku yang bakal pergi dari rumah ini!" "Mending Ayah pergi sekarang, sebelum ibu datang ke sini. Aku gak mau ibu semakin sakit ngeliat Ayah di sini. Pergi, Yah ... Hiks ...." Deema bisa melihat jika Yoseph memakai kembali sepatunya, ia mengusap air matanya dengan cepat. "Renungi, di mana sikap dan sifat Ayah yang salah. Baru temui kita lagi." "Anak gak tau di untung," ucap Yoseph terakhir kali sebelum meninggalkan rumah ini. "Apa Lo bilang! Hiks ... Lo yang enggak tau berterima kasih, udah di kasih keluarga yang sabar sama Lo!" Teriak Deema ketika Yoseph sudah keluar dari rumahnya. Badan Deema pun luruh ke lantai yang tak memiliki keramik ini. Deema menutup pintu menggunakan kakinya. Ia ingin menangis terlebih dahulu, menangis sekencang-kencangnya ... Meratapi semua kehidupannya yang sangat menyedihkan ini. Deema ingin pasrah rasanya. Deema ingin menyudahi semuanya, dan Deema ingin pergi dari dunia ini secepatnya. Ia tidak minta di lahirkan ke dunia ini, ia pun tidak minta di lahirkan untuk menjadi seseorang yang sangat menderita seperti ini. Deema sangat benci dengan dirinya sendiri, Deema semakin benci dengan keadaannya. "Hiks ... Hiks ... Gue benci ... Gue benci ... Gue mau pergi ... Hiks ...." Cukup lama Deema untuk menyelesaikan tangisannya, saat ini ia memilih untuk mengambil tas, dan ponselnya untuk pergi dari rumah ini sekarang juga. Ia tak peduli dengan air matanya yang masih menetes membasahi wajahnya yang sudah ia hias dengan baik. Deema merasa, dunia selalu saja tidak adil kepadanya. Di setiap waktu dan peristiwa, pasti saja ada yang membuatnya menderita. Ingin rasanya Deema meluapkan kekesalannya itu dengan berteriak dan membanting semua benda yang ada di hadapannya. Namun apalah daya, ia tidak memiliki apa-apa yang harus ia hancurkan. Dengan air matanya, Deema memakai sepatu sneaker berwarna putih. "Hiks ... Hiks ..." Suara tangisnya masih mengisi. Selesai, ia tidak peduli dengan dandanannya nanti. Ia pun membuka pintu rumah, betapa terkejutnya Deema melihat Aiden yang sudah berdiri tinggi menjulang di hadapannya. Melihat Aiden yang sudah ada di hadapannya itu, tangis Deema semakin menjadi, bahkan jika ia memiliki tetangga, semua tetangganya itu pasti akan berkumpul karena mendengarkan suara tangis Deema yang sangat kencang itu. "Huaaaa ... Hiks ... Hiks ... Ng--nga--ngapain ke sini? Hiks ... Hiks ... Aku mau pergi ... Hiks ..." Katanya sambil berjalan dan mengusap air matanya dengan kasar. "Eh ... Eh ... Stop-stop ...." "Hiks ... Diem! Lepas! Hiks ...." Deema tidak suka jika ada orang lain yang melihatnya menangis seperti ini. Karena Deema merasa jika dirinya sangatlah jelek ketika sedang menangis. Deema hendak berjalan menjauh dari Aiden, tapi dengan mudahnya Aiden menarik tangan Deema, sampai badan mereka bertubrukan. "Udah ... Jangan nangis ... Nanti di liat orang, dikira saya apa-apain kamu," ucap Aiden sambil menyimpan dagunya di atas kepala Deema. Karena saat ini posisi mereka, sangatlah berdekatan. Deema berada di depan Aiden, dan Aiden berada di belakang Deema sambil memegang tangan Deema dengan erat. Mereka tidak berpelukan, hanya saja saking dekatnya, Aiden bisa merasakan shampo Deema yang sangat wangi dan ia pun menyimpan dagunya di sana. "Hiks ... Hiks ..." Tangis Deema sedikit mereda karena ucapan Aiden yang sedikit menenangkan dirinya. "Udah nangisnya?" Tanya Aiden. Deema pun menggeleng, tanpa tangisnya belum selesai. "Masuk ke dalam mobil yuk. Nangis di mobil aja. Di sini takut ada orang yang lihat." Deema mengangguk, dan mengikuti Aiden untuk masuk ke dalam mobilnya. Aiden membukakan pintu mobil untuk Deema, dan menyimpan tangannya di atas, agar Deema tidak terpentok terkena bagian atas mobil. "Udah? Kakinya lebih masuk lagi, nanti kena pintu." "Hiks ... I--iya." Aiden menahan senyumnya, karena sangat lucu melihat Deema yang sedang menangis seperti ini. Tapi ia tidak ingin tertawaan, karena kasihan melihat Deema. Sebenarnya, Aiden sudah datang ke rumah Deema 20 menit yang lalu. Aiden sengaja tak mengabari Deema karena ia takut jika Deema menolak. Tapi, setelah beberapa menit kemudian, Aiden melihat ada satu laki-laki yang sudah tua, dengan baju yang lusuh berjalan ke arah rumah Deema, dengan sedikit rasa penasaran, dan sedikit ketakutan, takut jika ada apa-apa dengan Deema, ia pun mengikuti kemana laki-laki itu pergi. Ternyata benar, laki-laki itu masuk ke dalam rumah Deema. Aiden pun turun dari mobilnya, dan ia mengira jika itu adalah ayah dari Deema. Untuk lebih sopan, ia pun ingin menyapa dan berkenalan. Tapi ... Sebelum melangkahkan kakinya ke pintu, Aiden sudah mendengar teriakan-teriakan dari dalam, dan Aiden mengenali suara siapa itu, itu adalah suara Deema. Aiden pun kembali mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam rumah Deema. Ia mendengarkan perdebatan mereka, Aiden bisa mendengar Deema menangis. Dan Aiden sudah tau apa masalah mereka. Ketika melihat wajah Deema yang seperti ini, Aiden semakin merasakan bahwa rasa kasih sayang dan cintanya, memang benar-benar untuk Deema. "Udah nangisnya?" Tanya Aiden yang menunggu Deema menyelesaikan tangisnya yang belum usai juga. "Hiks ... Hiks ... Udah ...." Aiden pun memberikan Deema beberapa lembar tissue, untuk mengusap air mata Deema. "Kalau sudah, di lap air matanya." Deema pun menuruti ucapan Aiden, dan mengusap air matanya. "Tuhkan, bulu mata kamu luntur ...." "A--apaan sih yang luntur ... Hiks ... Ini namanya maskara ..." Katanya, suara tangisnya itu masih saja ada. Aiden pun tersenyum. "Iya itu, jadi hitam-hitam muka kamu." "Madep sana. Madep sana, Mas ..." Katanya yang saat ini malu karena dandanan di wajahnya sudah tidak beraturan. "Kenapa? Malu?" "Iyalah ... Hiks ...." "Enggak apa-apa ... Masih cantik kok ..." Aiden membantu Deema untuk mengusap air matanya yang masih membanjir itu. "Ini, minum dulu ..." Aiden memberikan Deema satu botol mineral yang tutupnya sudah di buka. Deema pun menerima air itu dengan baik. "Tarik napas ... Buang ... Tarik napas ... Buang ...." "Udah tenang?" Deema pun mengangguk, dan sekarang sudah tidak ada air mata yang menetes di wajahnya. "Maskaranya jelek ya?" Tanya Aiden untuk mencairkan suasana. Deema menggeleng. "Ini bagus, cuma aku lap-lap aja tadi, jadi kaya gini. Inikan di beliin kamu," jawab Deema. Aiden mengangguk, berarti mood Deema sudah perlahan membaik. "Di beliin saya? Kurang mahal berarti ya? Nanti saya beli yang paling mahal. Jadi, kalau kamu nangis enggak bakal luntur ...." Deema memukul pundak Aiden. "Ish! Males ah ...." "Udah, jangan nangis ... Kamu katanya mau ke studio, bisa telat. Mau jalan sekarang?" Tanya Aiden. "Mas ngapain jemput aku? Kan aku bilang enggak perlu jemput, nanti aja ketemu di toko." "Saya mau ke kantor pusat sekarang, sekalian anterin kamu." Deema melihat ke arah Aiden yang juga melihat ke arahnya. Betapa baiknya laki-laki satu ini, pikir Deema. "Kenapa?" Tanya Aiden. "Enggak. Kita jalan aja, Mas. Takut yang lain pada nunggu." Aiden pun mulai mengendarai mobilnya. "Mas, aku mau make up lagi, bawanya jangan cepet-cepet, oke?" Mau tak mau, Aiden harus menuruti ucapan Deema. "Baik, nyonya ...." Deema mulai kembali membersihkan wajahnya menggunakan tissue yang sudah ia beri air. Deema kembali mengoleskan alas bedak, dan menempelkan bedaknya. Tak lupa memakai blush on, mascara dan terakhir ia memakai lipstik. Deema tidak perlu menghias alisnya, karena ia sudah memiliki alis yang bagus, ia hanya perlu menyisirnya dan memberi sedikit mascara alis. "Lihat, make up kamu?" Aiden melihat ke arah Deema sambil menyetir. Sebentar ia terdiam, karena terpana dengan kecantikan perempuan yang sedang ia lihat kali ini. Deema sangat-sangat sempurna jika memakai make up seperti ini. Aiden tidak bisa memandangnya terlalu lama. "Jangan tebel-tebel, saya gak suka," kata Aiden. "Ha? Memangnya tebel ya?" Tanya Deema sambil melihat ke arah kaca. "Lagian, aku make up buat aku sendiri. Bukan buat kamu, wle ..." Kata Deema sambil mengeluarkan lidahnya. "Mau di lihat siapa? Avyan?" "Dih, kok Mas gitu?" Tanya Deema sambil menahan tawanya. "Gara-gara mau nge-band sama Avyan, gitu?" Deema melihat ke arah Aiden. "Enggak kok ... Enggak gitu juga ... Memangnya aku gak boleh make up? Lagian kamu loh yang beliin ...." "Make up di depan saya aja." "Ha? Astaghfirullah ... Mas, istighfar ... Pacaran aja belum, jadi istri aja belum. Pembicaraan udah level atas." "Hm ..." Aiden sedikit bt karena mendengar jawaban Deema yang seperti itu. "Loh, kamu marah? Kok marah ... Harusnya aku loh yang lagi sedih di sini ...." Aiden melirik ke arah Deema dengan sedikit tajam. "Jangan deket-deket nyanyinya jauhan aja." Deema menahan tawanya. "Cembukur ya? Hahaha ... Gemesh banget sih mukanya ..." Moodnya sudah mencapai 80 persen. "Enggak. Ngapain juga ... Udah sampai ...." Deema pun membereskan alat make-upnya yang ia masukan ke dalam tas. "Aku turun ya, Mas ... B---" "Bentar ..." Tahan Aiden. "Kenapa lagi?" Sebentar, Aiden kembali melihat wajah Deema yang sangat candu untuknya. "Enggak usah latihan, ikut saja aja." Deema pun menyandarkan tubuhnya. "Loh ... Kok gitu ...." Jujur, Aiden tidak suka dan tidak mau membiarkan Deema yang berdandan seperti ini di lihat oleh laki-laki lain. "Aku kan mau latihan buat pentas seni nanti. Minggu depan loh, aku belum tau konsep sama lagunya apa ...." "Hmm ... Jangan matikan ponsel kamu. Saya ada rapat besar jam sepuluh nanti." "Kalau Mas ada rapat enggak apa-apa, aku bisa pergi ke toko sendiri. Dan ... Enggak perlu ngirim aku pesan. Aku baik-baik aja." Aiden mengangguk. "Moodnya sudah baik?" Tanya Aiden. Deema pun mengangguk. "Makasih ya ... Tentang apapun yang kamu dengarkan tadi di dalam rumah aku. Itulah kenyataannya ...." "Saya tidak keberatan dengan semua kekurangan kamu." "Sudah, Mas gombalnya? Aku enggak jadi turun dari tadi." Aiden menekan tombol di mobilnya untuk membukakan kunci di pintu samping tempat Deema berada. "Hati-hati ... Saya pergi kerja dulu." 'Kyaaaa ... Gini ya, Bund, rasanya jadi seorang istri ... Gladi aja dulu, siapa tau nanti beneran .....' "Iya, Mas ... Semangat kerjanya ...." Aiden pun memberikan tangan kanannya ke hadapan Deema. Deema mengangkat alisnya dan bertanya. "Kenapa, Mas? Minta di pijitin? Aku kan mau turun ...." "Gak berbakti ..." Gumam Aiden yang masih terdengar di telinga Deema. Deema pun tertawa, dan mencium tangan kanan Aiden. "Aku turun ya ... Bye-bye ...." "Inget. Kabarin saya." Deema menutup kembali pintu mobil, dan melambaikan tangannya. Ah, semudah ini mengubah moodnya ketika sudah bertemu dengan Aiden. Semoga ... Aiden bisa memberi kepercayaan, bahwa laki-laki itu memang baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN