47. Sangat manis

1606 Kata
Detik demi detik sudah terlewati, hari semakin malam. Ingin rasanya Deema pulang ke rumah dan merebahkan tubuhnya yang lelah ini. Ketika Deema hendak bersiap pulang tadi, ternyata ada sebuah pesanan masuk dari seorang customer yang menginginkan satu kue ulang tahun yang berukuran cukup besar, dan katanya customer itu ingin mengambil kuenya pagi-pagi di toko. Atau terbilang ini adalah pesanan dadakan. Jadilah Deema masih di sini, berdua dengan Mbak Nomi. Jam sudah menunjukan pukul 11 malam, tapi mereka masih ada di toko. Mbak Nomi rencanannya memang tidak ingin pulang, karena takut jika pulang larut malam seperti ini. Tapi, berbeda dengan Deema, ia ingin pulang dan tidur di rumah. Lagipun ia harus memastikan, jika ibu dan adiknya sudah makan. ''Kamu pulang aja, aku bisa kerjain ini sendiri, Deem. Besok harus sekolah,'' ucap Nomi yang menatap kasihan ke arah Deema. Deema terlihat sudah sangat kelelahan. ''Aku masih kuat, Mbak ini sebentar lagi juga selesai.'' ''Kalau kamu pulang larut malam kaya gini, tidur di sini aja bareng aku, ya? Takut loh malem-malem pulang.'' Nomi sungguh memperhatikan keselamatan Deema, karena ia sudah menganggap Deema seperti adiknya sendiri. ''Bisa kok, Mbak. Jam segini jalanan masih ramai. Angkot juga masih ada.'' ''Emm ... Tetep aja, Deem. Bahaya.'' Deema hanya tersenyum membalas ucapan Nomi. Ia ingin fokus menghias kue agar semuanya cepat selesai. Deema mencetak pondan dengan pisau kecil dan alat cetaknya. Lalu ia memberikan hasil yang sudah ia cetak kepada Nomi agar di tempelkan dengan baik di kue. Kue ini sebenarnya tidak rumit, hanya saja mereka lama menunggu akibat kesalahan pembuatan adonan. Kue sudah hampir jadi, Nomi dan Deema hanya perlu menambahkan bunga-bunga di sisi kuenya. ''Siap-siap aja. Biar aku yang lanjutin. '' ''Iya, Mbak.'' Deema membuka sarung tangannya, lalu ia buang ke dalam tempat sampah. Membuka apronnya yang ia gantung di tempat yang sudah di sediakan. Ia pun langsung memakai tasnya, dan berpamitan kepada Nomi. ''Mbak Nomi, aku pulang duluan ya.'' ''Ya ampun ... Kamu hati-hati ya ... Kalau ada apa-apa telpon aku.'' Deema mengacungkan jempolnya. ''Siap, Mbak. Selamat malam ....'' Sambil turun ke lantai bawah, Deema membenarkan ikatan rambutnya. Toko sudah tertutup dan sudah terlihat rapih. Ia membuka kunci dari dalam, lalu ke luar toko dan menutup pintunya. Sepertinya bentar lagi Nomi akan turun dan mengunci toko. Seperti biasa, Deema harus berjalan beberapa ratus meter ke depan agar ia bisa menemukan angkutan umum. Namun baru saja beberapa langkah, ia merasakan tangannya di cekal. ''Astagfirullah! '' ia sangat terkejut sampai jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Ketika ia membalikan badannya, ternyata itu ... Aiden. Deema menatap datar ke arah Aiden sambil mengangkat alisnya. ''Galak banget,'' kata Aiden dengan nada bercandanya. Sebentar, maghrib tadi tak lama Aiden memilih pulang karena Deema mendiaminya. Tapi, kenapa Aiden balik lagi ke sini? Pakaian yang tadi dengan pakaian yang ia sekarang pun ternyata sudah berbeda. ''Permisi,'' kata Deema yang mencoba untuk sopan. Ia sudah sangat lelah sekali ingin tidur di kasurnya. ''Sayang ... Jangan gitu lah ....'' ''Saya mau lewat, Pak ... Permisi ....'' ''Masuk mobil ya? Ini sudah malam, saya antar sampai rumah.'' ''Bisa gak sih, Pak. Sehari aja gak ganggu saya?'' Aiden melepaskan genggamannya. ''Kamu gak mau saya ganggu? Lalu apa gunanya hubungan yang kita jalani?'' Deema memberanikan diri menatap Aiden. ''Gak ada gunanya. Puas, Pak?'' Deema pun kembali memilih melanjutkan jalannya. Aiden tidak menyerah sampai di situ saja, ia kembali mengejar Deema dan menarik tangan Deema agar ikut ke dalam mobilnya. ''Lepas, Pak. Saya teriak nih.'' ''Silahkan, kalau kamu teriak saya gendong kamu, terua saya bawa ke dalam kamar saya, mau?'' Deema berusaha menahan tawanya, karena ia lucu melihat wajah Aiden yang ketakutan tapi sangat serius. ''Mana ada pilihan kaya gitu?'' ''Ada. Mau coba? Silahkan teriak.'' Deema pun lebih memilih menutup mulutnya, ia mengikuti kemana Aiden membawanya. Aiden membukakan pintu mobilnya yang kali ini pun berganti warna, menjadi warna hitam. ''Hati-hati ...'' Selesai memastikan Deema masuk ke dalam mobil, ia pun buru-buru berlari dan masuk juga ke dalamnya. ''Mau makan dulu, sayang?'' Deema tidak habis pikir dengan Aiden yang benar-benar memperlakukannya layaknya seorang ratu. Ada sedikit rasa tak enak di hatinya, karena kembali lagi, Deema merasa tidak pantas dengan Aiden. Bagaimana bisa Deema tidak luluh jika perlakuan Aiden seperti ini kepadanya? Tapi ... Ketika hatinya sudah hangat karena melihat Aiden kali ini, ia kembali teringat dengan percakapan antara Kaila dan Aiden tadi siang. Ia sudah menebak jika Aiden tidak akan bercerita kepadanya. Hmm ... Hanya ada satu cara yang bisa Deema lakukan kali ini, adalah pura-pura tidak tahu. ''Deema ... Jangan marah terus dong ... Saya jadi bingung.'' Deema masih ingin melihat sejauh mana Aiden merayunya ketika sedang marah. ''Kamu masih marah tentang tadi pagi? Waktu bakset, iya?'' ''Pikir aja sama kamu sendiri.'' ''Saya anggap itu benar.'' ''Maaf ya ... Lain kali saya lebih teliti.'' Deema mengerutkan dahinya. ''Lah, lebih teliti gimana? Jelas-jelas kamu tau, kalau kelompok terakhir yang berjumlah empat orang itu perempuan, kenapa kamu masuk? Gak sebanding banget.'' Aiden yang belum melajukan mobilnya, lebih memilih menghadap ke arah Deema. Ia tidak bisa tenang jika melihat wanitanya sedang marah seperti ini. ''Iya, saya tau, saya salah ... Sebagai gantinya, saya punya sesuatu buat kamu.'' Deema melirik ke arah Aiden. Ia masih dengan tatapan jual mahalnya. ''Tutup dulu matanya.'' ''Enggak.'' ''Tutup, sayang ....'' ''Enggak.'' ''Tutup, atau kamu, saya bawa kabur?'' Selalu, selalu saja Aiden seperti ini. Mengancamnya dengan hal-hal yang tidak jelas. Mau tak mau, Deema pun menutup matanya. ''Udah di tutup matanya?'' Aiden mengambil sebuah kotak yang di atasnya terdapat pita berwarna hitam. ''Buka.'' Perlahan-lahan, Deema membuka matanya, takut jika Aiden mengerjainya dengan sesuatu. Tapi ternyata, ia melihat ada sebuah kotak putih dengan pita hitam di atasnya. Kotak itu terkesan sangat mewah. ''Di buka, bukan diliatin.'' ''Iya-iya ....'' Aiden pun sedikit tersenyum, caranya membujuk Deema dengan membelikan hadiah ternyata manjur juga. Deema menatap ragu ke arah Aiden. Aiden pun mengangkat alisnya sambil tersenyum. ''Buka, sayang ... Itu bukan bom kok.'' Deema sudah tidak bisa menahan senyumnya lagi karena perlakuan Aiden sangat manis kepadanya. ''Nah gitu senyum, cantiknya keliatan.'' ''Aish ... Mas nyebelin banget sih.'' ''Baru ini Deema. Cepetan di buka kotaknya. Keburu loncat nanti yang ada di dalem.'' ''Hah? Apaan yang loncat, Mas?'' ''Hahaha ... Bercanda sayang ....'' ''Mas ... Jangan kebanyakan bercanda deh ....'' ''Iya, maaf ... Di buka cepet.'' Aiden sudah tidak sabar melihat ekspresi wajah Deema melihat hadiah yang ia pesan dari jauh-jauh hari. Deema pun membuka kotak yang berukuran sedang itu. Ketika membuka, bertapa terkejutnya Deema melihat sebuah kalung, cincin, anting dan jam tangan yang sangat cantik. Deema terkagum-kagum melihat perhiasan ini. Sampai-sampai ia sedikit mengeluarkan air matanya karena terharu. ''Kok nangis?'' ''Ha? Enggak apa-apa, Mas. Ini pasti mahal banget. Ngapain kamu beliin aku kaya gini?'' Aiden mengambil tissue dan mengusap air mata Deema. ''Saya berniat memberi kamu hadiah. Kamu tidak perlu memikirkan harganya. Sini, saya pakaikan.'' Aiden mengambil kalung yang memiliki liontin sebuah love dengan berlian berwarna biru di dalamnya. Atau ... Bisa di bilang love itu seperti berisi tetesan Air. Deema membalikan badannya, agar Aiden dengan mudah memakaikan dirinya kalung. ''Cantik.'' Puji Aiden ketika melihat kalung itu terpasang cantik di leher Deema. ''Terimakasih, Mas ....'' ''Sama-sama ... Jangan marah lagi ya?'' Deema pun mengangguk. Aiden mulai melajukan mobilnya untuk mengantar Deema pulang karena hari sudah semakin malam. ''Emm ... Mas.'' ''Oh iya. Besok malam saya jemput ya ke rumah, buat ajak ibu dan adik kamu makan malam.'' Deema sedikit terkejut. Ia kira Aiden hanya bercanda mengatakannya kemarin, tapi ternyata ia serius. ''Serius, Mas?'' Aiden mengangguk. ''Iya. Jam tujuh malam saya jemput.'' ''Emm ... Ka--kamu jangan malu ya kalau bawa kita nanti.'' ''Deema, sekali lagi kamu ngomong seperti itu, saya gak segan-segan culik kamu beneran.'' ''Loh, kok gitu, Mas? Iya deh Maaf ....'' ''Saya sudah janji kemarin. Ingin berkenalan dengan ibu kamu. Oke?'' ''Iya, Mas ... Tapi, aku mau bilang sesuatu?'' ''Kenapa? Bilang aja.'' ''Emm ... Itu ... Cincin yang Mas kasih, boleh aku kasih ke i--ibu gak? Bukannya aku nolak barang pemberian kamu, tapi aku mau liat aja ibu pakai perhiasan.'' Aiden bisa melihat jika Deema berbicara dengan sangat hati-hati. Mungkin Deema takut jika dirinya akan marah. ''Kamu pakai saja. Buat ibu, besok saya belikan yang baru. Iya?'' ''A? Emm ... Bukan gitu, Mas. Aku gak mau kamu terus-terusan beli. Aku cuma mau ngasih ibu sama barang yang ada aja, boleh?'' ''Yasudah kalau mau kamu seperti itu. Nanti saya ganti ya.'' ''Alhamdulilah ... Terimakasih, Mas ....'' .... ''Lagi-lagi pulang malam.'' Aiden menghentikan langkahnya, ia bisa mendengar suara Farid berasal dari ruang tamu. Lampu sudah dimatikan, tersisa lampu-lampu kecil. Aiden kira semua keluarganya sudah tertidur, ternyata ayahnya itu masih membaca buku. ''Iya, Yah.'' ''Dari mana saja? Kamu kemana tadi? Wanita yang ayah jodohkan dengan kamu ke rumah tapi kamunya enggak ada.'' Aiden mengusap wajahnya lelah. Ia pun berjalan mundur untuk bisa melihat ayahnya. ''Ayah lupa kalau aku ngajar?'' ''Keluar saja. Urus perusahaan kamu.'' ''Yah! Please ... Tolong hargai kehidupan Aiden. Kenapa Ayah terus seperti ini?'' ''Tak perlu kencang-kencang. Bundamu bisa bangun.'' Sungguh, Aiden tidak suka berada di posisi seperti ini. ''Sudah malam, Yah. Lebih baik Ayah istirahat. Dan tolong ... Batalkan semua perjanjian Ayah dengan rekan Ayah, yang menyangkut perjodohan Aiden.'' Tidak ingin berbasa-basi kembali, ia pun lebih memilih naik ke lantai dua menuju kamarnya. Aiden sungguh-sungguh lelah hari ini. Ia butuh tidur dan beristirahat agar bisa menenangkan sedikit kepalanya yang sedang banyak pikiran dan masalah. Satu masalah selesai, tibul masalah baru. Aiden tidak bisa mengelak dari semua itu, karena itulah proses hidup. Aiden masih sanggup untuk menjalani ini semua, karena ia rasa setiap masalah pasti ada sebuah penyelesaian. Aiden mematikan lampu utama, menyalakan lampu tidur. Dan membaringkan tubuhnya yang lelah di atas kasur. Ia pun membuka ponselnya untuk mengirim pesan kepada Deema. ''Dia baik, saya bisa menjaganya.''
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN