Terusir

2230 Kata
Rania mengusap kasar wajahnya. Ia memandangi pantulan diri di cermin, saat ini dirinya sudah kembali ke rumah dan langsung mengurung diri di dalam kamar mandi sejak setengah jam yang lalu. Rania menghela napas kasar, saat matanya mulai menyorot lesu ke bagian leher. Di mana cekikan Rehan semalam telah meninggalkan bekas kemerahan seperti memar di sepanjang lehernya. Namun, tanda kemerahan itu tak sepenuhnya bekas cekikan Rehan, tapi sebagian juga bekas gigitan dan ciuman liar lelaki itu. Seolah lelaki itu sengaja meninggalkan banyak tanda di sekujur tubuh Rania, menandai Rania sebagai miliknya. Rania menelan ludah, tangan mungilnya beralih meraba atas dadanya. Tanda-tanda itu bagaikan noda yang mengotori kulit putihnya, bertebaran di sekitar daerah sensitif miliknya dan berhasil memicu ingatannya akan momen-momen panas yang Rehan ciptakan. Sebelum akhirnya lelaki itu merusaknya dengan tindakan kekerasan yang nyaris saja membuat nyawa Rania melayang. "Aku suka dengan milikmu, Rania. Begitu pas dalam genggaman, tidak terlalu kecil, tapi juga tidak terlalu besar dan ini sangat lembut. Milikmu sungguh berbeda, dan sepertinya aku mulai kecanduan dengannya. Bolehkah aku memilikinya setiap saat?" Tubuh Rania seketika meremang kala ucapan Rehan kembali terngiang-ngiang di telinganya, menimbulkan ingatan semalam yang terus berputar-putar dalam pikirannya. Usapan-usapan lembut yang tak bisa Rania pungkiri jika dirinya sangat menyukai sentuhan yang Rehan berikan. Bagaimana lelaki itu memperlakukannya seperti porselin yang mudah pecah, sangat hati-hati dan penuh perasaan, tapi juga mampu membuatnya sampai melayang ke angan. Untuk pertama kalinya dalam hidup Rania, ia merasakan seperti dicintai, dipuja oleh kata-kata Rehan yang terus memuji aset tubuhnya yang dianggap sempurna. Bahkan kata-kata yang keluar dari mulut Rehan begitu manis, bagaikan candu yang membuat Rania ingin terus mendengarnya setiap saat. "Manis, aku suka rasa milikmu, Rania. Mulai sekarang ini akan menjadi favoritku." Spontan Rania menggelengkan kepalanya, menepis ingatan m***m yang tak bisa dikendalikan dalam pikirannya. Bisa-bisanya ia mengingat kejadian itu, di mana Rehan yang berubah jadi bayi besar yang rakus. Tapi bodohnya Rania justru menyukai saat-saat lelaki itu berubah jadi seperti bayi yang kehausan, dan tanpa sadar ia pun menginginkan momen itu lagi. Sebelum akhirnya kewarasan menampar hasrat itu dan membuangnya sejauh mungkin. "Bodoh! Apa yang kau pikirkan Rania!" Rania memukuli kepalanya, mengutuk pikirannya yang tak sinkron. Ia tak boleh membiarkan pikiran-pikiran itu bercokol di dalam kepalanya, bagaimana pun yang dilakukannya salah dan tidak sepatutnya ia menginginkan sentuhan bosnya lagi. "Sadar Rania, sadar!" Rania menepuk-nepuk pipinya, menatap serius pantulan dirinya di cermin. "Kamu nggak boleh goyah, apalagi sampai menginginkan lelaki itu. Ingat Rania, kamu harus bisa melupakan semuanya. Kita bisa memulai hidup baru, tanpa harus terjerat dengan bayang-bayang itu lagi. Mengerti!" Rania meyakinkan diri sendiri, memaksa otaknya untuk melupakan semua kenangan semalam. Baik kenangan manis yang Rehan ciptakan, ataupun kenangan buruk yang lelaki itu berikan. Rania meminta dengan sangat agar tubuh dan otaknya mau bekerja sama, melupakan segalanya yang bersangkutan dengan Rehan. Karena bagaimanapun setelah ini ia akan memulai hidup baru, di tempat yang baru dan tanpa bayang-bayang masa lalu. Rania akan mengubur semua kenangan dan ingatannya di kota ini, dan mengatur ulang semuanya dari awal. "Rania!" Suara ketukan pintu yang terdengar sangat keras dan menggebu-gebu, ditambah suara bariton yang begitu nyaring, sukses menyentak Rania dari lamunan singkatnya. "Rania! Buka Rania!" "Jangan kabur kamu!" "Rania, buka atau saya dobrak!" Rania menoleh, melotot ketika mendengar suara bariton itu meneriakkan namanya. Rania mengembuskan napas kasar, mengetahui siapa tamu tak diundang yang merusak paginya. Rania pun bergegas mengenakan pakaiannya secara asal, menutupi rambut basahnya dengan handuk dan segera keluar dari kamar mandi. Sebelum berjalan ke pintu depan, Rania menyempatkan diri untuk masuk ke kamarnya mengambil sesuatu. "Rania!" "Buka, Rania!!!" Rania berdecak, mengutuk orang yang ada di depan pintu rumahnya. Orang tak sabaran yang terus berteriak seperti orang gila. Rania mempercepat langkah kakinya, ketika ketukan pada pintu berganti dengan gedoran, dan suara nyaring itu tak lagi terkendali. "Rania, saya tahu kamu di dalam. Buka sekarang juga atau saya akan mendobraknya!" Rania berdecak kesal. "Dasar aki-aki bau tanah, nggak sabaran banget sih!" Sebelum orang di pintu merealisasikan ancamannya, Rania dengan cepat menarik gagang pintu dan membukanya lebar-lebar. Tatapan garang dari beberapa orang berbadan besar menyambut Rania, ditambah wajah menyebalkan yang langsung menyorotnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Keluar juga kamu, Rania." Pak Jarwo tersenyum miring, mengamati penampilan Rania dari atas sampai bawah dengan penuh minat. "Apa tadi kamu sedang di kamar mandi?" Pak Jarwo terkekeh, dan itu sangat menyebalkan untuk Rania. Apalagi cara lelaki tua itu menatapnya, Rania rasanya ingin sekali mencongkel bola mata lelaki itu. Dasar m***m! "Nih!" Rania enggan menanggapi pertanyaan nggak jelas dari pak Jarwo. Ia ingin cepat-cepat mengusir pak Jarwo dari hadapannya. Lantas ia pun langsung memberikan cek yang ia dapatkan dari Rehan kepada lelaki itu, tanpa basa-basi. "Apa ini?" Pak Jarwo menatap selembar kertas yang Rania sodorkan kepadanya. "Ini kan yang membuat Pak Jarwo datang ke sini pagi-pagi. Ini cek setengah milyar, Pak Jarwo bisa mencairkannya ke bank. Jadi sekarang utang orangtua aku sudah lunas," ucap Rania menggebu-gebu, muak melihat pak Jarwo dan segera ingin menyingkirkan aki-aki tua itu dari rumahnya. Pak Jarwo mengambil cek yang disodorkan oleh Rania, sambil terkekeh lagi. "Betul, utang orangtua kamu memang lunas dengan cek senilai lima ratus juta ini, tapi itu kalau kamu membayarkannya kemarin---" "Apa maksud Pak Jarwo?" sergah Rania, memotong pembicaraan pak Jarwo karena tidak terima dengan ucapan pak Jarwo yang bertele-tele dan terkesan ingin memerasnya. "Ingat Rania, saya kasih waktu kamu tiga hari. Dan jatuh temponya itu semalam pukul dua belas, dan sekarang," Pak Jarwo melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, "sudah pukul setengah sembilan, jadi kamu telat delapan jam setengah. Sebagai gantinya, rumah ini jadi jaminannya kalau kamu mau melunasi utang orangtua kamu, rumah ini beserta isinya juga harus ikut disita. Tapi kalau kamu keberatan, lebih baik kamu terima tawaran---" "TIDAK!!!" bentak Rania, langsung emosi dan menolak mentah-mentah tawaran pak Jarwo. Rania nekat menjual keperawanannya demi mendapatkan uang setengah milyar agar ia tak perlu menerima tawaran pak Jarwo untuk jadi istri sirihnya yang kelima. Rania nggak sudi! "Pak Jarwo, saya cuma telat beberapa jam saja. Bagaimana bisa Pak Jarwo ingin menyita rumah ini. Pak Jarwo benar-benar keterlaluan, Anda memang lintah darat!!!" sarkas Rania, dengan berani mengatai pak Jarwo dengan sebutan hewan menjijikan itu. Pak Jarwo tergelak, seolah ucapan Rania barusan itu lucu. "Rania, Rania." Ia menggeleng dramatis, menatap Rania dengan sorot mata mengejek. "Saya memang lintah darat, dan salahmu sendiri tidak bisa menepatinya sesuai waktu kesepakatan. Dan juga, banyak waktu saya yang terbuang karena utang orangtua kamu yang nggak lunas-lunas, wajar dong kalau saya menyita rumah ini sebagai gantinya. Lagipula kamu menolak tawaran saya, padahal jika kamu mau---" "Saya nggak sudi menikah dengan Pak Jarwo!" seru Rania, menggebu-gebu. Pak Jarwo tersenyum miring. "Baiklah, kalau begitu silakan angkat kaki dari rumah ini sekarang juga. Karena saya sudah menemukan pembeli untuk rumah ini." "Apa?" Rania terbelalak, tak menyangka. Pak Jarwo benar-benar keterlaluan, bagaimana bisa lelaki tua itu dengan tega mengusir Rania dari rumahnya sendiri. Bahkan aki-aki bau tanah itu juga akan menjual rumah peninggalan orangtuanya. Rania benar-benar murka, tapi apa daya ia tak bisa berbuat apa-apa saat orang-orang suruhan pak Jarwo menyeretnya keluar. "Lepaskan aku!!!" Sekeras apa pun Rania berteriak, mereka tak menghiraukannya. Rania di dorong kasar sampai terjungkal ke tanah. Setelah itu pakaiannya semua dilempar keluar oleh anak buah pak Jarwo yang kurang ajar itu! "Ini akibatnya jika kamu menolak tawaran saya, Rania. Diberi hati malah melunjak, rasakanlah sendiri akibatnya!" Pak Jarwo berucap sinis, setelah itu pergi bersama anak buahnya setelah menyegel rumah Rania. Rania memandang nanar rumahnya yang sudah tersegel, meratapinya dengan tangis yang tak kunjung berhenti. "Ayah, ibu, maafkan Rania. Aku gagal mempertahankan rumah ini." ------- Sudah dua jam Rania duduk di depan rumah Kayna. Ia tak punya tempat tujuan selain rumah Kayna, sahabatnya. Semenjak orangtua Rania meninggal, ia memang hidup sebatang kara tanpa tahu apakah ia memiliki sanak saudara atau memang ia benar-benar tak punya siapa-siapa. Dan satu-satunya yang Rania miliki hanya Kayna, sahabat yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Karena selama ini hanya kepada Kayna, ia mengadu dan mengeluhkan kehidupannya. Bahkan segala hal ia ceritakan pada Kayna, baik itu kabar baik, buruk, ataupun masalah. Dan Kayna selalu jadi yang terbaik, memberikannya semangat, membantu dirinya mencari solusi atas semua permasalahan pelik dalam hidupnya. Bagi Rania, Kayna segala-galanya setelah mendiang kedua orangtuanya. "Rania?" Rania refleks mengangkat wajahnya saat suara familiar itu memanggil. Wajah lelah penuh khawatir menyambutnya, disusul suara langkah kaki yang tergesa-gesa menghampiri dirinya. Jangan lupakan suara nyaring ala emak-emak yang panik melihat anaknya kenapa-kenapa. "Ya ampun Rania, apa yang terjadi? Kok kamu di luar, kenapa nggak masuk, 'kan kamu punya kuncinya? Ini juga, kenapa bawa-bawa koper segala, abis diusir?" Kayna tak benar-benar serius mengatakan pertanyaan terakhir, ia hanya mendramatisir seperti biasa. Tapi siapa kira jika yang dikatakannya memang benar yang terjadi. Rania sudah lelah menangis dan yang ia lakukan hanya menyengir seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal dua jam yang lalu dirinya menangis sesenggukan sampai air matanya seperti akan mengering saking lamanya menangis. "Kuncinya ketinggalan di rumah, kayaknya kamu musti ganti kunci baru deh. Buat antisipasi, takut ada yang nemuin kunci kamu terus berniat jahat." Kayna mengernyit, menatap penuh selidik pada Rania yang kini berdiri di hadapannya. "Ketinggalan, di rumah? Maksudnya?" Rania menghela napas panjang. "Aku diusir dari rumah sama pak Jarwo. Si rentenir bau tanah itu menyita rumahku karena aku telat membayar pelunasannya. Padahal hanya delapan jam setengah, tapi seenak jidat dia menjadikan rumahku sebagai ganti waktunya yang terbuang. Walaupun aku tahu alasannya bukan itu, pak Jarwo sengaja menyita rumahku karena aku menolak tawarannya untuk jadi istri sirihnya yang kelima." Rania mengembuskan napas kasar, gondok kalau harus mengingatnya. Lalu Rania menatap penuh permohonan pada Kayna yang masih diam di depannya, tak bereaksi apa-apa. Nampaknya Kayna tercengang mendengar ceritanya. "Kay, aku boleh kan buat sementara waktu tinggal di rumah kamu dulu? Seenggaknya sampai gaji pesangon aku turun. Hari ini aku resign dari kantor," ungkap Rania. Pagi ini Rania memang sudah menitipkan surat resign-nya kepada Mia agar bisa menyampaikannya pada bu Vela. Ia nekat mengundurkan diri karena tak berani bertemu dengan Rehan yang menjadi bos baru di kantornya. Kayna menghela napas panjang, mencoba memahami kondisi sahabatnya. "Kamu pasti belum makan?" Rania menggeleng cepat, tapi sialnya suara perutnya berbunyi cukup keras. Lantas Rania meringis, menahan malu. "Tadi aku sempet makan roti, tapi kayaknya aku lapar lagi." Kayna mendengkus geli mendengar jawaban Rania. "Yaudah ayo masuk, kasih makan dulu cacing piaraanmu. Habis itu baru ceritain semuanya." Kayna mengambil alih koper Rania, berjalan lebih dulu memasuki rumahnya yang mungil tapi bersih dan nyaman. "Biar aku aja yang masak, kamu pasti capek kan baru pulang kerja," pinta Rania saat Kayna melepaskan jaketnya dan menaruhnya di kursi ruang makan. "Emang nggak apa-apa?" tanya Kayna, sambil memperhatikan Rania yang berdiri tak jauh darinya. Rania mengangguk. "Serahkan semua padaku, yang penting bahan-bahannya ada kan? Kamu nggak lupa isi kulkas kan, Kay?" Rania bertanya, mengingat sahabatnya itu selalu abai dengan isi kulkas karena memang Kayna jarang sekali masak. "Kayaknya sih masih ada, nggak tahu juga, lupa," jawab Kayna, disusul kekehan geli karena Rania meresponnya dengan decakan sebal. "Kebiasaan," dengkus Rania, sambil membuka isi kulkas Kayna. "Cuma ada telur, sosis sama kol doang." Rania memberitahu Kayna akan isi kulkasnya yang hanya tersisa sedikit bahan makanan. "Sudah aku bilang berkali-kali, kamu harusnya isi kulkas pakai bahan makanan, Kay, bukan malah minuman laknat begini." Rania mengomel, seperti biasa ia tidak suka dengan kebiasaan buruk Kayna. "Kamu tahu aku, Ran, aku nggak bisa hidup tanpa mereka," ucap Kayna, mengedikkan matanya ke botol-botol minuman laknat yang memenuhi isi dalam kulkas. "Tapi kamu juga bisa mati perlahan karena mereka, Kayna," sahut Rania, kesal. Tak habis pikir dengan pola pikir sahabatnya yang begitu mendewakan minuman laknat itu, seolah dia benar-benar akan mati tanpa mereka. "Udah ah, jangan bawel. Katanya mau masak, masak yang ada aja. Di lemari juga kayaknya masih ada mie instan. Kamu paling jago bikin mie nyemek, bikin itu aja." Kayna mengerlingkan mata, sambil tersenyum jahil. "Aku bersih-bersih dulu ya." Setelah itu berlalu pergi menuju kamar mandi. Rania menghela napas panjang, kemudian membuka lemari yang dimaksud Kayna. Ia mengambil dua bungkus mie instan, bersiap untuk membuat mie nyemek sesuai permintaan Kayna. Namun, baru saja akan membuka bungkus mie, suara ketukan pintu dari luar menginterupsi. Rania menoleh. "Kay, ada yang datang." Rania memanggil Kayna, memberitahu kalau ada orang di luar. Tapi sahabatnya itu tidak menyahut dan terdengar suara air mengalir dari kamar mandi. Rania bisa menebak jika Kayna pasti lagi mandi, dan kebiasaan wanita itu kalau lagi mandi pasti sambil menyalakan musik. Jelas saja Kayna tak akan dengar meski ia berteriak sekalipun. Lantas Rania pun berinisiatif untuk melihatnya sendiri. Suara ketukan pada pintu terus terdengar menggebu-gebu, menandakan kalau seseorang yang berdiri di depan pintu sangat tidak sabaran. Rania berdecak kesal sambil menggerutu. "Siapa sih!" Tapi meski begitu ia juga mempercepat langkah kakinya menuju pintu. "Iya, sabar!" seru Rania karena ketukan pintu itu kini berganti jadi gedoran. Rania mendengkus kasar sesampainya di depan pintu, ia langsung menarik gagang pintu. Saat pintu terbuka lebar, Rania seketika menganga dengan mata melebar. Betapa terkejutnya ia melihat seseorang yang ada di hadapannya saat ini. "Bos?" Mata Rania berkedip-kedip, memastikan kalau laki-laki yang berdiri di hadapannya benar-benar nyata, bukan sekadar ilusinya saja. Walau Rania sangat berharap kalau itu tidak nyata, tapi kenyataan membuatnya tak bisa berkutik. Ia berdiri kaku, memandang horor bosnya yang tengah menatapnya dengan sorot mata seolah akan menelannya hidup-hidup. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Bagaimana bisa lelaki itu menemukan keberadaanku di sini? Seandainya saja aku punya jurus menghilang, seandainya saja aku bisa memutar waktu dan tidak pernah bertemu dengannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN