Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Aksa dan Rindu hanya diam. Keduanya masih syok melihat Rafa yang tiba-tiba tergeletak di jalanan. Menurut saksi mata yang melihat kejadian itu, Rafa bermain di jalan saat ada mobil dengan kecepatan sedang melewati jalan depan toko kue Rindu, mereka lihat Rafa pingsan setelah tertabrak lalu mobil yang menabrak itu pergi meninggalkan tempat kejadian. Melihat Rafa yang tidak mengeluarkan darah, Aksa khawatir terjadi sesuatu yang parah pada anak itu, sehingga fokusnya sekarang hanya memeriksakan keadaan Rafa secara menyeluruh.
Sampai di rumah sakit, Rafa dibawa ke ruangan UGD untuk diperiksa lebih lanjut oleh perawat dan dokter jaga. Dokter mendengarkan penjelasan dari Aksa lalu meminta perawat membawa Rafa untuk diperiksa dengan CT Scan supaya mendapat hasil yang akurat.
Setelah pemeriksaan CT Scan Rafa dibawa kembali ke ruangan UGD sambil menunggu hasilnya. Di sana Aksa dan Rindu duduk di kursi seadanya. Aksa merasa kasihan melihat wajah Rindu yang terlihat cemas dan khawatir.
"Rin, Rafa itu anakku, kan?" Entah kenapa pertanyaan yang keluar dari bibir Rafa adalah itu.
Sementara Rindu hanya bisa menatap pria itu dengan heran. Mengapa dia menanyakan itu di saat genting seperti itu.
"Kenapa? Kalau kamu tahu dia anak kamu, terus kamu mau ngapain? Toh selama ini kamu enggak pernah peduli sama aku." Rindu menjawab dengan ketus.
"Enggak gitu maksudnya, Rin, aku cuma tanya dia anak aku atau bukan?"
"Iya, terus kenapa? Kamu mau bawa dia?"
"Enggak. Kalau memang dia anakku, aku cuma mau berusaha jadi papa yang baik buat Rafa kalau memang dia mau aku jadi papanya."
Rindu menarik napas panjang. "Kamu tenang aja, misalnya pun dia anak kamu, aku enggak akan pernah bilang ke dia kalau kamu adalah papanya."
"Tapi, Rin--" ucapan Aksa terhenti saat dokter menghampiri mereka.
Dokter menjelaskan kondisi Rafa saat itu dalam keadaan baik. Anak itu hanya pingsan karena syok dan tidak bisa menghindar. Dia pun tidak tertabrak atau tersenggol mobil. Tidak ada pendarahan dan gegar otak.
Aksa dan Rindu bisa bernapas lega setelah mendengar penjelasan dari dokter. Mereka diizinkan untuk membawa Rafa pulang.
"Ayo aku antar kamu sama Rafa pulang ke rumah. Sudah malam."
"Enggak usah, Sa, kamu sibuk dan enggak punya waktu untuk mengantar kami pulang. Aku sama Rafa bisa pulang sendiri dengan taksi atau minta dijemput orang rumah." Rindu menolak Aksa mentah-mentah.
"Enggak bisa. Ini sudah malam, kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu dan Rafa maka aku harus bertanggung jawab."
Rindu menatap tajam pada Aksa. Dia tidak suka mendengar ucapan pria itu. "Kamu enggak ada kewajiban untuk tanggung jawab sama aku. Biarkan kami pulang sendiri karena kamu punya perempuan lain yang perasaannya harus kamu jaga."
Seketika Aksa marah mendengar ucapan Rindu. Dia mencekal lengan perempuan itu dengan keras. "Kamu ngomong apaan sih? Kalian datang ke rumah sakit ini karena aku yang bawa. Enggak usah mikir macem-macem deh." Aksa melepaskan cekalan tangganya pada Rindu setelah perempuan itu terlihat kesakitan.
Aksa tidak memedulikan apa yang akan Rindu lakukan selanjutnya, dia pun menggendong Rafa dan membawanya ke mobil. Rindu terpaksa mengikuti dari belakang karena khawatir Aksa akan lebih marah lagi padanya.
Setelah semua masuk mobil, Aksa melajukan kendaraannya menuju rumah orang tua Rindu.
Di perjalanan pulang, sesekali Aksa melirik ke arah Rindu untuk memastikan apakah tangan Rindu masih terasa sakit karena perbuatannya tadi.
"Tolong jawab dengan singkat. Rafa itu anak aku atau bukan? Aku cuma minta jawaban itu aja!"
Rindu enggan menjawab. Bukankah mestinya pria itu tidak perlu bertanya lagi soal anaknya karena dengan wajahnya Rafa pun sudah bisa menjawab pertanyaan Aksa.
"Emang penting ya aku jawab pertanyaan itu? Bukannya kamu bisa lihat sendiri jawabannya?"
"Aku cuma pengen dengar jawaban kamu aja, Iya atau bukan?"
"Iya. Puas?" Rindu menjawab dengan nada bicara tinggi.
"Belum. Kenapa selama ini kamu enggak pernah ngasih tahu dan memilih pergi begitu saja?"
Rindu merasa malas menjawab pertanyaan Aksa. Mengapa dia tidak mencari tahu sendiri, malah bertanya padanya. Rindu memilih untuk tidak menjelaskan apa pun pada pria itu karena terlalu banyak yang harus dia ceritakan pada Aksa. Rindu tidak mau merasakan sakit hati lagi karena harus menceritakan semuanya.
"Kita sudah bercerai. Enggak ada lagi yang perlu aku ceritakan sama kamu. Toh selama ini kamu juga enggak pernah peduli." Rindu memalingkan wajah ke arah jendela mobil.
"Aku minta maaf kalau selama ini enggak pernah cari tahu tentang kamu yang ternyata kamu hamil anakku, tapi aku punya alasan untuk enggak melakukan itu, Rin. Kamu mau maafin aku, kan?"
Rindu menghembuskan napas kasar lalu menatap ke depan. "Permintaan maaf sekarang enggak bisa mengubah keadaan. Jadi, biarlah semua berjalan seperti sebelumnya. Aku dengan Rafa dan kamu dengan tunanganmu."
"Itu bisa berlaku jika enggak ada Rafa di antara kita, tapi karena ada Rafa maka aku enggak bisa mengabaikan dia karena dia anakku."
Rindu menatap Aksa yang fokus menyetir. "Dia bilang enggak bisa mengabaikan Rafa? Emang dia mau ngapain? Aku jadi penasaran," batin Rindu masih meremehkan Aksa. Rindu masih melihat Aksa masih sama dan tidak berubah sedikit pun.
Sampai di rumah Rindu, Aksa menghentikan mobil di luar pagar. Ternyata Adrian sudah menunggu di teras rumah. Wajah pria itu terlihat cemas menunggu Rindu dan Rafa.
"Terima kasih sudah mengantar sampai rumah. Kamu enggak usah turun, biar aku bawa Rafa sendiri ke rumah." Rindu melarang Aska bertindak lebih jauh.
Namun, pria itu tidak mendengarkan ucapan Rindu sama sekali. Ya dia memang membiarkan Rindu menggendong Rafa masuk ke rumah, tetapi dia juga turun dari mobil. Pria itu merasa harus menjelaskan sesuatu pada orang tua Rindu agar mereka tidak bertanya-tanya mengapa dia yang mengantar Rindu pulang.
"Habis darimana, Rin? Kok tadi Papa telepon kamu enggak jawab?"
"Nanti aja aku ceritain ya, Pa. Aku mau bawa Rafa ke kamar dulu."
"Loh, kok ada Aksa di sini? Ketemu sama Rindu di mana?" tanya Adrian penasaran.
"Ceritanya panjang, Om. Jadi, tadi--"
"Ayo masuk dulu, ceritanya di dalam aja!"
Aksa mengikuti langkah Adrian masuk ke rumah. Dia diajak duduk di ruang tengah rumah, setelah menyalami papa dan mama Rindu dia pun duduk di sofa. Tak lama kemudian Utari datang membawa minuman dan diletakkan di meja.
Aksa menceritakan kejadian hari itu pada Adrian, wajah papanya Rindu itu terlihat serius saat mendengarkan cerita dari Aksa. Dia fokus mendengarkan, tidak memotong atau menginterupsi sampai Aksa selesai bercerita.
"Terima kasih sudah mengantarkan Rindu pulang, maaf kalau mereka berdua merepotkan kamu ya, Sa."
"Aku enggak pernah merasa repot mengantar anak sendiri pulang ke rumah ini."
Adrian terkejut mendengar ucapan Aksa yang barusan. Lalu dia merasa penasaran dengan apa yang telah terjadi pada Rindu dan Aska sebelumnya.