Suasana di dalam mobil hening ketika Fania menghentikan celotehannya tentang Abi, andai aku bisa berteriak mungkin aku sudah berteriak sekencang mungkin. Helooooo yang kenal dia duluan gue kali, dan gue tau bagaimana dia luar dalam bahkan gue tau bentuk tubuhnya, ah aku tidak sejahat itu sampai aku harus berkata langsung ke Fania tentang itu.
"Mbak, aku penasaran deh... masa cewek secantik mbak kok bisa belum menikah" aih cuma 5 menit saja Fania berhenti mengoceh dan sekarang kembali bawel lagi, tumben amat Abi mau cewek bawel seperti Fania sedangkan dulu kalo aku sudah mulai bawel, dia akan memilih pergi atau menutup telinganya dengan tangan, tapi sekarang dia terlihat enjoy berada disamping Fania.
Aku sama sekali tidak menyangka kalo Fania ternyata bawel juga, pertama bertemu aku kira dia tipe wanita anggun dan pendiam, ternyata setelah aku mengenalnya cukup dekat aku menjadi tau bagaimana sifat dasarnya, bawel dan pengen tau urusan orang.
"Siapa bilang aku belum menikah, nggak punya suami bukan berarti belum menikahkan?" jawabku asal, aku mendengar Fania semakin antusias bahkan penasaran, terlihat dari dia semakin mendekatiku dan kini wajahnya persis berada di tengah-tengah kursiku dan Abi.
"Suami mbak meninggal atau..." dia seperti ingin mengatakan kata cerai tapi antara segan dan malu karena terlalu kepo dengan kehidupan pribadiku.
"Cerai... kami bercerai beberapa tahun yabg lalu, puas? Nah aku harap sampai disini saja kita membahas masa lalu aku, nggak ada bahagia-bahagianya yang ada bikin sedih dan menderita" ujarku sinis, huh syukurin, maaf ya tapi ini tulus dari hatiku, semenjak aku mengenal yang namanya Abi, hidupku seakan jauh dari kata bahagia. Abi semakin terlihat frustasi mungkin merasa tersindir atau gerah aku menyindirnya.
"Kalo boleh tau, kalian kenapa bercerai..." Waduh ini lagi kok bisa-bisanya Gilang ikut-ikutan bertanya, jangan bilang dia belum tau kalo aku ini mantan istri Abi, ah tapi kami memang belum pernah bertemu sih, jadi wajar kalo dia tidak mengenaliku.
"Panjang ceritanya, kalo diceritakan mungkin ngalahin sinetron Tukang Bubur Nggak Pulang-Pulang" aku semakin asal menjawab, semua orang tertawa kecuali Abi, huh tau nggak situ kalo gue sedang nyindir situ, sakit ya atau keblingsat ya... huh lihat saja, ini belum seberapa.
"Oh gitu, sama dong sama saya... wah sepertinya kita cocok" balas Gilang, mendengar ucapan Gilang aku hanya tersenyum simpul, tak lama aku merasakan mobil di rem mendadak.
"Loh kok berhenti Mas, tujuan kita masih jauh kok... Mas kebelet ya, mau ketoilet atau mual?" tanya Fania, iya kebelet karena gue sindir tajam hehehehe, siapa suruh ngebangunin singa betina yang belum move on, jadi jangan salahkan jika singa cantik ini sedikit nakal.
"Nggak enak badan, kalian lanjutkan saja... Gilang tolong temenin Fania ya, gue balik dulu... sakit kepala" katanya dingin, dia menatapku sejenak tapi aku langsung membuang muka, aku tau dia siapa jika sudah tersudut dia hanya bisa kabur dan meninggalkan masalah bukan menyelesaikan masalah.
"Yakin lo? atau setelah gue antar cewek-cewek ke butik, kita cari udara segar? kayaknya lo bukan sakit kepala tapi sakit hati... heheheheh" aku melihat Abi menatap tajam Gilang, dia mengacuhkan ajakan Gilang dan memilih membanting pintu mobil dan pergi begitu saja dengan Taxi.
"Ah tunangan kamu payah Fani, cemen... digodain dikit langsung ngambek" aku hanya diam melihat perbincangan Fania dan Gilang. Beberapa saat kemudian ponselku berbunyi, ada SMS masuk dan aku langsung membukanya.
From : +8127899xxxx
"Ini aku... Abi... aku tunggu nanti malam di restoran Seroja, ada yang perlu kita bicarakan... berdua"
Aku langsung membalas smsnya, dia kira aku masih Claudia yang dulu apa, penurut dan bego huh no way!!! Lo butuh gue, lo yang nyari gue!!! Enak aja... lo kira lo penting apa!!.
To : +8127899xxxx
"Maaf salah sambung"
Aku memasukkan kembali ponselku ke dalam tas dan tak lama kemudian ponselku kembali berdering.
From : +8127899xxxx
"Aku tau ini nomor kamu, oke kalo kamu nggak mau datang, aku yang akan datang ke apartemen kamu"
Hahaha dia kira aku masih tinggal di apartemen pemberiannya ketika kami bercerai? Apa dia lupa dulu kata-kataku seperti apa? Jangankan menerima harta gono gini, apapun pemberiannya ketika kami masih menikah daja sengaja aku tinggalkan di rumah Mami termasuk kunci apartemen. Aku lebih memilih tidak membalas SMS nya dan kembali fokus dengan tujuanku pergi dengan Fania.
Setelah sampai dibutik, Fania dan aku sibuk memilih kebaya yang akan digunakannya untuk akad nikah dan juga resepsi sedangkan Gilang hanya menunggu di ruang tunggu sambil ngobrol entah dengan siapa, wajahnya terlihat kaku dan juga tegang.
"Mas ini bagus nggak, Mbak ini bagus nggak?" tanya Fania dengan antusias, Gilang menutup ponselnya dan menatap kearahku dan juga Fania lalu dia menggelengkan kepalanya sedangkan aku mengangguk, wah selera kami berbeda ternyata.
"Loh kok nggak bagus sih Mas, ih mbak Claudi aja bilang kalo kebaya ini bagus... cowok memang aneh ya seleranya, iyakan mbak" aku mengangguk, aku teringat bagaimana dulu Abi antusias memilihkan kebaya untuk aku kenakan, semua yang terbaik ditolaknya, ini kuranglah itu kuranglah pokoknya harus sesuai dengan keinginannya.
"Bagus kok meski agak terbuka dan memperlihatkan bahu kamu, tapi setau aku Abi nggak suka pacarnya memakai pakaian terbuka..." Fania dan Gilang menatapku heran , aduh mampus aku kok bisa keceplosan... aihhhhh gawat!!!, bisa-bisa semua orang tau lagi kalo aku ini mantan istri Abi, aku memutar otak mencari cara agar mereka tidak curiga.
"Hmmm gitu ya mbak.... kalo yang ini gimana?" Fania menunjukkan kebaya sederhana berwarna putih gading, berhiaskan payet emas. Sederhana tapi terkesan mewah. Hmmm kalo ini selera Abi banget, dia sangat suka jika aku memakai baju seperti ini. Fiuhhh untung Fania tidak sampai curiga. Aman kali ini... Claudia kamu harus berhati-hati!!
"Bagus, tanya saja Gilang..." ujarku, Fania menunjukkan kebaya tadi kepada Gilang dan sesuai tebakanku, Gilang langsung mengangkat jari tanda setuju.
"Ya udah aku pilih ini kebaya ini saja, mbak Claudi bilang Mas Abi pasti suka.... mbak sini deh ikut aku ya ke ruang ganti" Fania lali menarik tanganku dan membawaku ke ruang ganti.
Fania terlihat mengepaskan kebaya tadi ditubuhnya, dia berdiri didepan kaca dan berputar-putar beberapa kali, wajahnya tak berhenti tersenyum. Akupun tiba-tiba merasa sesak, mungkin karena ruangan ini kecil dan sempit kali ya, rasanya pengen nangis aja. Tiba-tiba Fania mendekatiku dan memberikan kebaya tadi kepadaku.
"Coba deh mbak yang ngepasin, soalnya aku lagi halangan jadi agak nggak nyaman jika membuka dan mencoba kebaya ini, lagian badan kita setipe deh, kalo ditubuh mbak pas maka ditubuh aku juga pas" waduh apalagi ini, ya Tuhan lama-lama Fania juga yang akan jadi malaikat pencabut nyawaku.
"Tapi yang mau menikah kan kamu, kok malah aku yang coba... pamali, orang bilang nanti acara nikahan kamu nggak lancar" aih mitos aneh dari mana lagi itu aku comot, bodo yang penting aku nggak disuruh mengenakan kebaya nikahan dia, apa kata dunia mantan istri mencoba gaun pernikahan calon istri dari mantan suaminya, aih ribet ya hubungan kami, pusing pala boneka santet.
"Mbak, please... ya ya ya ya" dia menunjukkan muka memelasnya, dan entah kenapa aku langsung luluh, dia menyerahkan kebaya tadi kepadaku dan meninggalkan aku sendiri di ruang ganti.
Hufttttt nasib-nasib
****
Fania bukan saja kurang kerjaan tapi juga aneh, bayangkan yang mau nikah dia tapi yang sibuk ini itu malah aku, oke aku WO yang mereka sewa jasanya tapi nggak kayak gini juga kali, masa baju pengantinnya aku yang ngepasin bahkan yang lebih aneh lagi, dia malah nyerahin keputusan pemilihan undangan kepadaku, tambah aneh nggak sih... kalo menurut aku sih aneh.
Setelah ribet kesana kemari akhirnya aku terbebas dari makhluk bernama Fania, rasanya berton-ton beban yang ada dipundak langsung hilang ketika aku turun dari mobilnya, aku sengaja meminta diantar ke kantor saja, padahal mereka sangat ingin mampir ke apartemen ku, tapi karena aku takut nanti Abi tau dimana tempat tinggalku dengan terpaksa aku berbohong jika aku sedang ada urusan dikantor, dan untungnya mereka percaya.
Kaki pegel, kepala pusing dan juga perut kram akibat tamu bulanan yang tiba-tiba datang membuat semua tubuhku terasa remuk redam, setiba diapartemen aku akan mandi lalu tidur panjang mumpung besok hari minggu.
Langkahku terhenti ketika melihat Abi sedang berdiri didepan pintu apartemenku, aku ingin balik arah tapi aku sadar kenapa aku yang harus kabur, seakan aku yang takut bertemu dia.
Aku memasang wajah dingin dan berjalan kearahnya, aku mengambil kunci apartemen dari dalam tas, bunyi kunci membuat Abi melihat kearahku.
Aku berhenti tepat disampingnya, aku hendak memasukkan kunci tiba-tiba Abi memegang tanganku, jantungku langsung berdetak dan membuatku mundur beberapa langkah untuk menghindarinya.
"Kita perlu bicara" ujarnya pelan, aku masih berusaha mengontrol efek sentuhannya tadi di jantungku.
Fiuh kok reaksi tubuhku bisa seperti ini ya, padahal dulu ketika kami masih suami istri saja efeknya saja tidak sedahsyat ini.
"Aku sudah bilang nggak ada lagi pembicaraan diantara kita, kita sudah punya kehidupan masing-masing... jadi buat apa lagi kita bertemu seperti ini, kamu sudah punya tunangan dan aku tidak mau nanti ada pembicaraan aneh tentang kita diluaran sana"
"Aku ingin bicara tentang Mami" ujarnya, aku menatapnya, semenjak kami bercerai aku tidak pernah lagi bertemu dengan kedua mertuaku. Aku takut jika aku bertemu mereka, aku juga yang akan terluka. Aku sangat menyayangi mereka karena mereka sudah aku anggap pengganti orangtuaku.
Aku melihat beberapa tetangga melihat kami berbincang diluar, aduh pasti mereka berpikiran aneh-aneh jika aku yang selama ini hidup sendirian tiba-tiba dikunjungi lelaki.
"Pacarnya ya mbak" nahkan ibu sebelah yang terkenal bermulut gosip mulai bertanya padaku, aih aku harus jawab apa coba. Nggak mungkin aku bilang ini mantan suami, bisa-bisa satu apartemen heboh, di bilang teman juga nggak mungkin karena mereka bisa dibilang tidak pernah melihat aku membawa teman.
"Oh nggak bu, dia bukan pacar saya.... hmmmm dia om saya... iya om.. ya kan om?" Ujarku berbohong, Abi terlihat bingung. Orang bodohpun akan tau jika Abi bukan Om ku lah dia masih muda dan tampan, eh kok aku jadi muji dia sih. Bisa besar kepala dia.
"Iya Bu, saya Om nya... dan keponakan saya ini sedikit jahat ya, masa om nya datang malah dibiarkan berdiri diluar" ibu itu mengangguk, aku menatap Abi tajam. Kok malah aku yang kena jebakannya, padahal aku berbohong demi bisa lepas dari Abi, eh sekarang malah dia ingin masuk keapartemen.
Arghhh nggak boleh, Abi nggak boleh masuk. Bisa-bisa dia tau kalo selama ini.... selama ini....
"Sini pintunya Om bukakan" Abi tiba-tiba merebut anak kunci dari tanganku dan dia langsung masuk.
"ABIIIIII!!!, eh Om..." aku melirik kesal ibu rese yang senyum-senyum gaje karena berhasil membuat Abi masuk kedalam apartemenku.
"Abi! Keluar nggak atau aku lapor polisi...." aku hendak mengusirnya ketika aku melihat dia memandang foto pernikahan kami yang masih aku pajang di ruang TV.
Mampus Abi bisa besar kepala karena tau aku masih menyimpan foto pernikahan kami.
"Kenapa kamu masih memajang foto itu Claudi" tanyanya, aku langsung berjalan kearah foto itu dan langsung mencopot dan membantingnya ke lantai.
"Aku ingin setiap aku melihat foto ini, aku ingat jika hidupku hancur dan menderita karena orang yang ada di foto ini, puas!!! Sekarang keluar dan jangan pernah kesini lagi" ujarku dengan dingin, meski alasan sebenarnya bukan itu.
"Maafin aku"
"Nggak ada yang perlu dimaafkan, kita sudah lama berpisah dan hubungan kita hanya klien dan pemberi jasa, jadi tolong bersikap profesional, jangan campur adukkan dengan pribadi.... Fania wanita yang baik dan dia cocok menjadi istri kamu" suaraku semakin bergetar.
"Aku tau"
"Aku capek dan ingin istirahat, tolong tinggalkan aku sendiri..." ujarku mengusirnya, aku nggak tau apa yang akan terjadi jika dia masih ada disini.
"Kedatanganku untuk memberitahu jika Mami ingin bertemu kamu, Mami sedang sakit dan keinginannya untuk bertemu kamu sangat besar, aku mohon kamu datang dan temui Mami" katanya, aku hanya diam. Mami sakit ya Tuhan... aku sudah sangat berdosa memutuskan silaturahmi dengan Mami.
"Aku akan datang, bukan karena kamu tapi murni karena aku masih menganggap Mami adalah orangtuaku" balasku, dia tersenyum.
"Aku tau, Claudi tetaplah Claudi yang aku kenal dulu... murah hati dan pemaaf"
"Siapa bilang??? Claudi dulu sudah mati, Claudi dulu yang cuma bisa nangis karena dicerai suami juga sudah mati, yang ada sekarang Claudi wanita bebas yang akan memulai menata hidupnya, dan akan dimulai dengan mencari pria baik, jika kelak kami berjodoh aku akan langsung minta dinikahi dan memiliki anak sebanyak mungkin" ujarku berapi-api, Abi berjalan mendekatiku. Lalu dia memegang daguku.
"Tidak boleh ada pria lain dihidup kamu hingga tanggal 8 Mai, camkan itu!!!" Setelah itu dia berlalu pergi dan meninggalkan aku yang masih mencerna kata-katanya.
Apa artinya!!!! Kenapa otakku masih belum bisa mencerna, Claudiiiiiiiii bodoh!!!
****
Tbc