Sebuah Alasan

1486 Kata
Shanum terlihat masih mengecek laporan penjualan ketika Ahsan memasuki kamar. Gegas, ia matikan laptopnya dan menegakkan duduknya. Ahsan memilih langsung merebahkan tubuhnya di ranjang. Shanum yang melihat suaminya menutup mata dengan lengannya, mengurungkan niatnya untuk bertanya. Ia pun, memilih untuk keluar dari kamar. "Tunggu." Langkah Shanum terhenti, ketika mendengar suara Ahsan. "Bisakah, kita berbicara sebentar?" pintanya. Ragu, Shanum hanya menganggukkan kepalanya. Dia pun, memilih duduk di sisi lain ranjang. Terdengar helaan napas yang berat dari Ahsan. Lalu, hening menyelimuti mereka. "Berikan Mas, waktu." Shanum mengernyit. Tak mengerti kearah mana pembicaraan Ahsan. Dirasanya tak mendapat tanggapan dari Shanum, terpaksa Ahsan memperjelas ucapannya. "Waktu, untuk memperbaiki hubungan kita." Shanum mengangguk mengerti. Namun bingung, harus memberi tanggapan apa. Sayang, anggukannya tak dilihat oleh Ahsan. Hingga dia menyangka Shanum belum memberi jawaban. "Apa kamu ga mau, memberi Mas waktu?" tanyanya. "Mau kok, Mas." Dalam hati, Shanum merasa amat gembira mendengar permintaan Ahsan tadi. Setidaknya, hubungan mereka mungkin bisa berubah menjadi sedikit lebih hangat. "Terima kasih. Istirahatlah." Setelah mengucapkan itu, Ahsan kembali keluar kamar. Paginya, mereka pamit pulang pada Mey dan Arslan. Ahsan juga sudah memberitahu kedua orang tuanya, bahwa dia akan berusaha untuk memperbaiki hubungan rumah tangganya dengan Shanum. Dia juga berjanji untuk memperbaiki sikapnya terhadap Shanum. *** Seminggu berlalu, sikap Ahsan memang lebih baik dari sebelumnya. Meski belum bisa memperlakukan Shanum sebagai istri sepenuhnya, setidaknya dia tidak sedingin dulu. Mungkin, hubungan mereka sekarang lebih seperti hubungan pertemanan. Dan, Shanum tidak masalah dengan hal itu. Yang terpenting baginya, Ahsan masih mau bertegur sapa dengannya. "Mas, akan pulang telat malam ini," ijin Ahsan sambil menyantap sarapannya. "Tumben," sahut Shanum. "Mas, harus ke Bogor sebentar. Resto yang ada di sana, sedang ada sedikit masalah. Jadi, Mas harus cek sendiri agar cepat selesai masalahnya." Shanum mengangguk mengerti. Setelah sarapan selesai, Ahsan pun berlalu. Tak ada kecupan hangat di kening. Pun, dengan cium takzim di tangan sang suami. Hanya ada ucapan salam di antara mereka. Sebatas itu lah, hubungan mereka. Dan, Shanum cukup puas dengan hubungan mereka yang sekarang. *** "Iya, Del?" Shanum yang tengah mengecek pesanan salah satu customer, menjawab dengan santai panggilan telpon dari Delia, karyawan yang menjaga meja resepsionis di butiknya. "Ini, Mbak. Ada mantan pacar Mbak, dateng." Tubuh Shanum menegang demi mendengar ucapan Delia tadi. "Halo. Mbak?" Shanum tersadar dari keterkejutannya. "Kamu, bilang aja kalau saya lagi keluar bertemu client, ya?" Belum sempat panggilan berakhir, pintu ruangan Shanum sudah terbuka lebih dulu. Siapa lagi yang buka, jika bukan sang mantan yang datang secara tiba-tiba. Rupanya, Delia hendak memberi tahu Shanum tadi, jika Miko sedang berjalan menuju ruangannya. "Sayang." Miko berhambur, hendak memeluk Shanum. Secepat kilat, Shanum memundurkan kursinya untuk menghindari Miko. "Kenapa, kamu menghindar?" Miko menatap heran. "Siapa lo, berani mencoba memeluk gue?" Miko melotot, mendengar ucapan Shanum barusan. Pasalnya, selama mengenal Shanum, tak pernah sekalipun Shanum berbicara dengan bahasa lo-gue. Pun, kepada temannya, hanya aku-kamu atau saya-anda yang keluar dari mulutnya. "Kamu, kok ngomongnya gitu sih?" Miko masih terus berusaha mendekati Shanum. "Stop, jangan berani mendekati gue lagi!" Shanum memekik. Emosinya kini sudah di ubun-ubun. Air mata Shanum, luruh begitu saja. Teringat betapa tega Miko padanya. Semua harapan, dan impian yang mereka rajut bersama selama bertahun-tahun hancur begitu saja. Tepat, sehari sebelum janji suci mengikat mereka. Wanita mana, yang tak akan hancur saat sang kekasih membatalkan pernikahan mereka yang tinggal menghitung jam saja, hanya melalui sebuah pesan singkat. Tanpa berniat menjelaskan secara detail, alasan dia membatalkan pernikahan begitu saja. Lalu, menghilang tak ada kabar. Dan, kini dengan santainya kekasih yang sudah bergelar mantan itu, masih memanggil ia dengan panggilan Sayang. Sungguh, muak Shanum mendengarnya. "Aku kangen banget sama kamu, Say." Ditatapnya sendu Shanum. Namun sayang, yang ditatap justru menatap benci. "Bullshit," Shanum mendecih seraya tersenyum miring. Diusapnya kasar air mata, merasa begitu bodoh karna masih bisa menangisi Miko. "Silahkan keluar! Kita, sudah ga punya urusan apapun lagi." Dibukanya pintu ruangan dengan lebar. Miko masih terpaku, melihat Shanum yang berubah kasar seperti ini. "Baik, aku akan keluar. Tapi, ijinkan aku buat menjelaskan semua dulu ke kamu." Pasrah, Miko hanya bisa berharap Shanum mau memberikan kesempatan padanya. Sejenak, Shanum berpikir. Ragu, apakah ia harus memberikan lelaki itu kesempatan untuk menjelaskan. Atau, membiarkan saja karna memang sudah tidak diperlukan lagi penjelasannya itu. Toh, dijelaskan pun percuma. Karna kini, dia juga sudah menjadi istri dari Ahsan. "Please ...," bujuk Miko lagi. Akhirnya, Shanum memutuskan untuk memberikan Miko kesempatan untuk menjelaskan semuanya. "Baik, duduklah kalau begitu." Sengaja, Shanum menahan pintu dengan manekin agar pintu terbuka lebar. Ia tak ingin, ada yang berpikiran macam-macam tentangnya yang kini sedang berduaan di dalam satu ruangan bersama sang mantan. Shanum pun duduk di kursinya, diikuti oleh Miko yang duduk di seberangnya. "Aku, minta maaf karna sudah membatalkan pernikahan kita begitu saja." Shanum mengepalkan tangannya saat mendengar permintaan maaf dari Miko. "Semudah itu kamu meminta maaf padaku?" Kini, Shanum lebih bisa mengontrol emosinya. "Aku tau, kesalahanku sangat fatal. Bahkan, sulit untuk kamu maafin," "Nah, itu tau." Belum sempat Miko menyelesaikan kalimatnya, Shanum sudah memotongnya terlebih dahulu. Miko, menganggukkan kepalanya. Tanda dia membenarkan ucapannya sendiri. Lalu, hening menyelimuti keduanya untuk beberapa saat. "Lalu, apa yang ingin kamu jelaskan padaku?" Miko terbengong, dan seketika dia ingat jika alasan Shanum masih membiarkan dia ada di sini adalah karna Shanum yang ingin mendengar penjelasannya. Menarik napas dalam, Miko memulai ceritanya. "Waktu aku kirim pesan ke kamu, saat itu aku lagi ada di bandara," "Ngapain, kamu di bandara?" lagi, Shanum memotong kalimat Miko. "Papih terkena serangan jantung. Dan, mamih minta aku buat ikut nemenin mereka ke Singapur. " Miko tertunduk, raut wajahnya berubah sedih. Tak ayal, Shanum pun ikut merasakan sedih karnanya. "Aku, benar-benar minta maaf sama kamu. Karna, selama di sana pun, aku ga bisa menghubungi kamu karna sibuk mengurus papih" "Bulak-balik ke rumah sakit mengurus semua keperluan papih dan mamih selama beberapa hari, membuat aku ga sadar jika ponsel aku tertinggal di bandara. Itu juga salah satu alasan buat aku, ga bisa hubungin kamu selama beberapa bulan ini." "Kenapa kamu ga beli ponsel, dan hubungin aku dari sana?" rasanya, tak mungkin Miko bisa bertahan lama tanpa memegang ponsel. "Saat itu, kesehatan papih paling utama. Jadi, aku ga kepikiran buat langsung beli ponsel baru di sana" "Kamu, mau kan maafin aku?" tutupnya dengan permintaan maaf. Shanum bimbang, hatinya yang begitu lembut, terpengaruh oleh raut wajah penuh penyesalan di depannya. Terlebih, cerita yang baru saja dia dengar sungguh tak terduga. Ia bahkan lupa, isi pesan Miko yang mengatakan bahwa ia akan menikahi kekasih gelapnya yang tengah hamil anaknya. "Say." Miko berusaha menggapai tangan Shanum. Belum sempat tangan itu teraih, gebrakan di pintu membuat keduanya berjingkat. "Heh, lelaki brengs*k. Jangan ganggu mbak gue lagi!" teriakan Risa, sukses membuat Shanum menarik tangannya ke bawah meja. Risa mendekati Miko, satu tonjokan berhasil mendarat di pipi Miko. "Ris, jangan tonjok lagi," larang Shanum pada adiknya. Ia khawatir, mereka berdua akan berakhir mengenaskan jika saling membalas. Karna, mereka berdua sama-sama memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni meskipun berbeda aliran. Risa yang mendalami thai boxing, sedangkan Miko mendalami karate. Risa beralih menatap Shanum tajam, berasa tak habis pikir bagaimana kakaknya bisa membiarkan lelaki laknat ini duduk di depannya dengan tenang. "Kenapa Mbak masih ngebelain dia, sih?" Risa mengacungkan telunjuknya ke wajah Miko. "Bukan gitu, Ris. Mbak, cuma ga mau kamu sampai dilaporin ke pihak berwajib karna kasus penganiayaan." Risa menatap nyalang pada Miko. Sedang Miko, mengusap pipinya yang terasa sakit. Untungnya, dia tidak sampai terluka. Jadi, dia memilih untuk mengabaikan kelakuan Risa tadi. "Gue peringatin, jangan mendekati mbak Shanum lagi! Atau, lo akan tau akibatnya," ancam Risa penuh penekanan. Miko menatap Risa remeh. "Jangan ikut campur urusan kami. Kamu, cuma anak kecil yang ga tau apa-apa," Miko mengingatkan. Risa mendengus, menahan emosinya. "Tunggu Mbak di luar, Ris. Mbak, ingin menyelesaikan masalah dengan Miko terlebih dahulu," pinta Shanum. Meski kesal, namun Risa tetap menuruti perintah Shanum. Keluar meninggalkan sang kakak, bersama mantan yang tak bertanggung jawab. "Jadi, kamu mau kan maafin aku?" tanya Miko lagi. Shanum mengembuskan napasnya. "Oke, aku maafin kamu." Miko mendekati Shanum, dengan tangan terbuka. Namun, langkahnya terhenti kala Shanum mengangkat tangannya. "Stop! Berhenti di situ." Miko mengernyitkan dahinya. "Kamu udah maafin aku, kan?" Miko masih heran dengan sikap Shanum. "Iya." "Lalu, kenapa kamu melarang aku memeluk kamu?" tanya Miko yang mulai frustasi. "Aku bilang, aku udah maafin kamu. Tapi, bukan berarti hubungan kita bisa balik seperti dulu." "Apa!?" sungguh, Miko tak mengerti dengan maksud Shanum. "Apa maksud kamu, hubungan kita tidak bisa seperti dulu lagi?" "Ya, ga bisa. Karna aku udah ga kaya dulu." Miko semakin bingung dengan ucapan Shanum. "Aku makin ga ngerti. Maksud kamu tuh apa, sih?" Tanpa menjawab, Shanum hanya mengangkat telapak tangannya. Memamerkan jarinya, yang dilingkari cincin berlian indah. Mata Miko membulat sempurna, melihat cincin berkilau itu bertengger di jari manis kekasihnya. "Itu, bukan seperti yang aku pikirkan, kan?" ragu, Miko melontarkan pertanyaan tadi. "Benar. Seperti yang kamu pikirkan. Ini, adalah cincin pernikahanku." jelas Shanum tanpa ragu. Miko mematung, tak menyangka jika pujaan hatinya telah menikah dengan pria lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN