Minggu (09.08), 11 April 2021
---------------------
“Kak, lapar.”
Razita berkata manja begitu Adam masuk ke dapur. Lelaki itu tampak lebih segar dan santai dengan rambut basah serta kaus dan celana pendek.
“Kebiasaan.” Adam mencubit pelan pipi Razita. “Memangnya dalam perjalanan gak makan?”
Razita menggeleng pelan seraya melingkarkan lengan di pinggang Adam. Tinggi Razita yang hanya mencapai leher Adam membuatnya harus mendongak untuk membalas tatapan mata cokelat itu. “Mau makan masakan Kakak.”
Adam menunduk, menggesekkan ujung hidungnya di hidung Razita. Suatu kebiasaan yang sangat mereka sukai. “Hmm, gadis ini. Gimana kalau nanti sudah menikah? Siapa yang akan memasak?”
“Kak Adam.” Razita menyeringai.
Seketika Adam mematung. Matanya intens menatap mata biru terang Razita. Apa itu artinya—
“Memangnya Rara mau menikah dengan Kakak?” tanya Adam hati-hati.
“Kata Kakek Sam, kita memang harus menikah.”
Denyut nyeri begitu terasa di d**a Adam. Dia kecewa. Sangat. Sungguh, tadinya dia berharap Razita benar-benar ingin menikah dengannya. Tapi ternyata gadis itu hanya merasa harus menuruti wasiat Kakek Sam.
Perlahan Adam melepas lengan Razita yang melingkari pinggangnya. Dia memalingkan wajah dari tatapan penuh tanya milik gadis itu lalu beralih pada peralatan memasak seraya mengenakan celemek.
“Kenapa, Kak?” Razita cukup peka dengan suasana hati Adam. Dia tahu ada sesuatu yang mengganggu perasaan kekasihnya itu sekarang.
Adam memejamkan mata sejenak lalu memaksa bibirnya melengkung membentuk senyuman. Setelah yakin senyumannya cukup tulus, dia menoleh kembali pada Razita. “Tadi Rara bilang lapar. Jadi Kakak akan segera siapkan makan sore.”
Razita mendekati Adam, berdiri rapat di belakang lelaki itu. Kemudian lengannya terangkat melingkari pinggang Adam sementara pipinya bersandar di punggung Adam. “Hanya itu? Bukan karena Kakak kecewa Rara mengatakan sesuatu yang salah?”
DEG.
Adam terdiam mendengar pertanyaan Razita yang sangat tepat.
Seharusnya ini adalah kesempatan baginya untuk jujur, mengungkapkan isi hati. Seharusnya ini kesempatan bagi Adam memastikan seperti apa perasaan Razita sebenarnya pada dirinya. Tapi Adam takut. Dirinya takut jika ternyata Razita selama ini di sisinya memang hanya karena wasiat Kakek Sam. Bukan atas keinginan gadis itu.
“Dugaan Rara benar, ya?” Razita bertanya lagi karena Adam tidak kunjung bersuara.
“Benar apanya?” Adam pura-pura tidak tahu seraya menyiapkan bahan untuk membuat nasi goreng.
Sampai sebesar ini Razita masih susah makan sayuran. Jadi biasanya Adam selalu menggabungkan sayuran dengan masakan lain. Seperti sekarang, Adam memasukkan brokoli dan kol yang diiris halus ke dalam campuran nasi goreng. Ditambah lagi telur dan daging membuat bahan-bahannya tercampur rata dan tidak bisa dipilah lagi. Kecuali kalau Razita tidak keberatan makan selama tiga jam. Mungkin dia akan berhasil menyingkirkan sayuran hijau di nasi gorengnya.
“Maaf kalau Razita mengatakan sesuatu yang salah.” Nada suara Razita terdengar begitu sedih.
Selalu saja seperti ini. Adam tidak pernah bisa marah atau mengabaikan gadis itu terlalu lama. Hatinya tidak tega jika sudah mendengar nada sedih Razita.
Adam mendesah lalu berbalik menatap Razita. Kedua tangannya terangkat membingkai pipi gadis itu. “Tidak ada yang salah. Kakak sedikit tidak enak badan. Makanya sikap Kakak aneh. Jadi Kakak yang seharusnya minta maaf.” Itu tidak sepenuhnya bohong.
Mata Razita melebar mendengar penjelasan Adam. Tangannya terangkat untuk menyentuh kening Adam. “Kakak sakit? Tapi suhu tubuh Kakak normal.”
“Cuma sedikit pusing.”
“Cuma?!” nada suara Razita meninggi. “Kakak selalu saja seperti itu. Suka mengentengkan penyakit. Sebaiknya Kakak istirahat sekarang. Rara akan memesan makanan.”
“Tapi—”
“Tidak ada alasan.” Segera Razita melepas celemek yang dikenakan Adam lalu menarik lelaki itu ke kamarnya. “Ayo, berbaring sekarang juga!” gadis itu menunjuk Ranjang untuk menegaskan perintahnya.
Adam melirik ranjang lalu menggeleng.
Ada yang bilang sakit itu berdasarkan pikiran. Saat tubuh mulai menampakkan tanda-tanda akan sakit lalu kita berpikir bahwa diri kita sakit, maka kita akan benar-benar sakit. Begitu pula sebaliknya. Jika kita terus berpikir bahwa kita sehat, tubuhpun akan bereaksi seperti apa yang kita pikirkan.
Entah hal ini berpengaruh juga pada orang lain atau tidak, yang jelas cukup berpengaruh bagi Adam.
Sejak orang tua Adam meninggal, dia tidak pernah jatuh sakit karena bila sakit Adam terbiasa manja pada orang tuanya. Dia terus berpikir bahwa dirinya selalu sehat karena tidak ada lagi tempatnya bermanja. Dia tidak mungkin merepotkan sang Kakek yang sudah tua dan masih harus menghidupi mereka berdua.
“Kakak, ayo berbaring!” kali ini nada suara Razita lebih tinggi seraya mendorong d**a Adam.
Kembali Adam menggeleng sambil memegang pergelangan tangan Razita yang menempel di dadanya.
“Kenapa, Kak?”
“Kakak akan baik-baik saja setelah selesai masak dan makan. Tidak perlu cemas.” Tatapan Adam penuh permohonan. Dia benar-benar tidak mau jatuh sakit lalu berubah jadi bocah manja.
Razita segera menarik tangannya lalu berkacak pinggang di hadapan Adam. “Berbaring sekarang atau Rara akan marah!”
Adam mendesah kalah. Dia tidak mau gadisnya marah. Perlahan ia membaringkan tubuh di atas ranjang sambil menggosok matanya yang mulai terasa panas. Sebentar saja dia menyerah, tubuhnya mulai bereaksi.
Lelaki itu memang sudah merasa pening sejak melihat Razita dan Carl di berita gosip kemarin. Tapi Adam terus meyakinkan diri bahwa ia akan baik-baik saja, hanya rasa tidak nyaman di hatinya dan kepalanya sedikit berdenyut nyeri. Namun perasaan Adam semakin buruk setelah kejadian tadi di kampus. Kalau hal ini dibiarkan, dia akan benar-benar sakit.
“Rara…” bujuk Adam.
Gadis itu mengabaikan Adam. Tangannya bergerak menyampirkan selimut di atas tubuh Adam hingga sebatas perut. “Tunggu di sini!” perintah Razita tegas lalu berbalik. Namun gerakannya terhenti karena Adam mencekal lengannya. Razita mendesah lalu menoleh. “Ada apa—”
Pertanyaan Razita terhenti begitu melihat mata Adam berkaca-kaca. Dia dilanda panik karena tidak pernah melihat Adam seperti ini, kecuali saat pemakaman Kakek Sam.
“Mau ke mana?” tanya Adam pelan dan sedikit serak.
“Mau pesan makanan.”
“Tidak bisa dari sini, ya? Jangan ke mana-mana.” Kali ini Adam setengah merengek. Bahkan setetes air mata mengalir di sudut mata Adam.
Razita tersenyum, menyadari bahwa Adam jadi manja saat sakit. Perlahan dia duduk di tepi ranjang seraya menangkupkan telapak tangan di pipi Adam. Panasnya mulai terasa.
“Rara hanya keluar sebentar sekalian mengambil kompres,” bujuk Razita lembut.
“Tidak perlu. Kemarilah!” kali ini Adam benar-benar merengek seraya menarik lengan Razita yang masih dicekalnya.
Tarikan Adam membuat Razita rebah di d**a lelaki itu masih dengan kaki di tepi ranjang. “Kakak butuh makan dan kompres.”
“Kakak butuh kamu,” pinta Adam manja dengan air mata semakin banyak mengalir.
Razita tersenyum. Ujung hidungnya menggesek ujung hidung Adam. “Baiklah, Rara tidak akan ke mana-mana. Tapi, Kakak tidak haus?”
Adam menggeleng tanpa melepas tatapan dari wajah cantik kekasihnya.
“Kalau begitu, ayo tidur.” Razita berkata demikian seraya menghapus air mata di wajah Adam.
Razita terenyuh melihat Adam yang biasanya selalu tampak sehat, bugar, dan mandiri kini berubah manja dan lemah. Lelaki itu memiliki sisi kekanakan yang terpaksa ditekan karena keadaan. Dia kehilangan orang tua di usia muda dan terpaksa harus bersikap dewasa.
“Kenapa Rara menangis?” jemari Adam terangkat menyentuh sudut mata Razita yang basah.
Razita tersenyum seraya menggeleng. Tangannya meraih jemari Adam yang tadi menghapus air matanya lalu ia genggam erat. Kepalanya menunduk untuk menanamkan kecupan di punggung tangan kekasihnya itu.
“Sini, Sayang. Nanti kaki kamu sakit kalau tidur seperti ini.” Adam menepuk sisi ranjangnya yang kosong.
Kamar yang Adam gunakan kini merupakan kamar orang tuanya dulu yang sudah direnovasi menjadi kamar utama di rumah itu. Semua perabot di dalamnya juga sudah diganti, termasuk ranjang tempat Adam berbaring sekarang.
Tanpa diminta dua kali, Razita merangkak ke atas ranjang, berbaring di sebelah Adam dengan kepala berbantalkan d**a lelaki itu. Kini suhu tubuh Adam benar-benar meningkat. Mulai menghangat dan wajahnya juga memerah karena demam.
“Kak, kita ke dokter saja, ya? Tubuh Kakak semakin panas,” bujuk Razita lembut.
“Tidak mau.” Adam menggeleng, persis seperti bocah yang menolak dibawa ke dokter.
“Hanya diperiksa, tidak akan disuntik,” goda Razita dengan seringai geli.
Adam tersenyum malu, tampak sangat menggemaskan dengan wajahnnya yang merah dan matanya yang basah. “Dari mana Rara tahu Kakak takut disuntik?”
Bibir Razita terbuka selama beberapa detik lalu tertawa keras. “Kakak benar-benar takut disuntik?”
Adam menahan senyum malu. “Tidak, hanya bercanda.”
“Kalau begitu ayo ke dokter,” goda Razita senang.
“Kalau Rara yang jadi dokternya, Kakak mau.”
“Sungguh?” mata Razita berkilat senang. Dia menumpukan kedua tangan di d**a Adam lalu meletakkan dagu di atas punggung tangannya agar bisa membalas tatapan mata cokelat Adam. “Rara bisa berperan jadi dokter. Tidak sulit, hanya butuh perlengkapan medis.”
Adam tertawa kecil seraya menepuk ujung hidung Razita dengan telunjuknya. “Dasar artis.” Mendadak hal itu mengingatkan Adam tentang kedekatan Razita dan Carl. Seketika senyum Adam berubah kecut.
“Kenapa, Kak?” kening Razita berkerut menyadari perubahan suasana hati Adam. Seperti tadi di dapur.
Adam menimbang-nimbang dalam hati, apa harus mempertanyakan kedekatan mereka atau tidak. Berhakkah dirinya melakukan itu?
“Hmm, Rara. Kau dan Carl, apa kalian menjalin hubungan?” tanya Adam ragu.
“Ya.” Razita menyahut singkat dan yakin.
DEG.
Pedih. Nyeri.
Mendadak Adam sesak napas. Kepalanya berdenyut makin sakit hingga matanya berkunang-kunang. Dia sengaja memalingkan wajah dari tatapan Razita untuk menyembunyikan air mata bodohnya yang mengalir tanpa bisa dicegah.
Adam memilih waktu yang tidak tepat untuk mendapatkan jawaban akan hubungan Razita dengan Carl. Dalam kondisi normal, dia akan dengan mudah memasang tampang datar seolah jantungnya tidak terasa seperti ditikam. Tapi dalam keadaan sakit seperti ini, Adam khawatir tidak bisa menyembunyikan perasaan dari wanita yang telah merenggut hatinya.
“Kenapa Kakak bertanya?” tanya Razita karena Adam hanya diam dan malah memalingkan wajah darinya.
“Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu,” sahut Adam, masih menolak membalas tatapan Razita.
“Oh, hanya ingin tahu.” Ada nada geli dalam suara Razita. “Sebagai pelengkap keingintahuan Kakak, Rara tambahkan beberapa informasi tentang kami.”
Rahang Adam berkedut mendengar ucapan santai Razita. Dadanya panas, seperti ada gunung berapi yang siap meledak dan memuntahkan lahar panas.
“Carl itu orangnya humoris sekaligus baik hati. Dia sering beramal secara sembunyi-sembunyi tanpa ketahuan orang lain dan Rara sering kali ia ajak melakukan kegiatan mulianya itu.” Razita terdiam tampak berpikir. “Kalau tidak ada pekerjaan, tiap akhir pekan kami jalan berdua. Tidak ada tujuan tertentu, hanya menghabiskan waktu bersama. Lalu dua minggu yang lalu Carl menyatakan perasaan pada Rara. Saat itu kami berada di taman hiburan dan sedang naik komidi putar. Lalu dia mendadak mengeluarkan cincin, menyatakan perasaan, dan meminta Rara jadi kekasihnya, tepat saat kami berada di puncak teratas. Ugh, romantis sekali!”
Mendadak Adam bergerak tiba-tiba. Razita memekik ketika tubuhnya terhempas ke ranjang dengan tubuh Adam menindih di atasnya.
“Romantis, ya?” Adam bertanya geram, nyaris tidak menggerakkan bibirnya. “Lalu kau anggap apa hubungan kita?”
“Maksud Kakak apa?” tanya Razita dengan nada tak bersalah.
Mata Adam berkilat marah. “Anggap saja hubungan kita memang tidak berarti bagimu. Tapi kau bilang bersedia menikah denganku meski hanya karena wasiat Kakek. Seharusnya itu bisa jadi bahan pertimbangan bagimu sebelum dengan santainya menerima orang lain sebagai kekasih.” Mata Adam basah dan kepalanya terasa semakin sakit, seperti ada yang bermain drum di dalamnya. Namun Adam mengabaikan semua itu. “Aku juga manusia biasa yang punya perasaan, Rara. Sakit rasanya mengetahui gadis yang kucintai menggantung perasaanku dan malah menerima orang lain sebagai kekasih.”
Razita mengerutkan kening. “Maksud Kakak apa? Bicara yang jelas.”
“Aku—aku men…”
Bruk.
Belum sempat Adam menyelesaikan kalimatnya, dia jatuh pingsan menindih tubuh Razita. Kepalanya berada tepat di samping kepala Razita seperti posisi orang yang sedang berpelukan.
Perlahan, tampang polos Razita berubah. Dia menyeringai senang.
Razita kini bukan lagi gadis sembilan tahun yang tidak mengerti. Dia tahu betul apa yang hendak disampaikan Adam. Bahkan kerap kali dia sengaja jalan berdua dengan rekan kerja prianya hanya untuk memancing pendapat publik yang pasti akan langsung menganggap dirinya sedang menjalin hubungan dengan rekan prianya.
Padahal itu semua Razita lakukan untuk membuat Adam cemburu lalu mengungkapkan perasaan. Ayolah, dirinya juga seperti gadis remaja kebanyakan yang ingin ditembak lelaki yang dicintainya.
Namun sayang, Adam tidak pernah terpancing. Lebih tepatnya pura-pura tidak terpancing. Dia selalu saja bersikap tidak peduli meski Razita tahu terkadang cara Adam menatapnya berubah ketika lelaki itu sedang cemburu. Yah, tapi hanya begitu saja. Sampai Razita bosan sendiri dengan gosip yang beredar lalu perlahan menjauh dari rekan prianya.
Tapi sekarang Razita benar-benar senang. Setidaknya emosi yang Adam tunjukkan adalah kemajuan dalam hubungan mereka. Lelaki itu mulai menunjukkan sikap kepemilikan dan itu membuat d**a Razita menghangat.
Perlahan jemari Razita bergerak membelai rambut Adam. Kepalanya menoleh lalu memberi kecupan lembut di pipi kekasihnya itu.
“Rara akan terus menunggu, Kak. Sampai Kakak benar-benar bersikap layaknya kekasih dan mengungkapkan perasaan pada Rara.” Lalu Razita terdiam dengan kening berkerut. “Ah, tidak jadi. Rara tidak sesabar itu menunggu lebih lama.”
Mendadak Razita tersenyum penuh rencana.
Sepertinya dia harus memancing lagi. Tapi kali ini butuh alat pancing dan umpan lebih besar.
Senyum senang Razita semakin lebar memikirkan apa saja yang harus ia lakukan untuk memuluskan rencananya. Tapi mendadak senyuman itu menghilang saat paru-parunya makin terasa menyempit.
“Akh, Kakak! Rara sesak nafas.”
Razita menggeliat berusaha menyingkir dari tindihan Adam.
---------------------
♥ Aya Emily ♥