“Aku nggak mau makan, Mbak. Nggak selera,” tolak Aura dengan nada lemah. Tatapannya tertuju ke arah jendela, memperhatikan daun yang bergoyang akibat tiupan angin. Wajah Aura terlihat pucat dan bibirnya mengering. Mungkin tidak ada yang tahu—kecuali Mbak Sisil—kalau tadi malam Aura menangis dalam tidurnya. Padahal Aura tidak ingin bersikap lemah, tetapi hati dan air matanya berkata lain. “Mom di mana?” “Itu ... lagi ke luar.” Mbak Sisil menggigit bibir bagian dalam, merasa tidak enak mengatakannya tapi tidak ingin berbohong. “Ketemuan sama Kak Leoni dan ibunya. Mau mendiskusikan soal pesta pertunangan akhir bulan nanti.” “Harusnya aku ikut ya, Mbak. Aku juga mau ... terlibat dalam hari pentingnya kakak.” “Nggak ah, ngebosenin. Nggak enak ngurusin acara orang, lebih baik tiduran di rumah