Rindu 1

1076 Kata
Cinta yang Kau Bawa Pergi - Rindu Samudra meraih ponselnya yang tergeletak di meja kamar. Ada panggilan tak terjawab dari Delia. Dokter itu langsung melakukan panggilan balik. Namun berulang kali di telepon tak ada jawaban. Kenapa Delia meneleponnya malam-malam begini? Lelaki yang masih memakai handuk sebatas pinggang itu gelisah duduk di pinggir pembaringan. Delia meneleponnya waktu dia masih mandi tadi. Samudra memandang jam dinding di kamarnya. Jam sepuluh malam. Perasaannya tak tenang. Semenjak menikah dan ikut Barra pindah, Delia hampir tidak pernah menghubunginya. Gadis yang dulunya periang itu kini jadi pendiam setelah kejadian perampokan setahun yang lalu. Mak Ni, Samudra mencari nomer asisten rumah tangga yang menemani Delia. Namun ia hanya memandang sederetan angka itu tanpa melakukan tindakan. Sudah malam, Samudra tidak enak kalau nanti akan mengganggu wanita itu. Kasihan, dia juga butuh istirahat. Samudra bangkit dari duduknya dan mengambil baju ganti di lemari. Kemudian menunaikan shalat isya. Kekhawatirannya pada adik angkat membuatnya tidak bisa segera terlelap. Padahal di rumah sakit tadi ia sudah sangat mengantuk. Nyatanya satu panggilan dari Delia mengacaukan pikirannya. Padahal bisa jadi Delia tak sengaja menekan nomernya. "Mas, aku takut!" kata Delia suatu hari sambil duduk memeluk lutut di lantai kamarnya. Wajahnya pias berkeringat. "Apa yang kamu takutkan?" Delia tidak menjawab. Dia hanya menggeleng sambil memeluk lututnya yang gemetar. "Jangan takut. Sini!" Dan Samudra duduk di sebelah Delia, membiarkan bahunya untuk tempat bersandar. Setelah diam beberapa saat, Delia akan kembali tenang. Samudra tahu batasannya. Antara dia dan Delia bukan saudara kandung yang boleh saling bersentuhan. Namun semenjak gadis itu mengalami trauma yang dalam, ia sering membiarkan bahunya untuk bersandar. Namun sekarang, bagaimana keadaan Delia yang hampir pulih itu bisa saja kambuh lagi jika Barra tidak memperlakukannya dengan baik. Samudra bisa melihat kalau pria itu hanya terpaksa menikahi adik angkatnya. Dia saja bisa merasakan keganjilan itu. Apakah papa dan mamanya tidak peka dengan kondisi putrinya sendiri? Kenapa juga nekat menikahkan Delia dalam keadaan belum benar-benar pulih dengan pria yang belum tentu mencintainya. Hanya demi reputasi, persahabatan, dan bisnis membuat mereka tega dan tidak memikirkan perasaan putrinya. Samudra menghela nafas panjang sambil menatap langit-langit kamar. Ingin rasanya dia memberontak dan menentang rencana mereka saat ia diajak bicara oleh papanya. Namun siapa dia? Meski telah dianggap seperti anak sendiri, tapi tetap saja Samudra hanya anak angkat. Tentu tidak berani lancang pada keluarga yang telah membesarkannya dengan penuh cinta dan harta. * * * Sejak malam di mana Ibarra memaksa Delia minum obat, perempuan yang belum pernah disentuhnya itu selalu menunduk tiap kali berhadapan dengannya. Bahkan semalaman sanggup tidur miring tanpa berani bergerak, karena takut dengan dirinya yang tidur di sebelahnya. Di apartemennya hanya ada dari dua kamar tidur dan sebuah ruangan sempit yang dimanfaatkan untuk tempat kerja Ibarra. Jadi memang terpaksa tidur sekamar dengan Delia. Supaya Mak Ni tidak bercerita tentang hubungan mereka pada keluarga mertuanya. Pagi ini, Ibarra melihat Delia hanya duduk bengong di balkon. s**u dan roti bakarnya masih terbiar di meja. Mak Ni sibuk membujuk perempuan itu supaya mau masuk ke dalam dan sarapan. Namun Delia bergeming. Tiba-tiba pikiran Ibarra pun menjangkau kemungkinan yang paling buruk. Bagaimana kalau Delia melompat dari balkon? Pria itu melangkah cepat menghampiri istrinya. "Delia, ayo masuk. Jangan di sini!" ajak Ibarra dengan suara pelan. Takut kalau kasar, Delia makin ketakutan. Delia menatap suaminya sekilas, lalu melangkah pelan masuk dan duduk di ruang makan yang menyatu dengan dapur bersih. Ibarra langsung menggeser dan mengunci pintu kaca yang menghubungkan balkon dan ruang dalam. "Simpan dan jangan di buka lagi, Mak." Barra memberikan kunci pada ART-nya. Mak Ni langsung memasukkan kunci ke dalam saku bajunya. Dia paham maksud dari majikan laki-lakinya. Ibarra duduk berhadapan dengan sang istri. Sambil makan nasi goreng, diperhatikannya wanita yang membiarkan rambut panjang setengah bergelombang itu terurai. Gadis itu jauh berbeda dari Delia yang dikenalnya beberapa tahun lalu. Delia dulunya sangat cerdas, bahkan paling cantik di antara kedua saudara perempuannya. Juga paling lincah. Ternyata peristiwa naas malam itu telah merubah segalanya. Karirnya juga tumbang seketika. Delia masih diam tak menyentuh sarapannya. Dia tetap menunduk menghindari tatapan Ibarra. Membuat sang suami malas menghabiskan sarapan. Ibarra lekas berdiri dan pamitan pada Mak Ni untuk berangkat ke kantor. Hidup bersama Delia, lama-lama dirinya ikutan tidak waras. Terus mau sampai kapan begini? Dalam perjalanan ke kantor, Ibarra menelepon Cintiara. "Halo, aku menunggu teleponmu sejak tadi," suara gadis di seberang sana. "Maaf, honey. Aku masih di perjalanan ke kantor ini." "Malam ini kita jadi dinner?" Ibarra diam sejenak. Dia tidak lupa dengan janjinya untuk mengajak makan malam sang kekasih. Apalagi setelah menikah, dia tidak punya banyak waktu untuk bertemu Cintiara. Sekarang ia harus berhati-hati, supaya tidak ada keluarganya sendiri atau keluarga Delia yang memergoki. "Barra, kamu nggak lupa kan?" "Enggak. Hanya saja aku belum tahu nanti bisa keluar kantor jam berapa. Kita juga nggak bisa dinner di dalam kota. Jadi, tunggu dulu kabar dariku ya. Nanti aku kabari via WhatsApp." "Oke, aku tunggu kabarmu." Ibarra menyudahi panggilan. Pria itu kembali fokus pada macetnya lalu lintas kota pahlawan di setiap pagi begini. Harusnya tadi ia bisa berangkat lebih awal lagi. * * * Delia berdiri di dekat jendela kaca kamarnya. Menatap jauh pada gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi di sana. Seperti biasa, Delia hanya diam. Namun perasaannya menjadi lega setiap Ibarra tidak ada di rumah. Dia seperti terbebas dari sesuatu yang menakutkan baginya. Walaupun jika Ibarra keluar, bisa saja ia bertemu dengan perempuan lain. Padahal jika di rumah pun, mereka juga jarang berbincang. Ibarra juga tidak melakukan apapun padanya, bahkan terkesan cuek. Lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerja atau menelepon berjam-jam perempuan di seberang sana. Entah itu siapa, Delia tidak tahu. Delia beringsut menuju cermin rias. Menatap tubuhnya sendiri yang tampak di bayangan kaca. Meraba dari d**a hingga panggulnya. Tinggi semampai, lengan bahu, d**a, perut, panggul, dan kaki jenjang yang tampak proporsional. Kulitnya putih bersih, rambutnya hitam panjang melewati bahu dan sedikit bergelombang. Semua orang mengakui tubuhnya sempurna. Memiliki wajah aristokrat yang menawan banyak pria. Tapi itu dulu, ketika dia belum keluar masuk rumah sakit untuk mengobati depresinya. Sekarang jangankan orang lain, suaminya saja enggan memandang apalagi menyentuhnya. Delia merinding. Lama Delia termangu di depan cermin. Lantas meraba wajahnya yang tanpa sapuan bedak. Alisnya yang hitam tebal berbaris rapi meski tanpa sentuhan pensil alis atau perawatan di salon. Dia tidak suka alisnya yang melengkung indah itu di cukur. "Delia, alismu rapiin dikit napa? Biar agak ramping gitu," ujar Melia sambil menatap sang adik dari pantulan cermin rias di sebuah salon. Suatu hari ketika Delia menemani sang kakak melakukan perawatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN