Bab 6

831 Kata
Mood Maureen sangat buruk! Dia pikir setelah bertemu dengan Barry semuanya akan baik-baik saja dan tidak ada lagi yang perlu dipikirkan, terlebih setelah lelaki itu tidak begitu yakin dengan kehamilan yang sedang dialaminya saat ini. Namun selama syuting, Maureen benar-benar kesulitan berkonsentrasi terlebih menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan Datta untuknya. Maureen menjawab singkat setiap pertanyaan untuknya yang membuat sesi tanya jawab menjadi canggung. Untuk mempercepat proses syuting, akhirnya Datta dan tim produksinya segera mengakhiri syuting lebih cepat dari waktu yang disepakati sebelumnya. "Langsung pulang?" Tanya Ramli yang berada di kursi kemudi. "Hmm, aku lagi gak enak badan. Mau tidur aja." Dengan suasana hati beserta mood-nya yang masih buruk, Maureen memilih pulang. Suasana hatinya akan semakin buruk jika ia tetap memaksa pergi ke suatu tempat meski hanya sekedar untuk makan malam. "Ya udah, kita pulang aja. Kebetulan hari ini aku juga capek banget." Sekilas Maureen melirik ke arah Ramli, dimana wajah lelaki itu nampak begitu lelah dan lesu. "Kamu sakit?" Tanya Maureen. "Nggak," Ramli menggeleng lemah. "Cuman capek aja." Lanjutnya tanpa menoleh ke arah Maureen dan hanya fokus pada kemudi dan jalan Ibu kota yang masih padat. Maureen hanya menggumam pelan, hal wajar yang sering terjadi pada seorang Manager seperti Ramli karena bukan hanya dirinya yang menjadi tanggung jawab Ramli tapi juga ada beberapa artis lainnya yang bernaung di bawah asuhannya. Sesampainya di apartemen, mereka berdua turun bersama dan menuju kediaman Ramli. Langkah keduanya beriringan, meski begitu tidak ada satupun dari mereka yang berbicara. Keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing, termasuk Maureen. Sejujurnya Maureen masih bingung dengan keinginannya sendiri, bagaimana ia harus bersikap dan kehidupan seperti apa yang akan dihadapinya esok hari. Kehamilannya tidak bisa dianggap sepele dan bukan hanya sekedar melahirkan dan mengurusnya saja. Memiliki seorang anak tidak cukup hanya itu saja. Mengenai tanggung jawab, bukan hanya Maureen tapi juga Barry. Lelaki itu bertanggung jawab untuk kelangsungan si jabang bayi, yang sayangnya sudah di tolak Maureen sejak awal. Maureen tidak bisa menyalahkan Barry yang bersikap dingin padanya, karena sikap Barry seperti itu tentu saja karena keegoisannya sendiri. Dengan langkah gontai, Maureen berjalan pelan menuju kulkas. Hal pertama yang ingin dilakukannya adalah mencari buah-buahan segar untuk mengurangi rasa pahit yang begitu terasa di mulutnya. Memikirkan apa yang akan terjadi padanya, tidak membuat rasa lapar hilang begitu saja, Maureen pun mengambil beberapa jenis buah-buahan dan s**u kotak lengkap dengan satu potong cake coklat. "Lapar? Kenapa gak bilang, kita bisa makan dulu sebelum pulang." Ucap Ramli ia pun ikut bersama Maureen duduk di meja makan. "Nggak, aku gak laper. Tadi udah makan." Jawab Maureen namun dengan mulut penuh cake coklat yang membuat jawabannya tidak sesuai dengan kenyataan. Hanya dalam hitungan detik, Maureen menghabiskan semua makanan yang ada di hadapannya. Hal itu membuat Ramli meringis pelan mengingat selama ini Maureen tidak pernah makan sebanyak itu, bahkan Maureen sangat menjaga pola hidupnya dengan hanya mengkonsumsi makanan sehat saja. Tapi kali ini wanita itu tidak lagi memikirkan jumlah kalori yang masuk ke dalam perutnya. Hormon hamil benar-benar membuat wanita berubah! "Mau pesan makanan?" Tawar Ramli. "Aku udah makan buah, cake dan juga susu." Jawab maureen, tapi detik berikutnya ia kembali berubah pikiran. "Tapi tadi hanya cemilan, aku belum makan besar. Jadi aku mau pesan nasi padang aja." "Nasi padang?!" "Iya, pake gulai ayam dan juga peyek udang ya. Nasinya satu aja, jangan setengah. Nanti aku balik lagi, mau ganti baju dulu." Ramli tercengang dengan jawaban Maureen, lagi-lagi wanita itu memilih makanan yang selama ini di hindarinya. Biasanya Maureen akan memesan salad atau jenis makanan sehat lainnya, tapi kali ini wanita itu justru memilih makan nasi padang. Memesan makanan melalui aplikasi online tidak membutuhkan waktu lama, kurang dari dua puluh menit saja makanan sudah tersaji di meja makan. Bau aroma masakan begitu kuat memenuhi indra penciuman yang membuat perut kosong segera bergejolak. Ramli segera menghampiri Maureen yang masih berada di dalam kamarnya dengan mengetuk beberapa kali pintu dari arah luar. "Ren! Maureen. Nasi padangnya udah dateng." Teriak Ramli dari arah luar. Namun panggilannya tidak mendapat respon dari Maureen. "Maureen! Ayo makan, nanti nasinya keburu dingin." Teriaknya lagi dengan suara lebih kencang. Lagi-lagi, panggilannya tidak mendapat respon. Ramli pun penasaran kemana wanita itu atau jangan-jangan ia sudah tidur dan melupakan nasi padang yang sudah dipesannya? Karena Maureen tidak kunjung keluar dari dalam kamar, Ramli pun mencoba membuka gagang pintu dengan sangat perlahan. "Maureen." Panggilnya lagi dengan bagian kepala menyembul dari balik pintu sementara tubuhnya masih berada diluar. Meakipun Maureen tinggal di kediamannya, hal itu tidak membuat Ramli bersikap seenaknya. Ia tetap memberikan area privasi pada Maureen dan tidak berani masuk kedalam kamar yang ditempatinya termasuk saat ini. Hanya sebatas kepala Ramli saja yang masuk kedalam kamar untuk memastikan keadaan Maureen. "Maure," Ucapan Ramli terpotong begitu ia melihat seorang wanita keluar dari kamar mandi dengan lilitan handuk yang hanya menutupi bagian inti tubuhnya saja. Handuk itu sangat pendek dan memperlihatkan lekuk tubuh Maureen dengan sangat jelas. Tidak ingin kehadirannya di ketahui Maureen, Ramli pun segera menutup kembali pintu kamar dengan sangat hati-hati. Ia pun kembali ke meja makan dengan langkah gemetar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN