Tanganku masih gemetar saat Kalandra melepaskan ciumannya. Nafasku tersengal, bukan hanya karena hal yang terjadi tadi, tapi karena tubuhku terasa penuh gejolak yang kutahan mati-matian. Aku menunduk. Suaraku pecah saat akhirnya bicara. "Aku benci ini, Om…" Dia mematung. Matanya menyapu wajahku dengan sorot bingung dan waspada. "Aku benci karna aku selalu terangsang setiap kali kamu pancing. Kamu tahu itu. Kamu selalu tahu caranya buat aku meleleh." Aku mengusap wajahku kasar, seperti ingin menghapus rasa bersalah yang menempel di kulitku. "Tapi ketika akal sehatku kembali, aku merasa jijik sama diriku sendiri. Aku menolak ini bukan karena kamu. Tapi karena aku merasa rendah diri." Kalandra masih diam. Jemarinya mengepal di samping stir, seolah menahan sesuatu. Aku melanjutkan, liri

