"Ah, keras banget, Om."
"Stop, Alea..." katanya menahan sekuat tenaga.
"Gapapa, Om, aku suka."
"Alea, kamu gila, Sayang."
"Ah, Om! ini pertama kalinya aku."
"Tidak, Sayang, kita nggak akan melebihi ini."
"Uh, Om Kalandra, aku meledak lagi!!"
****
“Ayahku memang kelihatannya dingin, tapi aslinya perhatian banget,” ujar Alisa sambil meneguk tipis mocktail dari gelas tinggi berwarna kristal.
“Pesta ini, semuanya dia yang siapkan. Bahkan dekorasi sampai daftar tamu, dia yang atur. Katanya, ulang tahun ke-20 harus jadi momen berkesan."
Aku hanya mengangguk. Gelas minuman keras di tanganku tinggal setengah, ini gelas ketiga malam ini. Lampu-lampu pesta berkedip cepat, dentuman musik menghantam dadaku, dan tubuh-tubuh yang berdansa di sekelilingku terasa seperti bayangan kabur.
Namun, suara Alisa tetap terdengar jelas, begitu ringan, seolah hidupnya tidak pernah mengenal luka.
Dia punya segalanya. Wajah cantik yang selalu tampak mulus di semua sudut kamera, uang yang tak pernah habis untuk belanja apa pun yang dia mau, kuliah di jurusan favorit tanpa pusing memikirkan beasiswa atau kerja paruh waktu.
Dan sekarang, pesta ulang tahun mewah ini adalah bukti nyata perhatian ayahnya yang luar biasa, ayahnya yang katanya terlalu dingin untuk tampil di tengah keramaian, tapi cukup peduli untuk menyulap satu gedung jadi istana malam ini.
Aku belum pernah melihat ayahnya, dia tidak di sini karena katanya pria itu tidak suka keramaian. Sosoknya masih seperti bayangan, tidak jelas. Tapi dari cara Alisa bercerita, aku bisa menebak sedikit tentang karakternya yang tegas, sibuk, pendiam, dan entah kenapa, tipe seperti itu membuatku penasaran.
“Kayaknya kamu sayang banget ya sama ayahmu?” ucapku akhirnya, mencoba terdengar santai.
Alisa mengangguk. “Jelas, dia itu kayak donatur yang berhak ngatur aku, segalanya dari dia. Kamu paham kan," katanya sambil terkekeh.
"Keren banget, Lis." Aku hanya tersenyum samar.
"The best pokoknya. Nanti aku kenalin langsung ke kamu, ya.”
Aku hanya bisa mengangguk lagi, tapi dalam hati ada yang bergemuruh. Aku tidak tahu rasanya disayangi seperti itu.
Ayahku bahkan tidak tahu ulang tahunku jatuh bulan apa, sedangkan ayah Alisa mengatur semuanya hanya untuk memastikan anaknya bahagia. Sialan, aku sangat iri pada Alisa.
Aku menenggak lagi isi gelasku agak keras. Rasanya pahit, panas di tenggorokan, tapi entah kenapa menenangkan.
“Kadang aku mikir,” ucapku, suaraku lebih pelan dari sebelumnya, “kalau aku nggak bisa jadi kaya kayak kamu, mungkin ... aku bisa jadi wanita simpanan ayahmu?”
Alisa terdiam sebentar sebelum mendelik. Lalu tawanya meledak, keras dan tanpa beban. “Kamu gila! Astaga, Alea! Kamu udah mabuk banget ya?” Dia sampai harus memegangi perutnya saking kerasnya tertawa.
Aku ikut tertawa. Tapi di dalam, aku terasa hampa. Aku tahu itu terdengar seperti lelucon. Tapi satu bagian dalam diriku mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
“Em, sepertinya aku sangat mabuk, aku pergi sebentar,” kataku pada Alisa.
“Mau ke mana, Alea? Di sini aja, kalau kamu salah masuk ruangan, bahaya!” Alisa terkekeh lagi.
Aku menanggapinya dengan tawa yang serupa. “Masuk ke ruangan ayahmu, begitu?”
“Gila kamu!”
Aku hanya menggeleng, kepalaku pusing, aku harus cari udara segar.
**
Langkahku terhuyung di koridor mewah itu. Dunia berputar pelan, bercampur bayangan lampu gantung dan suara musik dari lantai bawah yang masih memekakkan telingaku.
Dentuman beat berpadu tawa riang dan jeritan anak-anak muda, tapi aku tak benar-benar peduli. Kepalaku berat.
Tubuhku hangat. Alkohol benar-benar meresap ke dalam nadiku. Dress satin biru dengan belahan tinggi menari setiap kali kakiku melangkah. Heels yang kupakai hampir kulepas, tapi egoku masih memaksaku terlihat tenang. Aku bisa berjalan. Atau setidaknya berpura-pura.
Kupikir aku sedang mencari kamar mandi, atau setidaknya tempat untuk diam dan bernapas. Tapi pintu ini terbuka sedikit. Lampunya redup, seolah mengundang. Tanganku menyentuh gagang pintu, lalu mendorongnya pelan.
Begitu masuk, aroma kayu manis dan bourbon langsung menyergap. Hangat, dalam, maskulin. Bukan aroma parfum cowok kampus yang manis murahan. Ini seperti aroma kekuasaan. Aroma pria sejati. Langkahku masuk tanpa ragu.
Mataku langsung menangkap sosok pria yang duduk di kursi dekat jendela, dengan satu tangan memegang gelas wine dan satu kaki disilangkan santai. Kemeja putihnya terbuka sedikit, itu sangat seksi. Rambutnya agak berantakan, seperti habis mandi.
Dia tidak terkejut melihatku. Hanya menatapku dalam dan tajam yang menusuk.
“Siapa kamu?” Suaranya dalam, tenang, seperti campuran ancaman dan rayuan yang membuat tubuhku lemas seketika.
Aku tersenyum sambil mengayunkan pinggul, pura-pura manja. “Ups, apa aku salah kamar, ya?” Dia tidak menjawab, tatapannya mengamati tubuhku dengan seksama.
Pandangannya menelusuri lekuk pundak, lekuk atas yang hampir tumpah dari dress, hingga ke pahaku yang nyaris terbuka sempurna.
Aku melangkah pelan ke dalam ruangan, mencoba menunjukkan kepercayaan diri yang kupunya.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih datar.
“Aku haus,” bisikku sambil mendekati rak, pura-pura mencari minuman. “Mungkin ... aku sedang cari sesuatu yang segar?”
Dia masih tidak menjawab, tapi aku bisa merasakan tatapannya yang tajam.
“Jelas kamu salah kamar,” katanya akhirnya, dengan nada yang netral. Aku tersenyum tipis.
“Aku tahu. Tapi kamar ini terlalu nyaman untuk ditinggalkan begitu saja.”
Dia berdiri, tinggi dan kokoh, dengan sorot mata yang tak seperti cowok-cowok seusiaku yang gampang grogi melihat lekuk tubuh wanita.
Tatapannya tenang, dingin, dan penuh kendali. Ia tidak terpesona, tapi menilai. “Kamu teman Anakku?” tanyanya dengan suara pelan namun menusuk.
Aku mematung sejenak, lalu tertawa sambil menutup bibir dengan jari. “Tunggu, anak?K-Kamu ayah Alisa?”
Dia mengangguk pelan, dan tubuhku gemetar karena tawa yang tiba-tiba meledak. “Oh Tuhan, aku baru saja genit ke ayah sahabatku?”
Langkahku mendekatinya, mata menatap matanya lekat. “Kamu seksi sekali, Tuan. Atau aku harus panggil Daddy?” Senyumnya samar, tapi matanya tak menjauh. Kurasa dia tidak marah ataupun jijik, hanya menatap dengan intensitas berbeda.
“Aku bisa keluar kalau kamu keberatan,” bisikku di antara helaan napas yang menggoda.
Dia meneguk wine-nya perlahan, lalu menaruh gelas itu di meja. Tatapannya kembali menancap ke wajahku. “Kamu sangat mabuk.”
“Aku tahu. Tapi aku masih sadar kalau pria di depanku terlalu menarik untuk diabaikan.”
Hening. Tegangan menggantung di udara seperti benang halus yang bisa putus kapan saja. Aku bisa mendengar napasku sendiri. Terlalu cepat. Dress ini terasa menempel panas di tubuhku. Dan matanya terlalu tajam, terlalu mengulitiku tanpa menyentuh.
“Apa yang kamu inginkan, gadis kecil?” tanyanya pelan, tapi suaranya menyeruak masuk ke dalam tubuhku seperti sentuhan halus di kulit telanjang.
Aku mendekat, menyentuhkan jemariku ke dadanya yang terbuka. “Mungkin aku Cuma ingin kehangatan malam ini.”
Dia menatapku lama. Lalu bergerak, satu langkah dan berikutnya. Kini kami berdiri begitu dekat. Hanya beberapa inci, cukup untuk merasakan napas satu sama lain.
Tangannya mengangkat daguku, mengarahkan wajahku agar menatap ke matanya. “Berbahaya bermain seperti ini dengan pria dewasa, sayang.”
“Aku tahu. Tapi bukankah hal-hal berbahaya justru paling menggairahkan?”
Mulutku nyaris bersentuhan dengan bibirnya. Matanya menatap dalam, seolah mencoba menembus pikiranku, atau menunggu batas kendalinya runtuh. Aku tidak tahu siapa yang akan lebih dulu melangkah, siapa yang akan terbakar.
Tapi satu hal yang kutahu pasti malam ini bukan lagi tentang pesta ulang tahun Alisa. Ini tentang gairah yang salah. Di kamar yang salah.
“Kamu seksi sekali, Tuan.”