04 - Ada Yang Tidak Beres

1177 Kata
"Om, aku minta maaf. Tolong jangan dibahas lagi, aku—" Aku memalingkan wajah, mencoba menjaga jarak. Tapi langkahnya tetap maju, lalu berhenti tepat di hadapanku. “Baiklah, kamu tampak tegang,” ucapnya pelan. “Ada masalah?” Aku menggeleng cepat. “Nggak ada. Aku Cuma mau pamit sama Alisa. Aku mau pulang.” Dia mengangguk ringan, seolah tidak mempermasalahkan. Tapi tiba-tiba tangannya meraih pergelangan tanganku. “Kenapa pegang-pegang om!” seruku refleks, kaget dan risih. Tubuhku kaku seketika. Dia terkekeh santai. “Aku lebih suka saat kamu memanggilku Daddy." Tubuhku membeku. Napasku langsung berubah tak teratur. Rasa malu datang bersamaan dengan rasa bersalah. “Aku minta maaf. Aku benar-benar lancang. Tadi aku mabuk. Aku kehilangan kendali.” Suaraku gemetar, penuh penyesalan. Dia menatapku datar, tapi bibirnya tersenyum tipis. “Kehilangan kendali kadang justru menunjukkan kejujuran.” Aku menunduk. Tidak tahu harus berkata apa. Tapi pikiranku kembali kacau hanya karena tatapannya. “Aku bisa antar kamu pulang, kalau kamu mau,” katanya tenang. “Baiklah, selesai hukumannya gadis kecil. Ingat agar tak salah kamar lagi, iti berbahaya." Aku mengangguk cepat seolah akan mematuhinya. "Kebetulan aku juga mau pergi.” Aku tidak langsung menjawab. Tapi dia menyelipkan sesuatu ke tanganku. Sebuah kartu nama berwarna hitam elegan. Aku menatapnya ragu-ragu. Di sana tertulis nama Kalandra Alfabian dengan jabatan President Director di Varnion Group. Mataku membulat. Jantungku berdegup lebih cepat. Ayah sahabatku ternyata seorang presdir perusahaan besar. “Kamu sudah tahu namaku,” ucapnya santai sambil sedikit memiringkan kepala. “Sekarang giliranmu. Siapa namamu, cantik?” Aku meneguk ludah. Mulutku kering. Separuh diriku ingin lari, tapi separuhnya ingin bertanya apakah dia mengira aku perempuan nakal. Jangan-jangan dia pikir aku ani-ani yang sengaja menggoda pria kaya untuk mencari keuntungan. Tanganku mengepal di sisi tubuh. Aku harus cepat pergi sebelum semuanya makin rumit. “Aku nggak perlu diantar. Terima kasih,” ucapku cepat, mencoba menjaga nada tetap sopan meski suaraku terdengar kaku. Dia tidak menjawab, hanya mengamati wajahku. Tatapannya tetap tenang, seolah tahu aku sedang lari dari sesuatu. “Aku minta maaf lagi,” kataku sebelum berbalik. “Selamat malam.” Kalandra tidak mengejarku. Langkahku makin cepat menyusuri lorong, mencoba menjauh sejauh mungkin dari pria itu. Aku tidak mau terjebak oleh hal-hal di luar kendaliku lagi. Jika Alisa tahu aku main gila dengan ayahnya, semuanya akan selesai. Alisa pasti menganggapku perempuan murahan. Padahal selama ini hubungan kami baik, hampir seperti saudara. Begitu sampai ke area pesta, aku langsung mencari Alisa. Nafasku belum sepenuhnya tenang. “Lis,” panggilku pelan. “Aku pamit dulu ya.” Alisa menoleh cepat, wajahnya bingung. “Loh, kok buru-buru? Gilbert masih pengin ngobrol tuh sama kamu.” Aku tersenyum kecil, mencoba terdengar lembut. “Maaf ya. Aku harus pulang. Nggak bisa sampai selesai.” Alisa mengerucutkan bibirnya, tampak kecewa. Tapi aku langsung memeluknya erat. “Selamat ulang tahun,” ucapku hangat. “Makasih udah undang aku malam ini.” Aku melepaskan pelukan sejenak lalu mengeluarkan paper bag dari loker kecil di dekat pintu masuk. “Ini buat kamu.” Alisa menatap isi tas kecil itu, lalu memelukku lagi. “Kamu sahabat terbaikku, Alea!" Napasnya terdengar berat, penuh emosi. “Aku tuh pengin kamu bahagia. Punya pacar yang sayang banget sama kamu.” “Yang ngerti kamu, dan bisa jaga kamu,” lanjutnya sambil tersenyum manis. Ucapannya seharusnya menghangatkan hati. Tapi yang terlintas di pikiranku justru sosok ayahnya. Kalandra Alfabian. Lelaki dewasa yang nyaris membuatku kehilangan kendali malam ini. Aku benar-benar gila. Baru saja aku hendak melangkah pergi, Alisa kembali menahan lenganku. “Alea, biar Gilbert aja yang antar kamu. Dia bawa mobil.” Aku langsung menggeleng. “Nggak usah, Lis. Aku bisa pulang sendiri. Serius.” Tapi pandanganku langsung berubah saat melihat sosok pria itu. Kalandra muncul dari arah samping, berjalan santai ke arah kami. Mataku membelalak. Jantungku mencelos. Aku harus segera pergi sebelum semuanya makin kacau. “Ayo, Gil. Antar Alea, ya,” kata Alisa, tidak sadar aku sedang panik. Aku mengangguk cepat, terpaksa menerima. “Iya deh. Makasih.” Gilbert tersenyum puas. “Oke, ayo kita jalan," ajaknya tanpa pikir panjang. Tangannya menggandengku ringan, tapi cukup membuatku tidak nyaman. Kami melangkah ke arah pintu. Tepat sebelum benar-benar keluar, aku menoleh sebentar. Kalandra berdiri di dekat dinding, menatap tajam ke arahku. Matanya tertuju pada tangan kami yang saling menggenggam. Tatapannya menusuk, membuat tubuhku panas dingin. Aku segera menarik tanganku dari genggaman Gilbert. “Maaf, ya. Aku cuman mau ambil ponselku.” Gilbert tertawa kecil. “Oke, Alea.” Saat kami tiba di parkiran, Gilbert membukakan pintu mobilnya untukku. Aku hampir masuk saat dia menahan langkah. “Alea, tunggu di dalam ya. Aku mau beli minum dulu, sebentar aja.” Aku mengangguk. “Oke.” Aku duduk di kursi penumpang, menarik napas dalam. Aku hanya ingin cepat sampai ke kost, mengganti baju, lalu tidur dan berharap semua ini bisa hilang dari kepalaku. Kupandangi jendela yang mulai berembun. Tapi pikiranku kembali ke sosok yang kutinggalkan di dalam. Kalandra Alfabian. Pria dewasa itu jujur memesona, punya karisma yang membuat jantungku berdegup kencang. Tapi dia ayah Alisa, walaupun dia duda? Tanganku bergerak membuka tas kecil. Kartu nama itu masih ada. Aku memandangnya sebentar, lalu menggeleng pelan. Aku memang gila. Pintu mobil terbuka. Gilbert muncul dengan dua botol minuman. Satu ia sodorkan padaku. “Ini buat kamu. Supaya nggak kehausan,” katanya ringan. “Minum sedikit, katanya bisa bantu ngurangin efek mabuk.” Aku mengangguk pelan. “Makasih.” Sebenarnya aku sudah tidak mabuk. Tapi aku menghargainya. Kuminum seteguk, lalu menoleh ke arahnya. Tatapannya tertuju padaku. Lama dan sedikit berbeda. Seolah menilai sesuatu yang tak terlihat. “Ada apa?” tanyaku akhirnya. Gilbert tersenyum kecil. “Kamu menawan banget malam ini.” Mobil mulai melaju keluar dari parkiran. Lampu kota menyapu kaca jendela, menciptakan bayangan lembut di dasbor. Aku hanya tersenyum kaku, tak menanggapi lebih. “Pulangnya lewat jalan biasa aja?” tanya Gilbert sambil melirik ke arahku. Aku mengangguk. “Iya, lewat Tanah Baru aja. Lebih cepat.” Kami ngobrol ringan sepanjang jalan. Tentang pesta, tamu yang aneh-aneh, dan musik yang terlalu keras. Tapi di tengah percakapan, tubuhku mulai terasa aneh. Ada sensasi hangat menjalar di punggung dan tengkuk. Aku menggeser duduk. Kursi terasa terlalu empuk. Atau mungkin tubuhku yang terlalu gelisah? “Capek?” tanya Gilbert sambil tetap fokus pada jalan. “Eh, iya sedikit,” jawabku cepat. Suaraku terdengar lebih serak dari biasanya. Tangan kiriku bergerak ke paha, seolah mencoba menenangkan diri. Tapi tubuhku malah makin panas. Aku menarik napas pelan. Tapi dadaku justru terasa makin sesak. Jantungku berdetak lebih cepat dari normal. “Pipi kamu kelihatan merah,” kata Gilbert sambil tertawa kecil. “Panas, ya?” Aku tersenyum kaku. “Iya, mungkin karena masih efek pesta dan agak mabuk." Aku tidak mengerti. Aku merasa seperti demam. Tapi tidak sakit. Hanya rasanya aneh, aku jadi lebih sensitif. Aku melirik ke arah AC. Kusembunyikan kegelisahan dengan berpura-pura mengatur suhu. “Apa mau aku gedein AC-nya?” tawar Gilbert. “Nggak usah. Nggak apa-apa kok,” jawabku cepat. Tapi tubuhku jelas tidak biasa. Keringat muncul di leher. Jari-jariku terasa dingin tapi jantungku berdebar tak menentu. Ada yang tidak beres.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN