6

1491 Kata
Aku menghela napas beberapa kali sambil menatap koaci yang sedang dibuka. Mataku masih bengkak dan demi apa pun, peristiwa memalukan kemarin masih terekam sempurna di otakku. Aku malu banget. Nggak tahu lagi harus ditaruh di mana harga diriku setelah ini. Redha pasti akan semakin meremehkan aku. Walau selama ini dia sudah begitu. "Kamu kenapa, Baal?" tanya Farid, teman sekelasku. Farid adalah temanku yang jenius matematika, pendiem, giginya agak tongos tapi entah kenapa adik kelas banyak yang naksir. Teman sekelasku Azil suka padanya tetapi ditolak. Aku tahu alasan penolakannya, cuma nggak mau bilang pada yang lain. Bukan urusanku. "Nggak apa-apa, Rid. Aku cuma kesel aja sama pacarku," kataku mulai cerita walau awalnya nggak kepengen. Farid menautkan alisnya lalu menggeser duduknya agak mendekat padaku. "Pacarmu kenapa?" tanya Farid penasaran. "Stress," jawabku yang langsung mendapat jitakan ringan dari Yoga. "Stress, kepalamu! Paling kamu aja tuh yang bikin dia BT," katanya lalu duduk di samping Farid, ikutan gabung. "Serius, pacarku stress," kataku mencoba meyakinkan. "Kalau dia stress, dia nggak mungkin sekolah di sini, Baal!" sanggah Yoga. "Nah itu, dia pinter berakting! Di luar dia tampak normal tapi ternyata nggak," kataku. "Kalau kamu mau putus, putusin aja nggak usah ngarang cerita!" gerutu Yoga agak kesal. Aku menghela napas panjang. "Serius, Ga," kataku masih bersikukuh. "Emangnya pacarmu stress kenapa, Baal?" tanya Farid kepo. "Awalnya, dia itu orang asing, aku tembak, dia terima. Gila nggak tuh?" kataku mulai cerita. "Nggaklah, aku sama cewekku aja nggak ketemu, cuma chatting di wa, pas aku tembak dia terima, kami jadian, deh!" kata Farid. "Kamu punya cewek, Rid?" tanya Yoga nggak percaya. Farid tersenyum malu, keceplosan dia. "Iya,” “Tumben mau jadian, kenapa?” tanya Yoga lagi. “Soalnya cantik," jawab Farid. "Lebih cantik mana sama Azil?" tanya Yoga. "Cewekku, jauh," kata Farid rada songong. "Tuh kan? Nembak orang asing aja itu nggak aneh, Baal. Kamu aja tuh yang hiperbola," desis Yoga. Aku manyun, kesel. Aku melirik Farid sinis. Dia sama sekali nggak membantu. "Trus apa lagi?" tanya Farid. "Apanya?" tanyaku. "Stressnya," jawab Farid. "Ah, yang ini gila. Dia menyudutkan aku, menakutiku kayak setan cuma biar aku keringetan dan dia mengelap keringatku. Stress kan?" kataku mencoba nyari dukungan. "Itu bukan stress, namanya perhatian, Oon! Kamu keringetan dia usapin, baik hati tuh!" sanggah Yoga. "Heh? Bukan gitu, dia yang--." "Aduh, nggak usah gitu, Baal. Cewekku aja suka ngelap keringatku pake tisu kalau aku keringetan," Farid memotong ucapanku. "Bukan gitu, Redha itu--," "Udah, ah! Kamu ngarang nih. Kasihan pacarmu," kata Yoga kesal. Aku menghela napas berat lalu menyipitkan mataku memandang Yoga. "Apa?" tanya Yoga. "Kamu jones Ga?" tebakku dan langsung kena lempar kulit koaci oleh Yoga. "Njir banget kamu, Baal! Mentang-mentang punya pacar ngatain orang!" dengus Yoga kesal. "Kalau mau, kamu bisa ambil pacarku," kataku yang langsung mendapat jitakan dari Farid. "Kamu nggak boleh gitu, Baal. Dia udah baik hati menyukaimu, itu bonus tuh. Bersyukur!" omel Farid. "Emangnya kamu bahagia sama cewekmu, Rid?" tanyaku. Farid mengangguk cepat. "Bahagia, dong," jawab Farid tanpa ragu. "Emang bahagianya kenapa?" tanyaku. "Cewekku itu, meski aku nggak ada waktu, dia nggak pernah protes. Kalau aku kesepian atau down, dia selalu ada. Tiap kali aku chat, dia langsung balas. Kalau aku batalin janji mendadak, dia nggak pernah ngambek dan satu lagi dia selalu buat kejutan buat aku," jawab Farid panjang-lebar. "Kejutan gimana?" tanyaku penasaran. "Dia selalu buatin kue tiap bulan di tanggal spesial kami, dia selalu ngasih aku hadiah yang nggak terduga, dia juga suka buatin aku lagu-lagu cinta," kata Farid yang langsung membuatku melihat Yoga yang lagi ngiler. "Woi, Ga! Ilermu netes!" tegurku. Yoga tersadar lalu langsung menyeka ilernya. "Hehe, sorry. Sumpah idaman amat cewekmu, Rid. Kenalin dong," pinta Yoga. Farid mencibirkan bibirnya. "Nggak, enak aja. Jarang amat ada cewek kayak gitu, nggak bakal aku serahkan," kata Farid tegas ngebuat Yoga tampak kecewa. "Kalau nggak mau diserahkan, kenapa nggak ditembak-tembak?" tanya Anton yang baru datang, lalu bergabung duduk di depanku. Farid hanya nyengir. Aku yakin dia nggak akan ngasih tahu semua orang kalau sebenarnya dia udah jadian dan ketemuan dengan cewek yang dia temui di sosial media itu. Di kelas ini, hanya aku dan Fahmi yang tahu mengenai itu. Aku juga nggak mungkin bilang kalau Farid udah taken karena sudah janji nggak bakal bilang siapa-siapa. "Jelek ya cewekmu?" kata Anton berpraduga. Farid manyun. "Enak aja, dia cewek paling cantik yang pernah aku temui," bantah Farid. "Kayak apa dia?" tanya Anton. "Kulitnya putih, matanya bulat, kelopak matanya panjang, pipinya rada chubby dan bibirnya tipis," jelasku yang seketika membuat Anton menoleh heran kepadaku. "Kok tahu, Baal?" tanya Anton. "Pernah ketemu," jawabku. Anton ngakak. "Wadow, itu cewekmu atau pacarnya Iqbaal, Rid," ledek Anton yang membuat Farid langsung memelototi aku. "Maaf, keceplosan," kataku. Farid hanya manyun lalu ikut buka koaci. "Tapi ngomongin stressnya cewek, cewekku juga kadang labil!" kata Farid. Aku menoleh padanya, penasaran. "Labil gimana, Rid?" tanyaku. "Dia suka ngambek bahkan meski hal kecil, misal aku nggak langsung balas chatnya, atau saat aku typo, dia marah," kata Farid. "Trus?" tanya Yoga, ikutan kepo dia. "Trus pas dia marah, aku kasih alasan, ngebela diriku gitu kan? Eh dia malah makin marah, trus pas kumarahin balik, dia nangis," lanjut Farid. "Hah?" "Iya, dia bahkan sengaja lama-lamain balas chatku dan selalu ngancem mau pergi kalau aku nggak minta maaf dan ngaku kalau itu salahku," Farid menambahkan. "Wah, s***s," kata Yoga. "Kalau itu, cewekku juga selalu memasuki fase labil tiap bulan," Anton ikutan nimbrung. "Kamu punya cewek, Ton?" tanyaku, bingung soalnya setahuku Anton jones. Anton hanya nyengir. "Pacaran sih belum, tapi kalau HTS ( hubungan tanpa status ) iya," jawab Anton menjawab kebingunganku. "Oh, trus?" tanyaku. "Ada waktu dimana dia nggak pernah mau aku chat atau telpon, ketemu juga nggak mau," kata Anton. "Lah kenapa, Ton?" tanya Farid. "Dia bilang dia benci sama aku," jawab Anton yang seketika langsung memecah tawaku, Yoga dan Farid. "Kwkwk, kamu dibenci cewek sendiri, Ton?" ledek Yoga. "Lah iya, tapi habis itu dia bakal selalu chat, nelpon dan ngebet ketemu aku," kata Anton. "Wadow, kok aneh gitu ya, apa semua cewek kayak gitu?" tanya Yoga heran. Anton hanya mengangkat kedua bahunya, agaknya dia juga nggak tahu alasan kenapa ceweknya begitu. "Aku tahu tuh kenapa, Ally juga gitu!" kata Fares lalu duduk deket Anton. Aku, Yoga, Farid dan Anton seketika menoleh pada Fares. Fares hanya tersenyum lalu memakan koaci di depanku. Kami nunggu agak lama, tapi Fares nggak jawab-jawab kenapa. "Aih, bukannya jawab malah makan. Jawab dong," protes Anton. "Oh, nungguin?" tanya Fares setengah bergurau. Kami berempat ngeflat. "Nyebelin amat sih, Res!" dengus Yoga kesal. Fares nyengir. "Itu karena cewek lagi M," kata Fares ngejelasin. Kami berempat loading mendengar jawaban dari Fares. Aku menoleh pada Farid, Farid menoleh pada Yoga dan Yoga menoleh pada Anton. "Aku juga nggak ngerti," kata Anton yang langsung menoleh pada Fares agar ngejelasin. Fares menghela napas berat. "Kalian ini, oon amat sih!" dengus Fares rada BT. "Maksudmu apaan, Res? Cepet jelasin ah!" omel Anton. "M, menstruasi, haid, datang bulan! tamu bulanan kaum cewek, dimana sifat akan berubah 180 derajat dibandingkan kebiasaan normal," jelas Fares. "Owh, gitu. Jadi tiap menstruasi Ally nggak cemburuan dan nggak suka marah dong Res?" tanyaku. Fares nyengir. "Nggak juga sih," jawab Fares. "Trus? Katamu kebalikan dari kebiasan normal," kataku nggak ngerti. "Iya, dia jadi lebih bawel, cemburuan, posesif dan ngambekan dua kali lipat dari sebelumnya," jawab Fares yang langsung ngebuat kami semua ketawa. "Baal," panggilan itu membuatku menoleh. Aku melihat Sasa, teman sekelasku yang menunjuk ke pintu kelas. "Ada yang nyari," katanya. Aku pun langsung berdiri saat kulihat Redha di depan kelasku dengan tangan melambai, menyapaku. Aku segera mendatanginya. Dia hanya senyum, lebar banget dan ngebuat aku keringet dingin. "Baal, ini!" katanya sambil ngasih aku kotak bekal. "Ini apa, Re?" tanyaku. "Makanan," jawabnya. "Buatan sendiri?" tanyaku lagi. Redha ngangguk malu-malu. "Iya, dimakan ya," katanya. Aku hanya senyum lalu menerima kotak bekal darinya. "Makasih, Re," kataku. Redha hanya mengangguk sambil memelintir rambutnya dengan kaki yang digerak-gerakin. Sepertinya dia malu, walau nggak jelas dia malu kenapa. "Baal," panggilnya. "Ya?" "Nanti pulang bareng." "Oke," kataku. "Sambil pegangan tangan ya," pintanya. "Oke," kataku menyetujui permintaannya. "Jalan kaki," katanya meminta lagi. "Iya, aku antar sampai kamu naik angkot." jawabku mengabulkan permintaannya. Redha menatapku dengan tatapan datar yang entah kenapa menusuk. Aku bergidik ngeri. “Maksudmu jalan kaki dari sekolah sampai rumahmu?” tanyaku memastikan dugaanku. Redha mengangguk membuatku hanya menganga nggak percaya. "Re, rumahmu dua kilometer dari sekolah," keluhku. Redha mengangkat wajahnya yang awalnya malu-malu, berubah jadi tatapan yang penuh kemarahan. "Eh, iya, iya, jalan kaki sambil gandengan tangan!" kataku menyanggupi. Redha tiba-tiba nyengir. "Yaudah, aku ke kelas dulu ya, Baal!" pamitnya. Aku mengangguk tapi aku panggil dia lagi. "Tunggu, Re!" cegahku. Redha menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arahku. "Apa?" tanyanya. "Kamu lagi menstruasi?" Redha mengangguk. "Hari pertama?" tanyaku lagi. Redha mengangguk lagi. "Kenapa, Baal?" tanya Redha dengan wajah polos. "Ng-ngak apa-apa," kataku. Redha pun pergi dan aku masih berdiri dengan roh yang nyaris pergi. Menstruasi hari pertama aja minta jalan kaki dua kilometer sambil gandengan tangan. Gimana sama 6 hari sisanya? Ya Tuhan, miris amat hidupku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN