4

1029 Kata
Pacaran itu asyik? Ayolah, aku bahkan nggak paham asyiknya di mana. Membahagiakan dan menghilangkan rasa bosan? Aku malah merasa ngeri dan ketakutan. Jantungku yang awalnya normal, perlahan melemah karena keadaan ini. Pacaran dengan Redha adalah yang terburuk. Putus? Jangan konyol. Ini bukan lagi soal cinta, kenyamanan atau hal nggak penting lainnya. Ini sudah soal nyawa. Sekarang aku paham alasan mengapa Fares nggak mutusin Ally meski menderita. Dia lebih sayang nyawanya meski harus berenang dalam penderitaan. Sama seperti yang aku rasakan kini. Semua seri penderitaanku dimulai ketika Redha tiba-tiba menjemputku di rumahku. Wntah dari siapa—dia tahu rumahku sehingga pagi-pagi sudah berdiri di depan rumahku dengan senyuman manis yang mengerikan. "Pagi, Poochy," sapanya ramah. Aku hanya diam, tangan dan kakiku seketika mendingin dalam sekejap. Beku. "Berangkat bareng, yuk!" ajaknya. Aku diam beberapa detik. Belum sempat menjawab ketika dengan nggak sabar dia sudah menggandeng tanganku. "Ayo!" ajaknya sambil mencengkram kuat tanganku sehingga aku sedikit meringis kesakitan. Aku terpaksa mengikutinya. Kami berjalan beriringan walau dia beberapa sedikit ke depan, seolah aku beneran hewan peliharaan yang sedang ditarik pemiliknya buat jalan-jalan. "Kapan ulang tahun?" tanya Redha. Aku menautkan alisku, mendadak amnesia dengan tanggal kelahiranku sendiri. "Kapan?" tanya Redha lagi, masih sambil menghadap depan dengan menarik tanganku. "Hm, mungkin 21 maret," jawabku ragu. "Itu Fahmi," sanggah Redha. "Iya kah?" tanyaku keheranan. "Iya, jadi kapan?" tanya Redha lagi, ada penekanan di nada suaranya. "Hm, 20 mei," jawabku lagi. Redha menghentikan langkahnya. Ia melepas genggaman tangannya dan membuatku seketika menyeka keringat basah karena keringatku dan Redha ke baju seragamku. Redha memandangku lekat dan mendekat perlahan ke wajahku membuatku seketika merendahkan tubuhku, takut. "Itu ulang tahun si cewek bernama Azil itu!!" ucap Redha geram. Aku hanya nyengir. Heran, dia bisa tahu informasi tentang teman sekelasku. "Iqbaal itu lahir 2 agustus, hari kamis jam 01.00 dini hari!" ujar Redha dengan yakin. Aku hanya senyum kaku. "Kok tahu?" Redha hanya menyeringai licik. "Ukuran celana dalammu saja aku tahu," jawabnya sambil terkekeh membuatku seketika merinding. "Apa?" Redha menatapku tajam. Cewek itu melotot dengan bola matanya yang bulat seperti kelereng, persis mata kucing. "Kamu pikir aku berbohong?" tanyanya dengan kesal. Aku menggeleng pelan. "Nggak, aku percaya," sahutku cepat. "Apa perlu aku sebutin?" tantangnya. Aku menggeleng cepat. "Jangan!" cegahku. Redha menyeringai lebar membuatku semakin merasa yakin kalau dia benar-benar cewek mengerikan. Tanpa sadar aku segera berlari menjauh. "Oi, Poochy!" panggilnya setengah berteriak. Aku tidak peduli, mengabaikan panggilannya. "Poochy!!!" teriaknya keras. Aku berlari sekuat tenaga. Setelah itu menoleh ke belakang, memastika Redha tidak mengejarku. Sunyi. Dia tidak ada. Aku menghele napas lega. Namun itu sementara karena saat jam istirahatm dia muncul lagi. "Iqbaal," sapanya saat aku baru saja keluar dari kelas, hendak ke kantin. Aku terpaku diam, menatap kosong seolah nyawaku dipaksa keluar. "Ayo ke kantin!" ajak Redha sambil mengulurkan tangannya. Aku masih membeku di tempatku lalu menoleh kiri-kanan dan menjumpai Fares yang sudah nyengir jerapah seolah berkata : “ciyee Iqbaal, romantis amat”. Aku mengabaikan tangan Redha dan hanya jalan ngelewatin dia. "Ayo!" ucapku. Aku melangkah pelan dan berhenti ketika merasa sebelah kakiku berat  nggak bisa digerakkan. Aku menunduk, menoleh pada kaki kiriku yang sudah dicengkram Redha dengan kuat. Cewek itu bahkan duduk jongkok dengan kedua tangan memegangi kakiku. "Re, ngapain?" tanyaku. Redha menyipitkan matanya. "Kakimu kayaknya enak kujadiin gulai," bisiknya lirih, halus dan seketika membuatku berjongkok. Aku segera melepas tangannya, memintanya dia bangun dan menggenggam erat tangannya. "Ayo, ayo ke kantin!" ajakku lalu menariknya ke kantin. Redha hanya tersenyum tipis, senang karena berhasil mengalahkan aku. Cewek itu memang menakutkan. Kami pergi ke kantin. Redha nunggu di luar sementara aku berdesakan dengan yang lain untuk membeli makanan untuk kami berdua. Karena aku hanya pelajar kere, aku hanya beli dua s**u kotak kecil rasa cokelat dan strawberry, snack murah dua ribuan dan kacang atom seribuan. Selesai membayar, aku menemui Redha lagi. Kusuruh dia memilih mau rasa cokelat atau strawberry. Dia memilih cokelat, aku pun meminum yang rasa strawberry. Karena s**u kotaknya kecil, cepat habis. Aku nyaris membuang kotak s**u yang sudah kosong itu ketika tiba-tiba Redha menahan tanganku. "Baal," panggilnya sambil menatapku lekat dan tangannya mencengkram kotak s**u di tanganku. "Ya?" sahutku. "Buat aku ya," katanya dengan mata berkaca-kaca mirip kucing tetanggaku yang lagi memelas agar dikasih makan. "Heh? Ini udah habis," kataku. Redha menekuk mukanya, BT. "Iya, iya, boleh!" kataku. Redha berwajah cerah lalu mengambil sedotan dari kotak susuku. Dia pun menggigit ujung sedotan bekas bibirku dan menghisapnya beberapa kali seolah lagi minum s**u. "Enak," katanya. "Hah?" "DNA Iqbaal terverifikasi," katanya lagi dengan senyum terkembang sempurna. Aku bergidik ngeri. Entah kenapa aku merasa kalau Redha itu benar-benar aneh. Walau aku nggak paham, apa yang ia maksud dengan DNA-ku yang sudah terverifikasi. "Yaudah, ayo jalan!" katanya sambil mengulurkan tangannya lagi. "Anu Re, hm," aku berpikir sejenak, bingung mau jelasinnya gimana. "Ada apa, Baal?" tanya Redha. "Aku mau ke kamar mandi," jawabku pelan, agak malu. "Owh, ayo!" katanya sambil menggenggam tanganku lalu mulai berjalan. "Heh?" "Aku antar," katanya santai. "Hah? Nggak usah Re," tolakku. "Kamu mau ke toilet kan?" tanyanya. "Iya." "Yasudah aku antar!" katanya maksa. "Tapi Re, aku--." Redha berhenti, menghentakkan kaki kirinya lalu menatapku dengan tatapan curiga. "Bohong ya? Kamu mau menyelinap lalu pergi kan?" tuduhnya. "Nggak, aku beneran kebelet! Aku mau pipis," sanggahku. "Terus kenapa nggak mau kuantar?" tanyanya sok nggak paham atau emang nggak paham beneran. "Ya malulah, masak cowok diantar cewek ke toilet. Kamu nggak mau gitu?" tanyaku. Redha menggeleng pelan. "Nggak," sahutnya lalu melanjutkan langkahnya sambil tetap dengan menggenggam erat tanganku. Aku memutuskan untuk mengalah, rasanya dia emang tipe cewek yang nggak bisa dibantah. Redha melepas tangannya dariku saat kami sudah berada di depan toilet. "Masuk gih, aku kasih waktu 40 detik," katanya serius. "Hah?" Redha mengangkat tangan kirinya, melihat ke jam tangannya. "Empat puluh detik dari sekarang," katanya lagi. Mendengar ucapannya, aku segera berlari ke dalam toilet. Aku buru-buru masuk dan menyelesaikan urusanku. Setelahnya aku keluar dengan keringat basah yang sudah membasahi wajah dan punggungku. Redha yang melihatku begitu sejurus hanya terpaku. Aku pikir dia akan menyambutku dengan berbinar-binar karena melihatku berkeringat. Tapi reaksinya sekarang sungguh di luar dugaan. "Baal," panggilnya. "Apa?" tanyaku dengan agak takut. "Besok kamu ke rumahku ya," katanya lalu pergi meninggalkan aku. Aku hanya melongo. Dia bilang apa? Aku mendadak budeg.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN