Bab 6 Chandra Yang Serba Tau

1392 Kata
Langit luar semakin mendung, entah karena banyak fikiran karena kedatangan Zidane yang tiba-tiba barusan sehingga mampu membuat Gaby susah fokus atau karena Hasta sedang beruntung sehingga beberapa kali membuat Gaby mendesah pasrah. Langkah caturnya banyak di patahkan oleh Hasta. Senyum mulai terukir di bibir cowok itu karena dia yakin akan memenangi taruhannya. Hasta sungguh percaya diri dia akan segera memiliki Gaby yang cuek, menarik dalam gaya tomboinya dan memiliki wajah meskipun bukan golongan yang sangat cantik tapi termasuk dalam golongan yang tidak membosankan untuk dilihat. Yakin, sebentar lagi gadis itu pasti akan bertekuk lutut menjadi kekasihnya. Tiba-tiba nada dering standar dari ponsel Gaby memecah konsentrasi dua orang yang duduk berhadapan. Gaby berusaha mengacuhkan telepon itu karena dia sedang benar-benar fokus untuk mengalahkan Hasta. Gaby tahu, satu kali lengah maka dia akan salah langkah dan kalah. Dan itu artinya dia harus menjadi pacar Hasta songong yang bahkan dalam mimpinya dalam beberapa hari ini-pun sama sekali tidak masuk dalam daftar keinginannya. Dering telepon itu tak berhenti juga, sekali mati karena tidak di angkat, maka akan kembali bunyi. Hingga akhirnya membuat Gaby menjadi terganggu. Ujung-ujungnya dia menghentikan sejenak permainan caturnya. Di tengok layar ponselnya dan terpampanglah sebuah nomor tak di kenal. "Kamu jangan curang aku akan angkat telepon sebentar, khawatir ini telepon penting," peringat Gaby pada Hasta. Dan akhirnya cewek itu menekan tombol bersimbol pesawat telepon warna hijau di layar ponselnya. "Halo," sapa Gaby dengan nada datar. "Gaby?" terdengar suara seorang lelaki yang bertanya di seberang telepon. "Iya benar, ini dengan siapa, ya?" tanya Gaby sedikit penasaran karena tak merasa mengenali suara peneleponnya saat ini. "Assalammu’alaikum, Gaby. Ini Chandra yang seminggu lalu ketemu di Surabaya," jawab Si Penelepon. Gaby mengernyitkan dahinya hingga tak berapa lama kemudian dia sedikit terpekik meneriakkan nama Chandra, "Archandra Sukma? Kak Chan? Wa’alaikumsalam, Kak." Tak hanya Gaby, Rega dan Meta yang menjadi juri taruhan Gaby dan Hasta saling berpandangan heran. Terdengar suara Chandra yang tertawa di seberang sana, "apa kabar?" tanya Chandra dengan nada ramahnya. "Baik, Kak … kabar Kakak gimana?" jawab Gaby. Begitu tahu siapa peneleponnya Gaby menjadi sedikit santai. Pandangan dan jemari tangan kanannya kembali tertuju pada papan catur di depannya. Sedangkan tangan kirinya memegang ponsel yang menempel di telinganya. "Lagi apa?" tanya Chandra di awal percakapan mereka. "Ini lagi main catur sama teman, Kak. Tapi hampir mati langkah nih, bantuin dong, Kak," Gaby mengobrol sambil memainkan jarinya menjalankan langkah pion. Tanpa ada rencana ataupun kesengajaan, di tengah obrolan mereka Chandra membimbing langkah pion catur Gaby. Sedikit demi sedikit buah catur Gaby yang hanya tersisa beberapa saja di papan catur merangsek maju menemukan jalannya. Memakan dan mematikan satu persatu buah catur Hasta. "SKAK!" teriak Gaby pada akhirnya. Buah caturnya melangkah lenggang kangkung dengan gagah perkasa dan akhirnya dia berhasil memenangi taruhannya dengan Hasta. "Kak Chan, Gaby menang, Kak. Makasih, ya, Kak. Sampai ketemu lagi," teriak Gaby yang dengan segera mematikan teleponnya yang berjalan sekian menit tadi dengan Chandra. "Udah Ta, aku menang dan aku harap selanjutnya kamu nggak berharap lagi bakal jadi cowok aku. Kita temenan aja, oke?" ujar Gaby dengan senyum tipisnya menawarkan persahabatan. "Curang, lu, Gab, kayaknya harus di ulang nih tanding taruhannya," protes Hasta tidak terima. "Aku nggak punya waktu, Ta. Udahlah, kemarin pas kamu baru datang orangnya asyik loh, nggak usah pakai penasaran sama aku lah ... kita berteman aja, oke?" Hasta menatap sedikit bengong pada wajah milik seseorang yang beberapa hari ini menarik perhatiannya. Bagaimana bisa cewek ini tahu bahwa dia mendekatinya berhari-hari belakangan ini dengan alasan paling kuat hanya karena terdorong rasa penasaran? "Ya deh ... sori ya, Gab, kita berteman, ya? oke?" Hasta mengajak Gaby melakukan toast. Mereka berdua akhirnya tertawa bersama. ***** Gaby sedang memindah-mindah channel TV seorang diri. Mbak Asya sedang keluar rumah bersama temannya. Mama sedang mengikuti arisan PKK yang bertempat di rumah tetangganya. Sedangkan Manda ada di kamarnya, gara-gara ngambek sama mama sejak tadi sore gadis SMP itu mengunci diri, bahkan di bujuk beberapa kali oleh Gaby tetap saja bergeming tak luluh hatinya, hingga Gaby menungguinya seorang diri di ruang keluarga. Tiba-tiba ponsel Gaby berdering. Di lihatnya nomor tak di kenal yang beberapa digit nomor belakangnya sepertinya tak asing baginya. "Halo?" sapa Gaby sambil mengingat-ingat nomor siapakah yang meneleponnya itu. "Assalammu'alaikum, Gaby," terdengar suara sapa yang begitu manis di telinga Gaby. Senyum Gaby merekah, dia akhirnya bisa mengingat pemilik nomor yang tak di kenal barusan. "Wa’alaikumsalam, Kak Chan," jawab Gaby merasa geli. Dia teringat, tadi siang sangking leganya karena bisa mengalahkan Hasta dia hanya mengucapkan terima kasih pada Chandra kemudian langsung menutup teleponnya, tanpa ngobrol hal lain apapun dengan cowok itu. Tiba-tiba dia merasa bersalah sehingga patut membayar kesalahannya tadi dengan kali ini mengobrol santai yang lebih berkualitas. "Lagi sibuk, nggak?" tanya Chandra dengan nada santainya. "Enggak kok, Kak. Lagi santai banget malah," jawab Gaby dengan santai pula. "Oh, jadi bisa ngobrol sejenak kan? Nggak buru-buru nutup telepon lagi?" sindir Chandra yang jelas terdengar nada gelinya. "Iya, Kak, maaf ya, tadi sangking leganya bisa ngalahin Hasta jadi nggak sempat ngobrol sama Kakak." "Oh, siapa Hasta? cowok kamu?" "Bukan, Kak. Dia teman baru di klub. Andai saja Kakak tadi nggak telepon aku, mungkin sekarang ya bener, dia jadi cowok aku." "Kok bisa, sih? jadi pengin kepoin ceritanya." Gaby tertawa, "mau aku ceritain sekarang, Kak?" tanya Gaby tetap dengan tawanya karena benar-benar merasa geli mengingat kejadian tadi siang ketika Chandra tanpa sengaja membantu memberi instruksi setiap langkah caturnya dan begitu menang Gaby justru mengabaikannya. "Kalau ceritanya besok aja, bagaimana? Emh ... betewe, besok pulang sekolah kita bisa ketemuan nggak?" "Eh, ketemuan dimana, Kak? aku nggak ada jadwal lomba ke Surabaya, nih." Terdengar Chandra tertawa mendengar pertanyaan spontan dari Gaby barusan. "Ya memang kamu nggak ada jadwal ke Surabaya. Tapi aku sekarang ada di Malang, sejak tadi siang malah. Sebenarnya pengin ketemu kamu sore tadi, tapi kamu sibuk banget, sampai-sampai telepon aja di tutup sepihak." Gaby melongo di depan ponselnya, perasaan bersalah mulai memenuhi dadanya. "Ah ... iya-iya Kak, besok bisa kok ketemu sama Kakak, sepulang sekolah, ya?" "Oke, besok aku jemput kamu di sekolah," balas singkat Chandra. "Dih, memangnya Kakak tahu sekolahan aku?" "Tenang aja, aku tahu kok. Oke, sampai ketemu besok, ya? Assalammu'alaikum, Gaby, segera istirahat, ya." "Wa'alaikumsalam, Kak. Iya." Gaby tertegun di tempat duduknya. Archandra bilang dia tahu sekolahnya, terus pada waktu kemarin di Surabaya dengan jelas dia tahu racikan es jus kesukaannya. Sebenarnya dia ini siapa sampai tahu beberapa hal mengenai dirinya. Ah ... Archandra Sukma menyimpan misteri, Gaby menjadi merasa penasaran. ***** Sinar terik mentari tak menyurutkan wajah-wajah ceria para abg berseragam putih abu-abu yang keluar dari gerbang sekolah Gaby. Begitupun dengan gadis itu. Dia berjalan sendiri melewati pintu gerbang sekolahnya. Beberapa menit yang lalu dia mendapat pesan di aplikasi hijau dari Chandra bahwa cowok itu sudah menunggu di depan sekolah. Dan kini, tatapannya tertuju pada seorang cowok dengan tinggi kurang lebih hampir 180 cm berpenampilan oke yang tengah menunggunya. Tersenyum manis sambil keluar dari mobilnya. "Hai, Gab," sapa Chandra sambil mengulurkan tangan mengajak berjabat tangan. "Hai, Kak," jawab Gaby menyambut uluran tangan Chandra. "Masuk, deh," tanpa basa basi panjang Chandra segera mengantar Gaby menuju pintu mobil, membantu cewek itu membukanya kemudian mempersilahkan masuk. Jujur, Gaby sedikit tersanjung dengan perlakuan Chandra yang di rasanya sangat manis dan penuh perhatian. "Kemana, nih, Kak?" tanya Gaby begitu mobil maju perlahan. "Terserah kamu, deh, yang penting makan siang dulu." "Makan bakwan Malang di Jalan Pulosari, yuk, Kak. Nggak terlalu jauh dari sini." "Baiklah, oke aja." Dan di sinilah mereka sekarang. Gaby duduk manis menunggu makanan bakwan khas Malang yang di pesankan oleh Chandra. Begitu mangkuk bakwan itu sudah tersuguh di depannya lengkap seisinya, mata Gaby terbelalak tak percaya melihat isi mangkuk itu. Karena merasa sungkan Gaby tak berpesan apapun pada Chandra. Membiarkan cowok itu mendekati penjual bakwan dan memilihkan isi bakwan ke dalam mangkuk yang akan mereka nikmati sebagai menu makan siang. Dan kini di depan Gaby, mangkuk bakwannya berisi tepat sesuai dengan porsi andalan pilihannya seumur hidup ini. 4 biji bakwan halus di tambah 2 siaomay, 1 gorengan dan 1 bakwan kasar, jelas-jelas tanpa mie dan tanpa sayuran hijau. Hanya di tambahkan kuah dengan sedikit bawang goreng. Gaby termangu tak habis fikir. Bagaimana bisa seorang Chandra mengetahui dengan jelas porsi makan pilihannya? Sampai-sampai tangannya yang sudah memegang sendok dan garpu hanya terdiam tanpa melakukan aktifitas apapun. "Di makan dong jangan di lihatin aja, nanti keburu dingin nggak enak, loh," suara Chandra sedikit mengejutkan Gaby yang masih terbengong.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN