Jodoh untuk Nirmala 1

763 Kata
"Dapat nomer berapa?" tanya Hans pada Nirmala yang baru kembali dari mengambil nomer antrian. Wanita itu cemberut sambil menunjukkan kertas kecil, tebal berbentuk persegi dan tercetak nomer dua puluh disana. "Sekarang masih nomer empat, kita akan kelamaan nunggu. Belum lagi break untuk sholat Maghrib. Bisa jadi tengah malam kita baru pulang." Hans yang duduk di bangku besi paling ujung tersenyum, "Nggak apa-apa. Biasanya kamu kan bikin appoitmen dulu sama dokter." "Iya, sih. Tadi siang aku lupa mau nelfon dulu." Nirmala duduk disebelah Hans. Pria itu mengamati antrian pengunjung di ruang praktek pribadi dokter Alya. Hampir semua dari mereka datang dengan pasangannya. Kehamilan para istri itu juga dalam usia yang berbeda. Mungkin ini yang membuat Nirmala minder datang sendiri. Karena sebagian besar pasien didampingi suami. Tidak lama kemudian berkumandang adzan Maghrib dari Masjid. Beberapa orang yang menunggu segera beranjak menuju Mushola yang ada di halaman depan paling kanan tempat praktek dokter. "Ayo, sholat Maghrib dulu," ajak Hans sambil berdiri. Nirmala mengikuti. Musholla itu lumayan besar, jadi bisa menampung beberapa jamaah. Hans lebih cepat selesai, sedangkan Nirmala masih harus antri mukena. Dia nyesel kenapa tak membawanya sendiri dari rumah. Dulu setiap bepergian dengan orang tuanya, dalam mobil selalu tersedia mukena dari parasut yang bisa dilipat sekecil mungkin dan dimasukkan dalam tas mungil beserta dengan sajadah. Pria itu berdiri menunggu Nirmala dekat pagar. Sambil melihat lalu lintas jalan utama di kota mereka. Tempat praktek dokter Alya memang berada dipusat kota. Beberapa meter dari situ ada taman kota. Kalau malam begini pasti ramai disana. Berbagai pedagang yang berjualan akan buka lapak. Ada penjual makanan, aksesoris dan permainan anak-anak. "Mas," panggil Nirmala. Hans menoleh, "Sudah selesai?" Nirmala mengangguk. "Kalau antriannya masih lama mau nggak kita jalan sebentar ke taman kota. Beli makan. Mas lapar ini." "Baiklah. Kayaknya dokter Alya juga belum selesai sholat Maghrib." "Jalan kaki atau naik mobil?" "Jalan kaki saja. Nanti, Mas, juga kerepotan nyari parkir." Akhirnya keduanya melangkah keluar pagar. Dan tersenyum sebentar pada satpam yang berjaga di pos dekat pintu masuk. Nampaknya tidak hanya mereka berdua yang memutuskan menunggu sambil jalan-jalan. Ada tiga orang pasien yang melangkah keluar, menuju taman kota. Mereka melangkah di trotoar. Sesekali bersimpangan dengan beberapa pejalan kaki. Hans segera meraih tubuh Nirmala saat sepupunya hampir terjatuh karena menginjak lobang trotoar. "Istrinya digandeng, dong, Mas. Hamil sebesar itu diajak jalan cepat-cepat," tegur seorang gadis yang berjalan di belakang mereka. Sontak membuat pria itu menoleh, kemudian mengangguk sopan. Kemudian Hans mengajak Nirmala menepi, dan memberi kesempatan pada dua orang gadis itu untuk melangkah lebih dulu. Setelah mereka menjauh, Nirmala tertawa. "Kenapa tertawa?" tanya Hans sambil kembali melangkah. "Nggak apa-apa. Sebenarnya aku kasihan sama, Mas. Masih bujang kurepotkan seperti ini. Matiin pasaran aja. Siapa yang mau, Mas, deketin kalau mereka mengira kita ini suami istri." "Udahlah, nggak usah bawel." Nirmala diam. Dia merasa tidak enak hati pada Hans. "Jangan cepat-cepat jalannya. Nanti kamu jatuh lho!" "Biar cepat lahiran," jawab Nirmala sambil nyengir. "Mengada-ngada." Langkah keduanya hampir sampai di taman. Disana terlihat ramai pengunjung. Meskipun ini bukan malam Minggu. "Nirmala, mau makan apa?" "Aku ngikut aja, Mas, pengen makan apa." "Kalau Mas apa saja mau." "Dasar Omnivora." Hans terkekeh. "Bakso aja, ya?" Nirmala menentukan pilihan. Hans mengangguk. Setelah berjalan beberapa meter keduanya masuk ke sebuah warung bakso. Pengunjung yang duduk di dalam lumayan ramai. Akhirnya Hans mengajak Nirmala duduk di bangku yang masih tersisa di bagian luar warung. Seorang ibu-ibu menghampiri, menanyakan mereka mau pesan apa. Hans memilih bakso jumbo dan Nirmala memilih bakso urat. Beserta dua jeruk hangat. "Mas mau nanya?" Hans membuka suara setelah beberapa saat mereka terdiam karena memperhatikan ramainya pengunjung taman. "Tanya apa?" "Brian pernah datang menemuimu waktu di rumah Mas?" Nirmala mengangguk. "Ngapain?" Nirmala mengangkat kedua bahunya. "Penasaran mungkin, karena waktu itu dia pernah melihat perut buncitku. Ingin memastikan kalau aku tidak akan menuntut apa-apa padanya." "Kok kamu nggak cerita sama Mas." "Nggak penting, makanya aku diam saja. Dan ... Mas, tahu darimana kalau Brian datang menemuiku?" "Kemarin malam Yulia datang ke rumah. Ingin ketemu kamu." "Terus, Mas Hans, bilang apa?" "Aku tanya kenapa dia yang datang, bukan adiknya." "Karena Mbak Yulia masih cinta sama, Mas. Alasan saja dia mencariku. Padahal pengen ketemu, Mas." Pembicaraan terhenti saat ibu pramusaji datang membawakan pesanan. "Makasih ya, Bu," ucap Hans yang dibalas senyum oleh ibu, yang mungkin istri dari pemilik kedai. Kemudian Hans juga memberikan selembar uang pada wanita itu. Setelah dia pergi untuk mengambil kembalian, Hans menghulurkan beberapa lembar uang warna merah pada Nirmala. "Uang apa ini, Mas?" tanya Nirmala heran. "Ambil saja, buat periksa nanti." "Nggak usah. Tadi Mama sudah ngasih uang ke aku." "Jangan nolak. Mas baru gajian kemarin."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN