Malam Pertama 1

916 Kata
"Kenapa kamu menipuku? Kamu menjebakku. Kenapa?" Brian menyapu meja rias istrinya dengan lengan kokohnya sehingga semua makeup dan parfum pecah berantakan jatuh ke lantai. Pria tegap dalam kondisi shirtless itu menatap penuh amarah pada wanita yang baru dinikahinya sebulan yang lalu. Nirmala yang baru usai mandi terkejut bukan main. Kedua tangannya mendekap d**a. Tubuh gemetar memandang pria yang menjadi suaminya, sekarang siap menghakimi. Brian mendekat ke ranjang. Dengan kasar disingkapnya selimut hingga terbuang ke lantai. "Lihat! Rupanya kamu masih perawan. Berarti malam itu aku tidak menyentuhmu. Kenapa aku harus menikahimu." Mata Nirmala berkaca-kaca. Dipandanginya seprei putih yang ada bercak darah. Ya, semalam adalah malam pertama mereka setelah sebulan yang lalu menikah. Wanita itu semakin gemetar saat Brian berjalan mendekat. Ia mundur dan terjebak dinding. "JAWAB NIRMALA!" Teriak Brian sambil mencengkeram pergelangan wanita berpostur mungil itu. "Kenapa kamu lakukan ini? Kamu tahu kalau aku tidak suka terikat." Nirmala menangis. Dengan pandangan yang mengabur, ia masih bisa melihat sorot kebencian di mata suaminya. Pergelangan tangan yang dicengkeram Brian terasa panas dan sakit. "Le-pasin," ucap Nirmala diantara isaknya. Pria itu tidak peduli. Ia masih menggenggam erat tangan berkulit putih yang kini kemerahan. "Jawab dulu pertanyaanku." Nirmala menghapus air mata dengan tangan yang satunya. Dia menarik nafas untuk melonggarkan tenggorokan yang rasanya tersekat. "Aku tidak menjebakmu. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba aku tidur di dekatmu dalam kondisi seperti itu." Brian berdecak jengkel. "Bohong, kamu." "A-ku tidak bohong." Nirmala tetap membela diri dengan mengatakan hal yang sebenarnya. Pria itu menghempaskan lengan ringkih Nirmala. Wanita itu terhuyung hampir jatuh. Air matanya kembali menganak sungai. "Pergi kamu dari rumahku! Pergi, dan jangan pernah menunjukkan mukamu lagi dihadapanku." Nirmala kaget. Brian mengusirnya. Ia masih termangu bersandar di tembok kamar. Wanita itu berharap bahwa apa yang dikatakan suaminya tidak sungguh-sungguh. Jawaban apa yang akan diberikan pada kedua orang tuanya jika ia pulang tanpa suami dan dalam kondisi seperti itu. "Kenapa diam? Apa kamu tidak dengar?" Teriakan Brian yang menggema, akhirnya membuat Nirmala berjalan sambil terhuyung. "Sumpah, aku tidak menjebakmu." "Stop. Aku tidak percaya lagi perempuan picik sepertimu. Kau perempuan yang memiliki otak kotor. Pergi." Nirmala tidak punya pilihan lagi. Brian tetap tidak mau mendengar penjelasannya. Percuma. Setiap kali pria itu marah, siapapun tidak akan didengarnya. Diambilnya travel bag dipojok kamar. Dengan deraian air mata ia segera mengemasi baju yang sudah tersusun rapi di almari. Rambutnya yang terbungkus handuk segera diurai. Disisir sekedarnya. Kemudian mengambil kaos dan celana jeans. Ia segera berganti baju di tempat itu. Brian mengalihkan pandangan. Muak ia melihat tubuh langsing yang telah dinikmati tadi malam. Nirmala menarik travel bag ukuran sedang berjalan keluar kamar. "Tunggu," cegah Brian. "Jika kamu sampai hamil karena hubungan tadi malam. Jangan memberitahuku. Aku tidak peduli. Ingat itu!" Nirmala tidak menjawab. Ia kembali melangkah keluar kamar. Dan terus keluar apartemen. Di depan lift ia masih sibuk menghapus air matanya. Untuk beberapa lama, Nirmala duduk dibangku besi halaman luar dari apartemen mewah tempat tinggal Brian. Apakah ia terus pulang atau kemana? Ia sangat yakin kalau Papa sama kakaknya pasti mengamuk pada Brian jika Nirmala ceritakan semua kejadian tadi. Nir takut. Wanita itu paham bagaimana Mas Pandu kalau marah. Dengan tangan gemetar Nirmala mencari sebuah nama di daftar kontak hapenya. Mas Hans. Dia sepupu Nirmala. "Hallo, Nirma," suara diseberang menyapa. "Mas, to-long aku. Jemput aku sekarang bisa, Mas," ucap Nirmala sambil terisak. "Hei, kamu kenapa? Kamu dimana?" Suara panik dari suara kakak sepupunya. "Jemput aku di depan apartemen Brian, Mas." "Iya. Mas jemput sekarang. Tunggu disitu." Nirmala berulang kali menyeka air matanya. Ia tidak peduli dengan beberapa pengendara motor yang heran melihat kearahnya. Sementara di kamar apartemen, Brian duduk di kursi meja rias sambil menunduk. Panas didadanya tidak juga reda. Bayangan pergumulan tadi malam memenuhi pikiran, hingga membuat tinjunya mendarat berulang kali di meja kayu. Yang membuat buku tangannya berdarah. Disambarnya kaos putih diatas ranjang, kemudian setengah berlari Brian keluar apartemen. Menekan tombol lift berulang dan tidak sabar. Sampai di lantai bawah ia bergegas ke halaman. Tapi sosok yang dicarinya tidak ditemukan. Brian menyugar kasar rambutnya. Pagi yang masih gelap itu sepi. Kemana Nirmala pergi? 🌷🌷🌷 "Minumlah, tenangkan diri baru ceritakan apa yang terjadi." Hans meletakkan segelas air putih di meja depan Nirmala. Wanita itu meneguk hampir separuh gelas air. Lalu terdiam cukup lama. "Tenangkan diri dulu, Mas mau mandi." Hans meninggalkan Nirmala yang duduk sendirian di ruang tamu rumahnya. Pria umur tiga puluhan itu masuk ke kamarnya. Nirmala mematikan ponsel. Lantas menyimpan benda itu di sling bag. Kemudian dia melangkah ke arah jendela. Tangannya mendorong daun jendela hingga terbuka lebar. Angin pagi menyapa raut wajahnya yang sendu. Peristiwa tadi pagi bagaikan mimpi. Bukan tadi pagi, malah sejak malam itu. Entah siapa yang menjebaknya. Kenapa begitu tega melakukan itu padanya. Terakhir yang diingat Nirmala di malam pesta di apartemen Brian adalah saat ia usai minum jus orange dan merasakan pusing luar biasa setelahnya. Pagi harinya Bu Maya, Mama Brian, yang memergoki mereka di kamar saat wanita itu datang ke apartemen dan hendak membangunkan sang putra. Dan itu adalah awal malapetaka dalam hidup Nirmala. Gadis itu menggelengkan kepala, mengipas kenangan agar menjauhi ingatannya. Hans memandang penuh tanda tanya. Pria itu telah rapi dengan baju kerja. Kemeja warna dark blue dan celana bahan warna hitam. "Nirmala," panggil kakak sepupunya. "Eh, iya." "Duduklah sini. Ayo, sarapan dulu." Nirmala mengikuti Hans menuju ruang makan. Kemudian duduk disana menghadap roti tawar dan selai kacang di meja. Hans tidak bertanya apa-apa hingga usai sarapan. "Cerita sama Mas, ada apa denganmu. Kenapa pergi dengan membawa koper. Kalian bertengkar?" Nirmala mengangguk. "Brian mengusirmu atau kamu yang pergi sendiri."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN