Bab 4 Pertemuan

1023 Kata
Elang Teguh Dirgantara berjalan santai ke area terbuka di sisi lain ruang pesta. Dia butuh udara segar setelah serangkaian basa-basi yang membuatnya bosan setengah mati. Ini pesta ulang tahun kakaknya, direktur rumah sakit Dirgantara Medika, rumah sakit besar milik keluarga mereka. Terlalu banyak orang mengajaknya berbicara. Lama-lama dia merasa pengap dan pergi menjauh untuk mencari udara segar. Sepasang matanya yang tajam segera menangkap sosok seorang wanita muda duduk sendirian di salah satu kursi di sudut, begitu kakinya menginjak tempat pelariannya itu. Dia menyulut rokok dengan gerakan tenang, namun pandangannya tidak beralih dari wanita itu. Dia memperhatikan dengan seksama. Wanita itu terus bergerak gelisah, seperti orang sedang kegerahan. ‘Siapa dia?’ Penasaran, Elang mendekat sedikit, berusaha mengenali, tapi sama sekali tidak ingat kalau pernah melihat wajah itu sebelumnya di lingkaran sosialnya. Untuk seorang pria berusia 30 tahun yang sudah cukup kenyang pengalaman dengan perempuan, wanita ini memiliki daya tarik yang berbeda. Dan ajaibnya Elang kesulitan untuk mengalihkan pandangannya. Wanita itu menggeser posisi duduknya, gaunnya tersingkap sedikit, memperlihatkan betisnya yang putih dan jenjang. Elang hampir tertawa kecil, karena kejutan yang dia rasakan, tapi berusaha menahan diri. Dia cantik, sangat cantik malah. Namun, matanya yang terlatih untuk membaca bahasa tubuh segera menyadari sesuatu, wanita itu sepertinya sudah terlalu banyak minum. Elang menarik napas dalam-dalam, menghembuskan asap rokok ke udara malam. Dia memperpendek jarak, bertanya, "Kamu sendirian?" suaranya rendah dan dalam. Gadis itu menoleh, mencebik, acuh tak acuh. "Apa urusanmu?" jawabnya dengan suara serak yang hampir berupa bisikan. Bau alkohol tercium di hembusan napasnya. Elang menaikkan alis. “Sepertinya kau sudah terlalu banyak minum.” "Pergi!!" Elenora mengibaskan tangannya, suaranya semakin serak. Elang mengabaikan respons wanita itu. Dia memperhatikan perubahan gelagatnya—napas yang semakin cepat, gerakan tangan yang gelisah, dan cara gadis itu terus-menerus menyentuh dirinya, seolah berusaha menenangkan sesuatu. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya, jadi curiga melihat gerak-gerik wanita di depannya ini. "Aku... aku baik-baik saja.” Elang bangkit dari kursinya, ekspresi wajahnya berubah serius. Wanita ini tidak sekadar mabuk. Ada yang lebih dari itu. "Kau tidak terlihat baik-baik saja. Apa yang kau minum?" Elenora hanya tertawa kecil, "Jangan kepo.. Aku hanya... minum anggur...." dia berdiri, berpikir lebih baik menjauh dari laki-laki kepo di sampingnya, walaupun tubuhnya semakin terasa aneh. Namun, langkahnya terhuyung, untung saja Elang dengan cepat menangkap lengannya sebelum dia terjatuh. Begitu dia menyentuh kulit wanita itu, dia langsung merasakan panas tubuhnya. “Kau perlu bantuan!” kata Elang tegas. "Tidak. Aku tidak mabuk," balas Elenora dengan nada protes, meski tubuhnya tak sejalan dengan kata-katanya. Tangannya yang bertumpu di atas meja gemetar dan keringat bercucuran melewati dahinya. Elang memandang wanita itu, penuh penilaian. "Kalau begitu, apa kau sakit? Atau kau memang sengaja ingin pingsan di sini?" “Bukan urusanmu. Pergi!” Elenora kembali mengusir pria di hadapannya. Ia mencoba membebaskan tangannya dari cekalan kuatnya dan melangkah menjauh. Namun, baru satu langkah tubuhnya oleng. Elang dengan sigap menangkap pinggangnya sebelum ia jatuh. "Sudah kubilang, kau tidak baik-baik saja," gumam Elang, kali ini dengan nada yang lebih lembut namun tetap terdengar tegas. Ia memiringkan kepalanya, berpikir. "Aku tidak suka terlibat dalam urusan orang lain, tapi kau benar-benar membutuhkan bantuan." "Aku tidak butuh bantuan," Elenora bersikeras, meski tangannya mencengkeram lengan Elang untuk menahan keseimbangannya. Elang menatapnya dengan tatapan tajam yang membuat Elenora merasa seperti sedang dipindai. "Jangan keras kepala. Kau bisa pingsan kapan saja, dan aku tidak ingin bertanggung jawab jika kau tergeletak di sini." Tanpa menunggu jawaban, Elang menopang tubuh Elenora dengan satu tangan di pinggangnya dan satu lagi menggenggam pergelangan tangannya. "Hei... aku bisa sendiri," protes Elenora lemah, mencoba menarik diri. Elang hanya menghela napas pendek. "Berhenti melawan. Ini pesta kakakku. Aku tidak ingin ada skandal apapun merusaknya." Elenora hanya bisa menggerutu pelan, terlalu lelah untuk melawan. Tubuhnya terasa ringan ketika Elang memapahnya dengan langkah tenang menuju pintu. Di balik sikap dinginnya, pria itu memiliki kekuatan yang luar biasa stabil, seperti seseorang yang terbiasa menghadapi situasi sulit tanpa kehilangan kendali. Saat mereka melewati pintu, suara musik dari pesta terdengar lebih keras. Elang melirik sekeliling, mencari tempat yang lebih tenang atau seseorang yang mungkin mengenal Elenora. Namun, tidak ada siapa pun yang tampak peduli. "Aku akan membawamu ke lobi dan meminta staf untuk memanggil taksi," kata Elang tegas. Elenora menggeleng. "Tidak... aku tidak mau pulang." Langkah Elang terhenti. Ia menatap wanita itu dengan kening berkerut. "Tidak mau pulang? Lalu kau mau ke mana?" Elenora tidak menjawab. Hanya bersandar padanya dengan tubuh gemetar. Elang jadi bingung sendiri, apa kata orang jika melihat mereka seperti ini? Dia tidak ingin menimbulkan spekulasi, yang pasti akan mencoreng reputasinya sebagai pria dingin terkendali. Tapi meninggalkan wanita itu di sana juga bukanlah solusi yang baik. Dia yakin, seseorang telah membubuhkan sesuatu ke dalam minumannya. Kalau ada orang lain mendapatinya seperti itu, wanita ini begitu tidak berdaya untuk diseret ke kamar. Elang menatap wajah yang terlihat polos itu, dan dia merasa tidak tega. Akhirnya dia memutuskan membawa wanita itu ke suitenya. Hanya untuk mengamankannya, tidak ada maksud lain. Dia mendudukkan Elenora di sofa besar di ruang tamu suite-nya. Elenora mendesah. Badannya tambah berkeringat, napasnya agak tersengal, dan pipinya memerah seperti habis berlari jauh. Juga matanya berkabut, pupilnya melebar, dan tubuhnya terasa panas seperti terbakar. Tangannya mencengkeram lengan sofa, berusaha menemukan pegangan dalam pusaran sensasi yang melandanya. Si@lan! Elang mengutuk dalam hati. Itu memang reaksi obat perangsang. Ia harus melakukan sesuatu sebelum semuanya benar-benar lepas kendali. Elang mundur selangkah. Ia bisa merasakan hawa panas dari tubuh Elenora yang terus mendekat ke tubuhnya. Aroma anggur bercampur wangi tubuhnya merasuki penciumannya, membuat nalurinya bergejolak. Elang sudah meminum tiga gelas koktail tadi, dan itu cukup memabukkan. Namun, dia belum akan lepas kendali hanya dengan tiga gelas koktail. Dia masih bisa mengendalikan diri, tapi wanita di sofa itu begitu menggoda. Dia terus bergerak gelisah, menyentuh tubuhnya, seperti sajian tarian erot1s saja. “Nona, dengarkan aku,” katanya tegas, menangkup wajah cantik yang semakin berkeringat itu dengan kedua tangan. “Ini efek dari sesuatu yang dimasukkan ke dalam minumanmu. Kau harus bertahan. Tarik napas dalam-dalam.” Elenora menggelengkan kepalanya dengan frustasi, keringat mulai membasahi pelipisnya. “Tidak bisa… tolong… aku butuh—” Tangannya kembali bergerak, mencoba menyentuh d@da Elang, mencari kehangatan yang bisa meredakan gejolak di tubuhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN