Bab 6 Viral

1401 Kata
Jam 07.45 WIB Dering ponsel yang nyaring memecah keheningan. Elang mengerang pelan, kepalanya terasa berat akibat sisa alkohol yang masih mengendap di tubuhnya. Dengan malas, dia meraba-raba meja samping sofa, lalu meraih ponselnya dan menggeser layar tanpa melihat nama penelepon. Namun, begitu suara berat dan menggelegar terdengar dari seberang, rasa kantuknya langsung menguap. “APA KAU SUDAH TIDAK WARAS??” Elang langsung menjauhkan ponsel dari telinganya. Bahkan dalam sisa-sisa mabuknya, dia tahu bahwa ini adalah kemarahan tingkat dewa dari Ridwan Dirgantara, ayahnya. "Apa sih—” gumamnya serak, berusaha memahami situasi. "Jangan berani-berani tanya ‘apa sih’ padaku, Elang!" suara sang ayah semakin meninggi. "Aku baru saja ditelepon oleh hampir semua kolega dan rekan bisnis kita! Apa-apaan ini?! Kenapa seluruh media memberitakan skandal murahan tentangmu?! Video penggerebekanmu dengan seorang wanita sudah tersebar di mana-mana! Bagaimana kau bisa bertindak sebodoh itu, Elang?” Elang langsung terduduk, matanya mulai fokus. Skandal? Penggerebekan? Sambil menahan debaran jantung yang tak beraturan, dia berdiri dan berjalan ke arah kamar. Matanya terpaku di atas ranjang dengan seprei kusut. Kosong. Tidak ada siapapun di sana. Di mana wanita itu? Elang memburu ke kamar mandi dan membuka pintu yang tertutup rapat. Sama, kosong melompong. Sh1t! Elang memaki dalam hati. Wanita itu sudah melarikan diri? Elang kembali ke ruang depan suite itu dengan marah. Potongan-potongan ingatan mulai berputar di kepalanya—acara pesta ulang tahun Hans, kakaknya. Tiga gelas koktail dengan kadar alkohol tinggi, yang mengalir lancar di tenggorokannya, lalu pertemuan dengan wanita itu, yang berakhir dengan drama penggerebekan. Dia dengan bodohnya mengabaikan insiden itu karena efek alkohol membuat kepalanya pening, dan akhirnya tertidur di sofa. “ELANG!” Elang terkejut mendengar suara teriakan dari ponsel. Rupanya panggilan ayahnya masih terhubung. "Pa, aku nggak mengerti... Apa yang terjadi?" tanyanya, kini benar-benar terjaga. “Lihat sendiri di berita, dan segera datang ke rumah, sebelum aku sendiri yang datang menjemputmu dan menyeretmu pulang!” Sambungan lalu terputus. Elang menatap layar ponselnya dengan perasaan tak karuan. Cepat-cepat dia membuka media sosial dan mendapati namanya menjadi trending. Video pendek dengan judul mencolok bertebaran. "Skandal Panas: Pilot Terkenal, putra keluarga Dirgantara, Tertangkap Basah Di Kamar Hotel!" "Mengejutkan! Seorang Kapten Pilot Tertangkap Basah Bersama Seorang Wanita di Suite Hotel Mewah! Siapa Dia?" Judul sensasional itu disertai dengan video yang menampilkan momen dramatis penggerebekan malam sebelumnya. Rahang Elang mengeras. Semua berita ini terdengar seperti lelucon kejam. Dia menggulir ke bawah, melihat potongan video itu. Kamera menyorot dirinya yang hanya mengenakan kemeja dengan beberapa kancing terbuka, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi terkejut. Kemudian, kamera bergeser ke dalam, memperlihatkan seorang wanita berbaring di ranjang, selimut menutupi sebagian tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian dalam. Wajahnya yang memerah, dibingkai rambut panjang yang kusut, disorot dalam jarak dekat, dan cukup untuk memicu spekulasi liar di kolom komentar. "Gila! Ini pilot terkenal itu, kan? Siapa ceweknya? "Wah, keren juga cara dia main di belakang layar." "Mana pertanggungjawaban moralnya? Kalau udah kepergok gini, harusnya dinikahin dong,” Sial! Elang menghempaskan ponselnya ke sofa dan menarik napas dalam-dalam. Amarah mulai menguasainya. Apa ini semua ulah wanita itu? Apakah dia yang menjebaknya? Dengan langkah lebar, Elang masuk ke arah kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin, dan menatap pantulan dirinya di cermin. Ini lebih buruk dari mimpi terburuk yang pernah dia alami. Elang mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menenangkan diri. Ini pasti ulah wanita itu, wajah polos yang membuatnya mengira dia wanita baik-baik. Padahal dia sudah merekayasa penggerebekan itu. Sekarang dia menghilang begitu saja, apa yang dia inginkan sebenarnya? ‘Si@lan!’ Elang kembali mengumpat dalam hati. Tangannya terkepal. Dia pasti sudah merencanakan semuanya. Dari awal, dia muncul di tempat yang salah, lalu bertingkah polos, dan sekarang dia kabur begitu saja setelah membuatnya dipermalukan?! Elang menggeram marah, rahangnya mengeras. Dia menendang kursi di dekatnya, membuat benda itu terjungkal dan menghantam lantai dengan suara berdebam. "Perempuan b******k!" Dadanya naik turun, napasnya berat. Pikiran liar berputar di kepalanya. Mungkin dia sudah pergi ke wartawan untuk menjual cerita palsu. Mungkin juga sekarang dia sedang duduk nyaman, menghitung berapa banyak uang yang akan dia dapat dari skandal ini. Matanya menyipit. Jika wanita itu berpikir dia bisa lolos begitu saja, dia salah besar. Elang mengambil jasnya dengan kasar, melangkah keluar dengan penuh amarah. Dia akan menemukan wanita itu. Dan dia akan memastikan wanita itu membayar untuk semua ini. * Beberapa jam sebelumnya. Elenora terbangun oleh rasa dingin yang membuatnya menggigil. Tubuhnya terasa berat, pikirannya kabur. Dia mengerutkan kening, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Tapi kepalanya terasa kosong, seolah diselimuti kabut tebal yang sulit ditembus. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang terasa asing. Bertanya-tanya dalam hati tentang keberadaannya. Begitu matanya turun ke tubuhnya sendiri, napasnya tercekat. Dia hanya mengenakan pakaian dalam. Pantas saja dia merasa sangat kedinginan. Jantungnya berdegup kencang, perlahan dirayapi perasaan panik. Dengan cepat dia melompat turun dari tempat tidur. Matanya langsung tertuju pada gaunnya yang tergeletak di lantai. Sepatunya ada di dekat pintu, dan tas kecilnya tergeletak begitu saja di karpet. Apa yang terjadi? Dengan tangan gemetar, dia meraih gaunnya, mengenakannya dengan tergesa-gesa. Telapak tangannya berkeringat saat dia meraih tasnya dan melangkah ke pintu. Namun, sebelum sempat meraihnya, pandangannya menangkap sesuatu yang membuat napasnya kembali tersangkut di tenggorokan. Di sofa panjang, seorang pria tertidur lelap. D@da pria itu naik turun dengan teratur, lengan satunya menjuntai di sisi sofa. Wajah tampannya tampak teduh dalam tidur, namun Elenora bisa melihat rahangnya yang tegas dan tubuh atletis yang terbungkus kemeja yang semua kancingnya telah terbuka. Siapa dia? Elenora menunduk, menatap tubuhnya sendiri dengan bingung. Dia tidak merasakan sesuatu yang aneh, selain rasa dingin. Itu artinya tidak ada sesuatu yang buruk yang terjadi semalam. Tapi bagaimana jika pria di sofa itu terbangun? Dia tidak bisa menjamin kalau dia akan tetap aman. Pria itu mungkin terlalu mabuk hingga tertidur di sana, dan dia pasti akan menjadi ancaman saat terbangun nanti. Dengan ketakutan merambat naik, ia melangkah perlahan, jari-jarinya mencengkeram tas dengan erat. Dia harus pergi. Sekarang. Dengan langkah sedikit goyah, Elenora meraih sepatu di dekat pintu, lalu tanpa membuang waktu, ia keluar dari kamar itu. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia menarik napas panjang, berusaha meredakan debar jantungnya. Lorong hotel terasa sunyi, hanya ada suara langkah kakinya yang terburu-buru menuju lift. Saat pintu lift terbuka, ia segera masuk, jari-jarinya dengan cepat menggenggam tasnya. Tangannya merogoh ke dalam, mencari ponsel. Begitu menemukannya, dia menekan tombol on, namun hanya melihat layar hitam. Ponselnya mati. Sepertinya kehabisan daya. Sial. Elenora bersandar di dinding lift yang dingin. Dia merapatkan tas kecilnya ke d@da, menatap pantulan dirinya di dinding lift. Wajahnya pucat, matanya masih menyisakan kebingungan dan ketakutan. Langit masih gelap ketika Elenora meninggalkan hotel itu dengan tanda tanya besar dalam hatinya. Apa yang telah terjadi semalam? * Di kamar suite lain. Amaya membuka matanya perlahan, kepalanya terasa berat akibat malam panjang yang ia rancang dengan begitu hati-hati. Senyumnya sempat terbit ketika mengingat penggerebekan yang dia yakini sudah berjalan sesuai rencana. Namun, ketika ia menoleh ke samping, wajahnya langsung memucat. Pria yang terbaring di ranjang di sebelahnya bukan Elang Dirgantara, melainkan seorang pria asing, dengan rambut acak-acakan dan seragam pilot tergeletak di lantai. "Apa... apa ini?!" Amaya langsung duduk, selimut melorot dari tubuhnya, memperlihatkan tubuhnya yang polos tanpa ditutupi sehelai benang pun. Kepanikannya makin menjadi saat melihat pria itu mengerang pelan dan mulai terbangun. "Selamat pagi," gumam pria itu dengan suara serak, lalu mengucek matanya. Ia menatap Amaya dengan pandangan bingung. "Siapa kau?" "Aku... aku yang harusnya bertanya! Siapa kau?! Kenapa kau ada di sini?!" Amaya mulai histeris, memeluk tubuhnya sendiri dengan wajah merah padam. Pria itu tampak bingung, tapi kemudian senyumnya muncul, sedikit nakal. "Kau yang datang ke kamar ini tadi malam. Aku pikir kau... ya, kau tahu, bagian dari kejutan pesta," katanya santai sambil mengangkat bahu. Amaya mencengkeram rambutnya sendiri, ingin berteriak keras, tapi lidahnya kelu. ‘Nggak mungkin! Ini kamar Elang! Aku sudah memastikan semuanya!’ Pria itu tertawa kecil. "Oh, nggak usah malu, kita sudah melewatkan malam yang luar biasa. Kau sangat agresif. Aku suka wanita agresif," ujarnya sambil menyentuh puncak payudaranya yang telanjang. “Jauhkan tanganmu, brengs3k!” bentak Amaya kasar. Dia berdiri dengan tergesa-gesa, mencari pakaiannya yang berceceran di lantai dan memakainya dengan cepat. Bagaimana dia bisa salah masuk kamar? Dia sudah mengatur semuanya dengan cermat, tapi kenapa dia justru bersama pria lain sekarang? Pria itu hanya menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang, menikmati tubuh bagus wanita di hadapannya sebelum berhasil mengenakan gaunnya dengan tangan gemetar. "Kau tahu," katanya, suaranya terdengar menggoda, "Nggak banyak wanita yang memiliki kemampuan sehebat dirimu di atas ranjang."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN