Bab 10 Tak Didukung

1907 Kata
“Dengar baik-baik, Elang. Kau harus menikahi wanita itu secepatnya.” Seketika, ruangan luas itu diliputi keheningan. Para direksi saling berpandangan, sementara Elang berdiri membeku di tempatnya. “Aku nggak mau, Pa. Aku bahkan nggak menyentuh tubuh wanita itu, atas dasar apa aku harus menikahinya?” Ridwan menatap putranya dengan ekspresi tanpa kompromi. “Tidak ada pilihan lain. Kerugian perusahaan sudah terlalu besar, dan jika tidak segera diselesaikan, kita bisa kehilangan lebih banyak lagi. Seperti yang sudah aku katakan sejak awal, pernikahan adalah satu-satunya cara untuk meredam skandal ini.” Elang mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mendidih di dadanya. “Jadi papa ingin aku menikahi wanita yang menjebakku?!” Ridwan tidak tergoyahkan. “Itu tidak perlu dipertanyakan, Elang. Itu keputusan.” Salah satu direksi, seorang pria paruh baya bernama Pak Sofyan, mencoba meredakan situasi. “Pak Ridwan, apakah tidak ada cara lain? Mengadakan konferensi pers untuk klarifikasi tanpa pernikahan—” “Tidak cukup.” Ridwan memotong tegas. “Media dan publik butuh sesuatu yang lebih dari sekadar klarifikasi. Jika mereka melihat tanggung jawab diambil dalam bentuk pernikahan, maka kepercayaan pasar bisa perlahan pulih.” Elang menatap ayahnya dengan perlawanan. “Papa ingin aku mengikat hidupku dengan wanita yang bahkan nggak kukenal hanya demi citra perusahaan?” Ridwan mendekat, suaranya menurun tapi penuh tekanan. “Bukan hanya citra perusahaan. Ini tentang seluruh warisan keluarga kita. Dirgantara Group bukan hanya milikku, tapi juga milikmu dan generasi berikutnya. Kau pikir aku akan membiarkan itu hancur hanya karena ego pribadimu?” Elang terdiam. Dia tahu, di bawah kemarahan ayahnya, tersembunyi strategi yang selama ini membuat Dirgantara Group menjadi raksasa bisnis yang tak tergoyahkan. Namun, ini… pernikahan? “Siang ini juga, kita akan mengadakan konferensi pers.” Ridwan melanjutkan dengan nada menolak dibantah. “Kau akan mengklarifikasi berita itu dan sekaligus mengumumkan pernikahan.” Elang mendesis, matanya menyala tajam. “Bagaimana kalau aku menolak?” Ridwan menyilangkan tangan di d**a. “Maka aku sendiri yang akan bertindak. Dan kau tahu apa artinya itu.” Elang menggertakkan gigi. Dia tahu, jika dia tidak menurut, maka ayahnya tidak akan ragu untuk menggunakan cara apa pun—termasuk memanipulasi keadaan agar pernikahan itu tetap terlaksana dengan atau tanpa persetujuannya. Elang meninggalkan ruangan itu dengan geram. Darahnya mendidih, tetapi pikirannya mulai bekerja cepat. Tidak ada pilihan lain. Kalau ini adalah permainan, maka dia harus memainkannya dengan cerdas. Di belakangnya, ayahnya mengangkat telepon dengan senyum samar. “Sudah, Ma. Dia tidak akan bisa melawan apa yang sudah kuatur. Tidak ada celah lagi untuk dia berkelit kali ini.” Ucap Ridwan dengan suara tenang terkendali, sangat bertolak belakang dengan sikapnya tadi. *** Elenora menghela napas panjang, berusaha mengabaikan segala hal yang mengganggu pikirannya. Dia harus fokus. Tangannya terampil mencatat keluhan pasien saat Dr. Darren Hafiz, dokter muda yang ramah dan selalu bersikap profesional, melakukan pemeriksaan. “Bu Farida, tensinya sedikit tinggi. Ibu sering merasa pusing belakangan ini?” tanya dokter Darren sambil tersenyum. Wanita paruh baya di depannya mengangguk, wajahnya tampak cemas. “Iya, Dok. Kadang sampai berkunang-kunang.” Elenora menatap wanita itu dengan lembut sebelum menambahkan, “Kami akan memberikan obat untuk menstabilkan tekanan darah Ibu. Tapi selain itu, Ibu juga harus mengurangi konsumsi garam dan menghindari stres, ya.” Bu Farida mengangguk, lalu tersenyum. Tapi tak lama setelah itu, Elenora bisa merasakan tatapan aneh dari beberapa perawat dan staf lain di ruangan itu. Mereka berbisik-bisik, meskipun mencoba untuk tidak terlalu mencolok. Masih soal skandal itu… Tadi pagi, mereka jelas tak ragu membicarakannya di belakang punggungnya. Tapi sejak Elang datang menyeretnya ke sudut rumah sakit tadi, semua orang tampaknya lebih memilih untuk diam dan memperhatikan dari jauh. Biar saja. Dia sudah cukup pusing memikirkan kondisi Dante. Bocah itu lebih penting baginya daripada omongan orang-orang yang tidak tahu apa-apa tentang kejadian sebenarnya. Dokter Darren menoleh ke arahnya setelah pasien pergi. “Kamu baik-baik saja?” Elenora tersenyum tipis. “Aku baik, Dok.” Darren menghela napas dan bersandar sedikit ke meja. “Suster Nora, aku tahu situasi ini berat buatmu. Aku dengar Kapten Elang datang mencarimu tadi. Apa dia mengancammu?” Elenora mendesah, enggan membahasnya lebih jauh. “Bukan urusan penting, Dok.” Darren menatapnya dengan penuh perhatian, lalu mengangguk. Elenora kembali fokus bekerja. Dia tidak akan membuat video klarifikasi seperti yang diminta Elang. Untuk apa? Dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Lagi pula, dia juga korban. Jika pria itu ingin menyelesaikan masalahnya, maka itu adalah urusan Elang, bukan dia. ** Rumah makan kecil di seberang rumah sakit selalu ramai saat jam makan siang. Aroma ayam goreng dan sambal terasi bercampur dengan suara ramai pengunjung yang mengobrol. Elenora duduk di meja dekat jendela bersama Ayu dan Rina. Sepiring nasi, ayam goreng, dan lalapan tersaji di depannya, tapi dia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan malas. Pikirannya masih sibuk dengan banyak hal, terutama Dante. Sementara itu, Ayu dan Rina saling bertukar pandang sebelum akhirnya Ayu membuka suara, “Jadi, gimana sebenarnya kejadian itu, Ra? Aku tahu kamu pasti capek dengar pertanyaan ini, tapi kami kan temanmu. Setidaknya kasih tahu kami yang sebenarnya.” Elenora mendesah pelan. “Kalian juga dengar gosipnya, kan?” Rina menyahut cepat, “Ya, tapi kami mau dengar langsung dari kamu. Biar nggak kemakan gosip yang nggak jelas.” Elenora menghela napas, menaruh sendok dan garpunya. “Aku benar-benar tidak ingat apa yang terjadi malam itu. Aku hanya ingat aku meminum dua gelas koktail lalu segelas anggur merah yang dibawa pelayan. Setelah itu aku merasa aneh dan mencari angin di balkon. Pria itu mendekatiku dan memaksa menolongku, dan seterusnya tidak lagi kuingat jelas. Hingga tahu-tahu ada video penggerebekan itu. Kami tidak melakukan apa-apa. Sungguh.” Ayu mencondongkan tubuh ke depan, suaranya dipelankan. “Tapi… beneran nggak ada apa-apa antara kamu dan Kapten Elang?” Elenora menggeleng tegas. “Kalau ada apa-apa juga sebenarnya nggak masalah, kan? Wanita dan pria dewasa, sama-sama lajang, siapa yang ngelarang kalau mau pacaran? Lagian, Kapten Elang itu incaran banyak wanita, Ra. Kamu jangan galak-galak, siapa tahu dia jodoh kamu,” sela Rina seraya tersenyum menggoda Elenora. ‘Jodoh apa? Aku malah terseret ke dalam situasi yang memalukan karena pria itu. Semoga saja ini segera selesai, agar aku bisa fokus mengurus Dante.’ Elenora membiarkan kedua temannya berceloteh sementara dia sendiri segera menghabiskan makanannya. Setelah makan siang, mereka bersiap untuk kembali melanjutkan tugas masing-masing. “Tetap semangat, Nora. Abaikan bisik-bisik di belakangmu. Nanti juga bakal hilang dengan sendirinya. Tapi ini serius, gebet terus si Kapten Elang, jangan sampai kendor. Dari skandal jadi cinta ceritanya, Ra,” ucap Rina sebelum Elenora kembali ke poli umum. “Sembarangan. Tadi saja dia seolah ingin menelanku saking murkanya.” “Halaah, masih sok gengsi dia, tapi lama-lama pasti bucin juga..” cibir Rina. Ayu yang mendengar mereka berdua hanya bisa tertawa kecil. Dalam hati berharap juga ini akan berakhir bahagia untuk Elenora. ** Elenora melangkah turun dari angkot dengan langkah berat. Langit sore mulai memerah, seakan mencerminkan kekacauan di dalam kepalanya. Baru saja ia ingin menghela napas, pintu rumah terbuka lebar, dan di sana, berdiri ayahnya—Suryo Cahyadi—dengan wajah gelap penuh amarah. Di belakang ayahnya, Kinanti dan Sofia berdiri dengan ekspresi puas, seolah menunggu pertunjukan yang mereka nantikan. Elenora menelan ludah, merasakan sesuatu yang buruk, yang akan menunda istirahatnya. Dia sudah sangat lelah dengan semua yang terjadi hari ini, dan rasanya sudah muak kalau di rumah juga harus menghadapi reaksi berlebihan atas apa yang menimpanya. "Masuk!" suara ayahnya bergemuruh seperti petir di langit mendung. Dengan enggan, Elenora melangkah ke dalam rumah. Begitu pintu tertutup, suara bentakan langsung menyambutnya. "Kau sudah mempermalukan keluarga! KAU ANAK PEMBAWA SIAL!" Suryo menghantam lengan sofa dengan kepalan tangan, membuat getaran kecil merambat ke permukaannya. "Kau sadar apa yang sudah kau lakukan, hah?! Videomu dengan pria itu menyebar ke mana-mana! Sekarang semua orang menghubungiku, menanyakan skandal menjijikkan itu!" Elenora mengangkat dagunya sedikit, menolak menunjukkan kelemahan. "Aku juga korban, Pa," ucapnya dengan suara tenang. "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi—" "Bohong!" Kinanti memotong dengan cepat, matanya menyala dengan kemarahan yang dibuat-buat. "Jangan bertingkah polos, Nora. Pantas saja kau selalu menghilang entah ke mana, rupanya kau sibuk bermain dengan laki-laki di luar sana!" Sofia terkikik pelan, bersandar di kursi dengan ekspresi puas. "Malu sekali, Kak," katanya dengan nada mengejek. "Keluarga kita adalah keluarga terhormat, tapi kau malah jadi bahan gosip murahan." Elenora mengepalkan tangannya, berusaha meredam emosi yang mulai mendidih di dadanya. "Aku tidak melakukan apa yang kalian tuduhkan. Aku dijebak." Suryo menghela napas tajam, ekspresinya tetap keras. "Aku tidak peduli bagaimana itu terjadi! Yang jelas, sekarang aku harus menanggung malu karena ulahmu. Kenapa kau bisa bertindak begitu bodoh?" Elenora menatap ayahnya lekat-lekat. Ada sedikit harapan bahwa pria itu akan percaya padanya, bahwa dia masih melihatnya sebagai putrinya. Namun, harapan itu langsung sirna ketika Suryo menatapnya dengan jijik, seolah dia adalah aib yang harus disingkirkan. "Kau harus memperbaiki ini," Suryo berkata dingin. "Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi ini adalah konsekuensi yang harus kau terima." Elenora menelan pahitnya kenyataan. Dia tahu apa yang ayahnya maksud. Dan itu membuat dadanya terasa semakin sesak. Sofia menyandarkan tubuhnya ke sofa, tatapannya tajam tertuju pada layar ponsel. Di sana, berita mengenai pernyataan resmi keluarga Dirgantara terpampang jelas—pengumuman pernikahan antara Elang Dirgantara dan Elenora Cahyadi. Inilah topik panas yang menjadi pembahasan sore ini antara dirinya dan kedua orang tuanya. Sofia menggigit bibirnya. Rahangnya mengeras menahan amarah dan kecemburuan yang menggelegak dalam dadanya. Bagaimana mungkin Elenora yang selalu ia remehkan, wanita yang tidak dianggap siapa-siapa di rumah ini, tiba-tiba akan menikah dengan Elang Dirgantara? Bagaimana bisa, pria yang menjadi idaman banyak wanita, termasuk dirinya itu akan menjadi suami Elenora? Sofia mengalihkan pandangannya ke arah Elenora yang berdiri tegak di tengah ruangan, wajahnya tetap tenang meski barusan dimaki oleh ayah mereka. Sikapnya itu semakin membuat Sofia geram. Apa Elenora sedang bersikap angkuh? Atau dia benar-benar tidak peduli? Dengan nada sarat kepalsuan, Sofia tertawa kecil. "Wah, kakak, kau benar-benar luar biasa. Dalam semalam, statusmu berubah drastis. Dari perawat biasa, sekarang kau jadi calon istri Kapten Elang Dirgantara. Siapa yang menyangka?" Elenora hanya meliriknya sekilas, tidak tertarik menanggapi. Sofia melangkah mendekat, senyum sinis mengembang di wajahnya. "Aku nggak habis pikir, bagaimana bisa keluarga Dirgantara memilihmu? Maksudku… kau bahkan bukan bagian penting dalam keluarga ini. Kau bukan siapa-siapa. Tapi tiba-tiba, kau jadi tunangan pewaris Dirgantara Group?" Elenora menatapnya dengan sorot dingin. "Aku tidak meminta semua ini terjadi," ucapnya pelan, tetapi tegas. Sofia mendengus, tawanya dingin. "Tapi tetap saja kau mendapatkannya, kan? Trik licikmu boleh juga. Dan nggak peduli bagaimana caranya, kau beruntung.” Cetus Sofia. Matanya menyipit, dipenuhi iri dan dengki. Membayangkan Elenora akan menikah dengan pria hebat seperti Elang Dirgantara, dan masuk ke dalam keluarga yang kekayaannya jauh di atas keluarga mereka, dad@ Sofia serasa akan meledak. Rasa iri yang mematikan terlihat jelas di mata Sofia, namun Elenora mengabaikannya. Dia menghela napas panjang dan menatap acuh tak acuh pada gadis yang sangat membencinya itu. "Kalau begitu, kau saja yang menikah dengan laki-laki itu," Sofia menggeram halus, berusaha menekan kemarahannya, tapi dia benci sekali membayangkan Elenora akan menikah dengan Kapten Elang Dirgantara. Sofia melirik Suryo dan Kinanti sedang fokus di layar ponsel. Dalam sepersekian detik, ide itu muncul. Bagaimana kalau dia rusak saja wajah Elenora? Wajah cantik itu membuatnya iri setengah mati, dan kalau wajahnya jadi jelek, pasti Elang tidak akan mau menikahinya. Senyum jahat muncul di wajah Sofia. Ini kesempatannya. Elenora berdiri sangat dekat dengannya, dia hanya perlu menggerakkan jari-jari tangannya untuk menggores pipi Elenora. Sofia melirik jari-jarinya, kukunya panjang dan runcing. Ini kesempatannya. Dengan sorot mata jahat, Sofia mengangkat tangannya, siap mencakar pipi Elenora.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN