Senin (00.06), 12 April 2021
-------------------
Setelah berhasil menarik Ellen ke atas, Dennis memapah Ellen yang berjalan tertatih dengan satu kaki menjauhi bibir jurang. Tas Ellen ia sandang di sebelah bahu.
“Aduh,” lagi-lagi Ellen meringis.
“Kita berhenti di sini saja.” Dennis menjatuhkan tas Ellen ke tanah lalu membantu wanita itu duduk. Setelahnya dia membantu melepas sepatu Ellen untuk memeriksa kondisi kakinya yang terkilir.
Ellen kembali meringis saat Dennis mencoba menekan pergelangan kakinya. Sakitnya semakin terasa. Mungkin karena tadi Ellen memaksa kakinya untuk melangkah meski dengan tertatih.
“Aku hanya tahu obat untuk luka luar yang ringan. Jadi sama sekali tidak mengerti ini. Sebaiknya kau segera pulang dan meminta seseorang mengantar ke dokter atau tukang pijat.”
“Aku harus menghubungi Ellias agar menjemputku. Tapi di sini tidak ada sinyal.” Ellen menggigit bibir menahan sakit saat Dennis kembali memakaikan sepatunya.
“Kau tidak bawa mobil?”
Ellen menggeleng.
Dennis mendesah, tahu dirinya tidak akan tega meninggalkan Ellen dalam kondisi seperti ini meski sangat ingin. “Aku akan mengantarmu.” Lalu dia mendongak menatap langit yang mulai mendung dan gemuruh guntur terdengar semakin dekat. “Tapi sepertinya tidak akan sempat. Sebentar lagi akan ada badai.”
“Benarkah?” Ellen turut mendongak. “Kupikir hanya akan hujan biasa.”
Dennis kembali menatap Ellen dengan sorot kesal. “Sudah tahu akan hujan tapi masih nekat masuk ke hutan. Ingin bunuh diri?”
“Tadi cuaca sangat terang.” Ellen membela diri.
“Terserahlah. Ayo cepat berdiri!” Dennis kembali menyandang tas Ellen di sebelah bahu lalu membantu Ellen berdiri. Tapi melihat kakinya dan raut kesakitan wanita itu, sepertinya akan semakin parah kalau dia memaksa diri berjalan tertatih menyusuri hutan.
Mendesah kesal, Dennis memindah tas Ellen ke depan tubuhnya lalu jongkok di depan wanita itu, “Naiklah!” perintahnya tegas.
Ellen yang sudah dalam posisi berdiri dengan bertumpu pada satu kaki, menatap punggung Dennis dengan raut tak percaya. “Kau tidak keberatan menggendongku keluar hutan?”
“Cepat sebelum aku berubah pikiran,” geram Dennis.
Ellen menahan senyum lebar lalu segera melingkarkan lengan di seputar leher Dennis dan belakang. Tanpa kesulitan Dennis berdiri dan refleks paha Ellen menjepit pinggang Dennis. Sejenak Dennis membetulkan pegangannya agar Ellen tidak jatuh lalu mulai melangkah dengan lincah.
“Terima kasih,” bisik Ellen. Ucapan itu tulus dari lubuk hatinya.
“Aku melakukan ini bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri. Aku tidak mau dihantui rasa bersalah meninggalkanmu mati dalam hutan dan kita akan terjebak badai jika aku membiarkanmu jalan dengan kaki pincang begitu.”
Lagi-lagi senyum Ellen terbit. Ternyata Dennis tidak sekejam yang dibicarakan orang-orang. Jika benar Dennis memang pembunuh keji, pasti bukan masalah besar meninggalkan Ellen mati di hutan. Tapi kenyataannya, dia tetap memilih menolong Ellen.
“Kau tadi pasti sedang mencari kayu, kan? Kayu-kayu yang kau kumpulkan pasti akan terguyur hujan jika ditinggal.”
“Jadi kau lebih suka aku meninggalkanmu di sini—”
“Tidak, tentu saja tidak!” Ellen berseru.
Lalu keduanya terdiam saat Dennis mempercepat langkah karena mendung kian pekat.
“Sepertinya kita semakin masuk ke dalam hutan,” gumam Ellen beberapa saat kemudian.
Dennis tidak mengatakan apapun, memilih berkonsentrasi melangkah agar tidak tersandung. Dan saat rumahnya tinggal beberapa meter lagi, perlahan rintik hujan jatuh membasahi bumi.
“Hujan!” seru Ellen. “Sebaiknya kita berteduh. Tanah akan semakin licin dan itu sangat berbahaya.”
Dennis mengabaikan Ellen dan memilih terus berjalan cepat. Beberapa saat kemudian mereka sudah keluar dari hutan yang lebat dan rumah Dennis sudah terlihat. Ketika akhirnya Dennis menjejakkan kaki di teras belakang rumahnya, gerimis seketika menjadi hujan lebat yang seolah ditumpahkan ke bumi.
Sejenak Dennis menurunkan Ellen dari punggungnya lalu bergegas menuju pintu depan karena dia hanya membawa kunci pintu depan.
Dhuaarr!
Petir menggelegar begitu keras. Lalu kilatnya silih berganti membentuk cahaya panjang yang indah sekaligus menakutkan, diiringi suara guntur yang memekakkan telinga. Tidak cukup sampai di situ, angin pun berhembus cepat, seolah hendak mencabut pepohonan dari akarnya.
“Cepat masuk!” seru Dennis begitu pintu depan terbuka.
Tanpa ragu Ellen masuk ke dalam rumah Dennis sambil melompat-lompat dan langsung berada di ruang tamu yang pernah sekilas dilewatinya saat menuju kamar mandi.
“Kupikir kau akan membawaku ke jalan raya,” katanya masih sambil melompat mengikuti Dennis.
“Jaraknya lebih dekat ke rumahku dan mobilku di sini,” jelas Dennis seraya menunduk, melihat kaki Ellen. “Apa semakin sakit?”
“Yah, sedikit.”
“Kau tidak bisa memaksakan diri terus bergerak atau itu akan membengkak. Duduk saja di situ. Aku akan mengantarmu pulang begitu badai berlalu.”
Kemudian Dennis meninggalkan Ellen yang memilih duduk di sofa empuk lalu bergegas ke dalam rumah.
Sejenak Dennis membersihkan diri dan berganti pakaian. Lalu dia menuju dapur, membuatkan teh hangat untuk Ellen. Beberapa saat kemudian, Dennis sudah kembali ke ruang tamu dengan segelas teh hangat dan sebotol whisky untuk dirinya sendiri.
“Aku tidak punya perapian dan pemanas ruangan. Jadi kuharap ini bisa membuatmu hangat,” kata Dennis seraya duduk di samping Ellen.
Ellen tersenyum manis seraya berterima kasih lalu meneguk nikmat teh buatan Dennis. Lalu dia menatap Dennis penuh penilaian.
“Kenapa melihatku begitu?” tanya Dennis dengan nada dingin yang biasa seraya meneguk whisky.
“Sadar atau tidak, kau lebih banyak bicara hari ini dibanding pertemuan-pertemuan kita sebelumnya. Dan juga sangat perhatian.”
“Bukan apa-apa. Saat terjebak di hutan, kau mengingatkanku pada adikku dan betapa keras kepalanya dia. Persis sepertimu dan selalu membuatku jengkel.” Dennis mengatakan itu tanpa melihat Ellen. Perhatiannya tertuju pada jendela kaca yang menampakkan keributan di luar rumah, agar Ellen tidak melihat sorot rindu, sedih, dan penuh sayang yang pasti tampak jelas dalam mata Dennis saat memikirkan adiknya, Sintha.
Adik? Dennis memiliki adik?
Itu informasi yang tidak pernah didengar Ellen. Rasa penasarannya langsung tergelitik. Namun sebelum dia sempat mengajukan pertanyaan apapun, mendadak Dennis berdiri.
“Aku lapar. Di dapurku hanya ada mie instan. Kalau kau juga mau, aku juga akan membuatkannya untukmu.”
“Aku mau sekali.”
Seolah menjadi kebiasaan, tanpa mengatakan apapun lagi, Dennis meninggalkan ruang tamu menuju dapur.
Memasak mie instan adalah salah satu keahlian Dennis sejak memutuskan tinggal di sini. Kegiatan ini tidak membutuhkan otak hingga tanpa bisa dicegah, pikiran Dennis melayang jauh, memikirkan keluarga yang ditinggalkannya.
Sedang apa mereka sekarang? Apa ada yang memikirkan dirinya? Bagaimana reaksi mereka begitu tahu Dennis sudah keluar dari penjara tapi memutuskan pergi? Apakah mereka semua bahagia tanpa dirinya?
Ini bukan kali pertama pertanyaan-pertanyaan semacam itu muncul. Dan secepat datangnya, secepat itu pula Dennis akan menghalau pertanyaan itu menjauh. Tapi kini, kehadiran Ellen yang mengingatkannya pada Sintha membuat pertanyaan-pertanyaan itu bertahan lebih lama.
Suara langkah melompat dari ambang pintu dapur menarik kembali Dennis ke saat ini. Seketika raut kesalnya muncul menyadari Ellen benar-benar sama keras kepalanya seperti Sintha.
“Mau apa kau ke sini?” Dennis melotot seraya berkacak pinggang saat melangkah mendekati Ellen.
“Aku merasa tidak enak hanya duduk diam sementara kau memasak. Padahal aku sudah cukup merepotkanmu hari ini.” Ellen menunjukkan tatapan menyesal.
“Kau malah semakin merepotkanku dengan datang ke sini.” Lalu Dennis menunjuk kaki Ellen. “Seharusnya kau mengistirahatkan kakimu atau kondisinya akan semakin parah.”
“Jangan khawatir. Aku baik-baik saja,” kata Ellen keras kepala lalu melewati Dennis menuju meja pantri. “Apa yang bisa kubantu?”
Kesal, Dennis menghampiri wanita itu lalu membungkuk. Ellen memekik kaget saat tubuhnya melayang dalam dekapan Dennis lalu bokongnya mendarat di atas meja pantri.
“Kau akan sangat membantu jika duduk diam di situ,” desis Dennis memperingatkan dengan sorot dingin dalam matanya lalu beralih ke kompor. Airnya sudah mendidih dan Dennis mulai mengolah dua bungkus mie instan.
Ellen yang tadinya masih diliputi perasaan kaget perlahan tersenyum.
-------------------
♥ Aya Emily ♥