Senin (00.03), 12 April 2021
------------------
Ellen menghabiskan waktu di tebing tinggi antara hutan dan kota hingga menjelang malam untuk menenangkan hatinya yang masih pedih akibat penolakan kasar Dennis. Dari sana dia bisa melihat titik-titik cahaya lampu rumah-rumah di pusat kota. Tampak seperti lautan cahaya yang amat indah.
Pada musim liburan, tempat ini biasanya dipadati para remaja yang berkemah. Salah satu tempat favorit. Selain pemandangannya yang indah, anak-anak juga lebih aman daripada masuk ke dalam hutan.
Saat duduk di depan kap mobil dengan pandangan mengarah ke lautan titik cahaya di bawah sana, Ellen teringat masa-masa remaja yang pernah dihabiskannya di tempat ini.
Salah satu yang paling membekas adalah saat anak lelaki populer di sekolah menyatakan perasaan pada Ellen di tempat ini. Tepat di mana dirinya berdiri sekarang.
Jimmy adalah idola remaja yang sesungguhnya. Tampan, tinggi, gagah, pemain basket, dan ketua osis. Dia juga ramah dan tidak pernah memilih teman. Sangat sempurna, bukan?
Sama seperti teman-temannya yang lain, Ellen juga mengidolakan Jimmy. Mengaguminya dari jauh. Selalu menoleh tiap kali anak lelaki itu lewat. Hingga akhirnya di sebuah acara perkemahan sekolah yang diadakan di tempat ini, Jimmy menyatakan perasaan pada Ellen. Sesuatu yang membuat Ellen terkejut luar biasa hingga tidak bisa berkata-kata.
Ellen merasa seperti tengah bermimpi. Terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Hingga membuatnya merasa takut. Amat takut. Dan akhirnya dia melakukan sesuatu yang membuat dirinya sendiri tidak percaya. Menolak Jimmy. Bahkan meski Jimmy menyatakan perasaan di depan peserta kemah yang lain.
Hari-hari berikutnya Ellen dikucilkan teman-temannya. Hanya beberapa teman akrab yang memang sudah ia kenal cukup lama yang bertahan di sisinya. Semua orang mencibir. Berkata Ellen sok cantik, sangat pemilih karena kaya, dan semua hinaan lain.
Tentu Ellen merasa terluka mendengarnya. Tapi tidak mau ambil pusing. Yang penting dia tidak mengganggu siapapun. Dia tetap menjadi gadis remaja yang ceria dan menikmati hari-harinya.
Hingga dua bulan setelah pernyataan cinta Jimmy pada Ellen, tersiar kabar bahwa beberapa anak gadis di kota itu hamil. Sekitar tiga orang. Dan semuanya mengaku bahwa yang menghamili mereka adalah Jimmy. Bahkan dua di antaranya mengaku telah hamil lebih dari tiga bulan.
Ellen mendesah. Itu bukan kenangan yang baik. Tapi bukan berarti meninggalkan trauma. Bukan itu alasan Ellen tidak pernah memiliki kekasih. Dia hanya suka mengagumi seorang lelaki, tanpa berniat menjalin hubungan lebih jauh. Sampai akhirnya dia bertemu dengan Dennis Anthony.
Tidak!
Ellen bukannya jatuh cinta pada Dennis. Dia yakin perasaan dihatinya ini bukan cinta. Tapi perasaan kagum yang menggebu. Membuatnya selau penasaran terhadap lelaki itu.
Tapi tanpa bisa dicegah, rasa penasaran itu berkembang menjadi keinginan kuat untuk menembus dinding pertahanan Dennis dan mengintip jiwa dibaliknya.
Rasa sakit di hati Ellen perlahan memudar. Setidaknya sekarang. Tapi entah mengapa, rasa penasaran akan seorang Dennis Anthony semakin kuat, membuat Ellen bertanya-tanya apa yang telah dialami Dennis hingga membuatnya seperti ini. Mendorong jauh siapapun yang berusaha mendekat dan menutup diri rapat-rapat.
Hhhhh!
Ellen mendesah, berpikir apa yang harus dilakukannya setelah ini. Apakah dia harus menyerah mendekati Dennis seperti yang diinginkan lelaki itu atau tetap menuruti keinginan hatinya?
“Tidak baik seorang perempuan di sini sendirian. Banyak hal buruk yang bisa terjadi.”
Ellen menoleh tiba-tiba mendengar suara itu. Dilihatnya seorang lelaki awal lima puluhan berjalan santai ke arahnya. Ellen tidak langsung mengenali lelaki itu. Tapi seragam polisinya membuat Ellen langsung bisa menebak.
“Paman Ryno Kirton,” sapa Ellen dengan senyum ramah. Lelaki itu adalah kepala polisi di kota ini. Dia sudah menjabat posisi itu sejak sebelum Ellen pergi kuliah dan sepertinya warga masih mempercayai Ryno.
“Ellen. Lama tidak bertemu. Kau terlihat semakin cantik dan dewasa.”
Ellen tertawa pelan. “Jelas aku bukan anak kecil lagi, Paman.”
“Ya. Buktinya Ibumu tidak pernah lagi menemuiku dengan raut panik melaporkan bahwa kau hilang. Ternyata kau main-main di hutan bersama beberapa temanmu.”
Ellen tampak malu diingatkan akan hal itu. Namun bibirnya mengerucut keras kepala. “Tapi itu hanya pernah terjadi empat kali. Dan Ibu memang selalu berlebihan padahal aku sudah minta izin pada Ayah.”
“Iya. Kau beralasan tidak mau minta izin pada Ibumu karena tahu pasti akan dilarang.”
Lalu keduanya tertawa geli. Hal yang dulunya adalah insiden yang membuat tegang dan panik, kini ketika diingat kembali jadi terasa konyol.
Beberapa saat setelah tawa mereka reda, Ryno memilih berdiri di samping Ellen, sama-sama bersandar di kap mobil sambil memperhatikan matahari yang perlahan tenggelam.
“Kudengar setelah ini kau akan sering muncul di tv.”
“Biar kutebak. Pasti ibuku yang menyebarkan berita itu.” Ellen meringis, tahu betul seperti apa ibunya.
“Ya, memang. Tapi kurasa wajar sebagai seorang Ibu dia merasa bangga dengan pencapaian anaknya.”
Ellen mengangguk setuju. “Hanya saja, kadang ibu suka melebih-lebihkan.”
“Kurasa bukan hanya ibumu. Semua wanita memang suka melebih-lebihkan sesuatu.”
“Jangan memukul rata semua wanita. Aku tidak begitu.”
Ryno terkekeh. “Sudahlah, tidak perlu dilanjutkan. Sebentar lagi akan gelap. Sebaiknya segera pulang. Kota kita ini sudah tidak sama lagi. Banyak orang asing yang berdatangan. Siapa yang tahu jika ada salah satunya memiliki niat jahat tersembunyi?”
Entah mengapa ucapan Ryno tentang orang asing mengingatkan Ellen tentang Dennis. Ya, lelaki itu memang orang asing yang sangat berbahaya. Lidahnya juga tajam seperti belati dan tak kenal ampun saat menemukan korban.
“Paman benar. Udara juga semakin dingin. Terima kasih sudah menemaniku.”
Ryno mengangguk kecil lalu menyingkir dari depan mobil saat Ellen bergegas masuk. Setelah mesin menyala, sekilas Ellen menyunggingkan senyum seraya melajukan mobilnya.
***
Baru saja Ellen menginjakkan kaki di teras rumah saat pintu depan mendadak terbuka menampakan sosok ibunya yang terlihat amat murka. Seketika Ellen membeku, merasa kembali menjadi gadis remaja yang takut kena marah sang ibu.
“Dari mana saja kau?” tanya Rennie dengan kedua tangan terlipat di depan d**a seraya berjalan mendekat lalu berhenti sekitar dua meter di depan Ellen.
DEG.
Jantung Ellen berdegup cepat. Lagi-lagi merasa seperti remaja yang ketahuan berbuat kenakalan. “Sebelum pergi aku sudah mengatakannya pada Ibu. Aku ke rumah Sunny.”
“Dan ternyata kau bohong karena Ibu sendiri yang memastikannya ke sana. Lalu ada teman Ibu yang memberitahu bahwa kau mengemudi ke arah hutan, ke arah rumah sampah itu. Sekarang kau mau berkelit bagaimana lagi?”
Seketika Ellen terdiam. Ada perasaan di hatinya yang tidak terima dengan sikap sang ibu. Padahal dirinya sudah dewasa dan berhak memutuskan sendiri hendak ke mana dan berteman dengan siapa saja. Tapi lagi-lagi Ellen menahan diri karena bagaimanapun orang di depannya ini adalah ibunya, wanita yang susah payah melahirkan dan membesarkan dirinya.
“Ya, Ellen memang ke rumah Dennis.” Akhirnya Ellen memilih jujur.
Mata Rennie langsung melotot. Kedua tangannya jatuh ke sisi tubuh dengan jemari terkepal menahan amarah. “Apa kau benar-benar tidak punya harga diri? Menyodorkan tubuhmu dengan sukarela pada sampah itu? Kenapa tidak sekalian berdiri telanjang di tengah alun-alun kota?”
Menarik napas untuk meredakan amarahnya, Ellen berkata tegas. “Aku dan Dennis tidak pernah melakukan apa yang Ibu tuduhkan.”
“Apa kau pikir Ibu akan percaya jika kau berkata hanya berbincang sejenak dengan sampah itu?” Bahkan untuk sekedar menyebut namanya saja, Rennie merasa jijik.
“Ellen tidak bisa memaksa Ibu untuk percaya. Tapi memang begitulah kenyataannya.”
“Lihat, kan! Sekali sampah tetap sampah. Sekarang kau sudah menunjukkan dampak buruk dekat-dekat dengannya. Kau jadi belajar berbohong!” Mata Rennie berkilat marah.
Ellen merasa kehilangan tenaga menghadapi ibunya. Dia tidak tahu lagi bagaimana menjelaskan bahwa dirinya dan Dennis tidak melakukan sesuatu yang dituduhkan sang Ibu.
“Ada apa ini?” James Morris keluar rumah saat mendengar suara keras sang istri.
“Ayah,” panggil Ellen pelan, seolah berharap perlindungan.
“Anakmu ini sudah belajar berbohong dan berusaha mencoreng nama baik kita dengan berbuat aib. Masih untung kalau lelaki yang dipilihnya setara dengan kita, tapi—”
“Coba jelaskan dengan runtun, Bu. Ayah tidak mengerti.”
“Dia—” Rennie menunjuk pada Ellen. “menjalin hubungan dengan si sampah Dennis Anthony. Semua orang di kota ini sedang menggosipkan mereka. Bahkan yang lebih memalukan, Ellen sendiri yang datang ke rumah Dennis menyodorkan diri.”
Kening James berkerut saat dia berbalik menghadap Ellen. Dia tidak percaya ucapan istrinya. Ellen bukan wanita seperti itu. Dan rasa tak percaya semakin menguasai hati James saat dilihatnya mata Ellen berkaca-kaca namun wanita itu menahan diri agar tidak menangis.
“Sayang, apa itu benar?” tanya James lembut.
Suara lembut James bukannya menenangkan, malah membuat air mata Ellen jatuh. “Ayah, Ellen tidak—”
“Mau berbohong juga pada ayahmu?!” bentak Rennie.
Akhirnya Ellen tak sanggup bertahan lagi. Seraya menghapus air mata di pipi, ia menoleh ke arah ibunya dengan sorot marah menantang. “Ellen tidak menjalin hubungan seperti yang Ibu tuduhkan dengan Dennis Anthony atau lelaki manapun. Dan itu bukan kebohongan. Tidak peduli sekeras apa Ibu menuduh, Ellen tidak akan mengakui sesuatu yang memang tidak Ellen lakukan.”
“Tapi tadi sore kau memang menemuinya, kan?” Rennie masih tidak mau kalah.
“Ya. Kami hanya berteman.” Setidaknya aku menganggap Dennis adalah temanku.
“Berteman?” Rennie tersenyum sinis. “Kalau benar begitu, kenapa kau harus berbohong segala bahwa kau pergi ke rumah Sunny. Takut Ibu memergokimu sedang berbuat tak senonoh dengan sampah itu?”
“Cukup!” Akhirnya James bersuara tegas. Kali ini perhatiannya fokus pada sang istri. “Ellen sudah mengatakan bahwa dia tidak menjalin hubungan dengan Dennis. Kenapa kau masih terus mendesaknya?”
“Ah, iya aku lupa. Dia memang anak kesayanganmu. Jadi wajar kalau kau terus membelanya meski salah.”
James dan Ellen ternganga mendengar ucapan Rennie. Mereka tidak pernah menyangka bahwa Rennie yang dulu cerewet sewajarnya seorang ibu bisa berubah sejauh ini.
“Kau tahu aku tidak pernah punya yang namanya anak kesayangan. Aku menyayangi kedua anakku sama besar. Kenapa ucapanmu jadi melantur begini?”
Melihat tangan James sampai terkepal dan urat lehernya menonjol, Ellen jadi khawatir. Dia tidak mau kedua orang tuanya jadi bertengkar hanya karena dirinya.
Akhirnya Ellen bergegas mendekati sang Ayah lalu memeluk lengannya erat. “Ayah, sudah. Maafkan Ellen. Ellen yang salah.”
Mendengar ucapan Ellen, Rennie menoleh menatap putrinya. “Sekarang kau mengaku salah, eh?”
Ellen menghela napas. “Baiklah, memang Ellen yang salah.”
James mengepalkan tangan semakin erat. Tahu bahwa putrinya berkata begitu hanya agar dirinya dan Rennie tidak bertengkar.
“Kalau begitu Ibu memberimu pilihan. Tetap di sini dan jangan temui sampah itu lagi atau kau lebih suka Ibu yang pergi dari rumah ini.”
Ellen menggigit bibir sebelum berkata, “Ellen tidak akan menemui Dennis lagi.”
“Bagus.” Raut wajah Rennie sama sekali tak berubah saat mengatakan itu. Lalu dia berbalik masuk ke dalam rumah.
--------------------
♥ Aya Emily ♥