Senin (00.00), 12 April 2021
Jamnya :D
----------------------
Dennis masih menguap saat turun dari ranjang lalu menuju kamar mandi. Jendela kaca kecil di bagian atas kamar mandi membuat cahaya matahari pagi berhasil menerobos masuk.
Sejenak Dennis mencuci wajah untuk menyegarkan penglihatannya. Setelah kantuknya perlahan hilang, dia menegakkan tubuh dan berniat menggosok gigi sebelum memulai mandi paginya. Namun kening Dennis berkerut melihat sesuatu yang berkilauan tertimpa cahaya matahari di tempat sabun.
Penasaran, dia mengambil benda itu lalu mengamatinya dengan seksama. Itu tampak seperti anting wanita. Terbuat dari emas dan hiasan batu permata kecil di tengahnya.
Tanpa bisa dicegah, senyum sinis Dennis muncul. Jenis senyum meremehkan begitu menyadari itu anting milik siapa dan mengapa bisa terdampar di kamar mandinya. Jelas ini disengaja dan satu-satunya orang yang mungkin pelakunya adalah si cantik Ellen.
Ada kilat kejam di mata Dennis saat meletakkan anting itu di telapak tangan kirinya lalu menggenggamnya erat. Dia tidak suka cara Ellen menatapnya. Dia tidak suka cara Ellen mendekatinya. Terlebih dia tidak suka sikap pantang menyerah Ellen.
Padahal baru dua hari berlalu sejak pertama kali mereka bertemu di supermarket. Tapi kehadiran wanita itu sudah sangat mengganggu ketenangan Dennis lebih daripada yang bisa dia toleransi.
Lihat saja! Akan Dennis pastikan setelah ini Ellen tak lagi jadi pengganggu. Wanita itu harus enyah dari kehidupannya. Atau dia akan menyesal sudah mengenal Dennis karena Dennis tidak takut berbuat kejam.
***
Dennis baru saja selesai menaikkan kayu-kayu ke bak pick-upnya saat mobil Henry berhenti di halaman bagian bawah rumah Dennis. Tak lama kemudian, tampak mantan polisi itu menaiki undakan dari tanah dan batu menuju tempat Dennis.
“Kau datang terlalu pagi dan aku menolak jika tujuanmu mengajak memancing. Aku harus menjual kayu-kayu ini.”
Henry tersenyum geli menyadari dirinya dusir. “Kau bahkan tidak menawariku duduk. Apa karena ada seseorang di dalam rumahmu?”
Gerakan Dennis yang sedang membuka tutup botol air dingin terhenti sejenak lalu kembali meneruskan. Dia minum beberapa teguk sebelum bertanya, “Dan siapa orang yang kau maksud? Padahal kau tahu sendiri aku tidak pernah membawa siapapun ke rumahku.”
“Ellen, mungkin.” Kedua alis Henry turun naik dengan gaya menggoda.
Dennis meletakkan botol minumannya di dashboard mobil lalu berkacak pinggang saat menatap Henry. “Kenapa kau bisa berpikir wanita populer itu ada di rumahku?”
“Oh, ayolah.” Henry menyeringai. “Sejak kapan kau jadi suka main rahasia-rahasiaan dariku? Gosipnya sudah menyebar di seluruh kota bahwa kemarin kau sarapan bersama Ellen Alodie. Kalian tampak akrab.”
“Wow!” seru Dennis takjub. “Sejak pertama kali tinggal di sini aku sudah tahu bahwa penduduk kota ini suka sekali bergosip. Tapi baru sekarang aku menyadari betapa parahnya kegemaran kalian itu. Sampai-sampai aku yang sarapan bersama Ellen Alodie tidak sampai lima menit juga menjadi bahan gosip.”
“Itu wajar. Sebelumnya aku sudah bilang Ellen memang sudah menjadi bahan pembicaraan dan rebutan para lelaki lajang di sini. Lalu tiba-tiba dia sarapan dengan seorang lelaki yang terkenal dingin dan penyendiri. Semua orang pasti akan memperhatikan dan bertanya-tanya ada hubungan apa di antara mereka.”
“Sayang sekali kami tidak bisa memberikan bahan gosip lain,” kata Dennis malas lalu naik ke mobilnya. Langit mulai mendung. Dia harus bergegas atau kayu-kayunya tak bisa dijual karena basah diguyur hujan. “Maaf tidak bisa meladenimu lebih lama. Aku harus pergi.”
Baru saja menyalakan mesin mobil, mendadak pintu penumpang di sebelahnya terbuka lalu Henry menyelinap masuk. “Aku tidak ada kegiatan hari ini. Jadi aku akan menemanimu.”
“Cih. Kemarin-kemarinnya kau juga tidak punya kegiatan berguna,” ejek Dennis seraya mulai melajukan mobilnya melintasi turunan berbatu dari halaman rumahnya terus ke jalanan di bawah.
“Jangan terus-menerus mengejekku. Aku masih berusaha menjalin koneksi untuk membangun bisnis perkayuan yang sudah kurencanakan. Harusnya ini tidak sulit kalau kau mau membantu.”
Dennis menyeringai geli. “Apa yang kau harapkan dari penjual kayu rendahan sepertiku ini?”
Henry berdecak. “Kau selalu saja merendah. Mau kau kemanakan perusahaan besarmu itu?”
Seketika raut wajah Dennis berubah kaku. “Sudah ada kakakku yang mengurusnya. Mungkin beberapa tahun lagi aku akan pulang untuk secara resmi menyerahkan kepemilikan perusahaan itu kepada kakakku, Romi.”
Henry ternganga saat menoleh menatap Dennis. “Kau mau melepas hasil kerja kerasmu selama puluhan tahun begitu saja? Aku yakin keluargamu juga akan menentang keputusan itu.”
“Aku tidak butuh izin untuk melakukan apapun yang kuinginkan.”
Henry geleng kepala, tak habis pikir dengan jalan pikiran Dennis. “Jangan karena ego, lagi-lagi kau harus merusak hidupmu sendiri.”
“Kau tidak mengerti,” geram Dennis. “Aku tidak ingin kembali ke sana dan mengacaukan segalanya. Semua orang bahagia tanpaku. Terutama Aira.” Jemari Dennis mengepal mencengkeram kemudi saat menyebut nama wanita yang telah menorehkan luka di hatinya. Bahkan hanya dengan mengingat namanya saja, hati Dennis terasa pedih sekaligus panas seperti luka yang ditaburi garam.
“Kau hanya menduga, Dennis. Padahal kenyataannya belum tentu seperti itu.”
Dennis tak lagi menanggapi. Tatapannya fokus ke jalanan. Henry mengerti isyarat itu. Bukan karena Dennis merenungi nasihat Henry, melainkan berarti lelaki itu sedang malas memperpanjang pembicaraan. Dengan kata lain, Henry yang tidak berada di posisinya tidak berhak memberi nasihat.
***
Lagi-lagi Ellen menunggu hingga sore hari sebelum mendatangi rumah Dennis. Dia tahu sepulang dari pusat kota Dennis akan menghabiskan sebagian besar waktunya di hutan hingga sulit menemui lelaki itu saat siang di rumahnya. Jadi Ellen memutuskan menghabiskan waktu menyiram tanaman sambil dalam hati berencana membujuk teman-temannya yang masih tinggal di kota kecil ini untuk pergi piknik.
Tak lama kemudian, sedan silver milik ibu Ellen, Rennie Rebecca, memasuki halaman rumah. Seiring waktu Ellen memang memperhatikan penampilan dan gaya ibunya semakin modis. Rennie semakin senang memperhatikan trend fashion dan sangat suka berkumpul dengan sesama wanita kelas atas di kota itu.
Yah, Ellen yang masih suka berpenampilan sederhana ala gadis kota kecil semakin bertolak belakang dengan ibunya. Namun itu sama sekali tak membuatnya merasa risih atau terganggu. Menurutnya sang ibu masih orang yang sama dengan segala kecerewetannya yang kerap menimbulkan rasa rindu saat jauh dari rumah.
Brak.
Ellen menoleh saat mendengar pintu mobil sedan silver milik sang ibu ditutup lebih keras dari biasa. Rennie tampak keluar dari mobil seraya melepas kacamata hitamnya. Raut wajahnya tampak tak bersahabat saat bergegas menghampiri Ellen lalu bersidekap di depan Ellen.
“Apa yang sudah kau lakukan? Apa kau sengaja ingin membuat ibu malu?” tanya Rennie dengan raut murka.
Ellen yang tidak mengerti maksud ibunya mengerutkan kening bingung. “Ibu bicara apa?”
“Jangan pura-pura bodoh! Untuk apa kau sarapan berdua dengan sampah itu?”
“Sampah? Siapa yang ibu bicarakan?”
“Dennis Anthony! Sampah masyarakat! Ibu sampai malu mendongakkan wajah ibu mendengar semua orang bergosip bahwa kalian memiliki hubungan khusus."
Ellen menghela napas tak suka mengetahui bahwa Dennis yang dianggap sampah oleh ibunya. Tapi dia tidak mau jadi anak durhaka yang membalas ucapan ibunya hingga terjadi pertengkaran.
“Tidak ada yang terjadi di antara kami.” Hanya itu yang Ellen katakan lalu berbalik untuk mematikan kran air.
Rennie merasa Ellen mengabaikannya. Dia bergegas menghampiri putrinya lalu mencengkeram siku bagian belakang Ellen, membuat wanita itu terpaksa berbalik.
“Jangan bilang kau benar-benar menjalin hubungan dengan pembunuh itu? Kau sengaja ingin mencoreng wajah ibu dan ayah?”
Kesabaran Ellen habis sudah. “Bu, Dennis memang memiliki masa lalu yang kelam. Tapi bisakah kita melihat dirinya yang sekarang saja? Sejauh ini dia tidak pernah mengganggu apalagi menyakiti siapapun.”
Rennie ternganga. “Kau membela mantan napi itu? Apa yang sudah dia berikan padamu hingga kau seperti ini? Apa dia cukup memuaskanmu di ranjang?”
Jemari Ellen mengepal. Kini dirinya yang dibuat tak percaya dengan kata-kata yang keluar dari bibir ibunya sendiri. Andai di depannya adalah orang lain, Ellen tidak akan segan-segan melayangkan tangan menamparnya.
“Ellen tidak ingin membahas ini lebih jauh. Tapi satu hal yang perlu Ellen tegaskan, kami tidak sedang menjalin hubungan apapun.” Saat dia hendak berbalik, ibunya mengeratkan cengkeraman hingga terasa menyakitkan dan mau tak mau Ellen kembali menatap ibunya.
“Ingat baik-baik, Ellen. Kau tidak tahu apapun mengenai Dennis Anthony. Dibanding dirimu, ibu dan seluruh penduduk sini jauh lebih tahu. Karena itu kami lebih memilih menghindarinya. Jadi jika dia bermulut manis untuk merayumu, jangan jadi gadis bodoh yang gampang terbuai. Dia hanya menginginkan kekayaan kita, bukan benar-benar menyukaimu.”
Ellen meringis. Bukan hanya karena cengkeraman ibunya tapi juga karena ucapan sang ibu yang sangat bertolak belakang dengan kenyataan. Faktanya Ellen yang mengejar-ngejar Dennis dan tengah berusaha menembus dinding pertahanan Dennis yang amat tebal.
“Kau mengerti ucapan Ibu, kan?” desak Rennie menginginkan jawaban karena Ellen hanya diam.
Terpaksa Ellen mengangguk. “Ya, tentu saja.”
“Bagus.” Lalu Rennie melepas siku Ellen. “Sebaiknya bersikap manislah dan nikmati liburanmu. Masa depanmu masih panjang dan sangat cerah. Jangan hancurkan semua itu dengan gosip murahan.”
Ellen hanya tersenyum kecil lalu bergegas berbalik masuk ke rumah. Dalam hati dia menggerutu kesal. Memangnya siapa yang bergosip? Kenapa dirinya yang disalahkan?
----------------------
♥ Aya Emily ♥