Jumat (20.42), 26 Maret 2021
----------------------
Setelah semua orang menikmati makan siang, Ellen kembali berkutat di dapur. Dia masih punya banyak bahan membuat cheese cake. Semoga Dennis menyukai keju. Jika tidak, kue buatannya akan terbuang percuma.
"Ellen, sedang apa lagi di sini? Biar Bibi yang membereskan sisanya." Bibi Missy bertanya setelah pulang dari acara liburannya bersama pelayan lain.
Ellen mengerutkan kening melihat Bibi Missy. "Ini bahkan belum pukul dua. Kenapa Bibi sudah pulang?"
Bibi Missy mengibaskan tangan. "Bibi sudah terlalu tua untuk liburan dan semacamnya. Lebih baik mengerjakan hal berguna di rumah."
Ellen tersenyum kecil, tahu dirinya tidak mungkin bisa memaksa Bibi Missy.
Ya, memang. Usia Bibi Missy sudah hampir mencapai tujuh puluh tahun. Tapi untuk urusan dapur, dia masih sangat cekatan dan gesit. Dulu sebelum kedua putrinya menikah dan suaminya masih hidup, Bibi Missy hanya bekerja di rumah orang tua Ellen hingga pukul tiga sore lalu pulang ke rumahnya sendiri.
Tapi kini, Bibi Missy sepenuhnya tinggal di rumah orang tua Ellen setelah rumahnya sendiri ia jual. Suaminya meninggal karena serangan jantung dan kedua putrinya ikut suami tinggal di luar kota. Tapi biasanya beberapa kali dalam setahun kedua putri Bibi Missy beserta suami dan anak mereka datang berkunjung. Orang tua Ellen tidak keberatan menjamu mereka di rumah ini dan mengizinkan menginap. Tapi biasanya mereka merasa sungkan dan memilih tinggal di penginapan.
"Semakin tua semakin menjadi alasan kuat agar Bibi lebih banyak istirahat." Ellen masih mendebat ucapan Bibi Missy sebelumnya.
"Bibi bukan orang tua penyakitan yang tidak berguna."
Ellen terkekeh geli mendengar nada tersinggung dalam suara Bibi Missy. "Baiklah, Bibi. Aku tidak akan memaksa lagi. Tapi istirahatlah jika kau lelah. Dan cake ini biar aku yang urus."
Kening Bibi Missy berkerut. "Sepertinya cheese cake yang tadi masih banyak."
"Itu untuk Ellias dan Ayah. Kalau yang ini akan kuberikan untuk teman. Besok aku akan buat cake kesukaan Ibu."
"Oh, baiklah. Biar Bibi yang mencuci semua peralatan bekas masaknya."
"Ya, terima kasih." Ellen tersenyum lembut yang dibalas Bibi Missy dengan senyum hangat.
***
Baru pukul lima petang tapi udara sudah semakin dingin. Ellen merapatkan jaket dan syalnya begitu tiba di halaman berbatu depan rumah Dennis lalu keluar mobil sambil menenteng wadah kue yang diikat saputangan lebar.
Halaman rumah Dennis terbagi menjadi dua bagian. Di tempat Ellen memarkir mobil adalah bagian bawah sementara bagian atas harus Ellen lalui dengan mendaki undakan setinggi satu meter dari tanah yang dicangkul lalu dilapisi batu hingga menyerupai tangga menuju teras yang seolah dibuat oleh alam.
Di halaman rumah Dennis bagian atas tidak ada pohon atau tanaman bunga. Tempat itu dibiarkan kosong. Hanya terdapat tempat membelah kayu dan area beratap tanpa dinding untuk menyimpan kayu-kayu yang sudah dibelah.
Menelan ludah, Ellen memberanikan diri melangkah lebih jauh menuju rumah Dennis. Telapak tangannya berkeringat gugup. Bukan karena takut karena reputasi lelaki itu, melainkan perasaan gugup seperti seorang gadis yang hendak memberikan cokelat valentine pada anak lelaki yang disukainya.
"Berikan kue ini lalu pulang." Gumam Ellen pada dirinya sendiri.
Tiba di teras rumah kayu berpelitur itu, sejenak Ellen mengusap telapak tangannya yang basah ke celana jins lalu mulai mengetuk. Butuh beberapa kali ketukan hingga terdengar suara samar langkah mendekat lalu kunci diputar.
Klek.
Ellen terbelalak lalu refleks mundur dua langkah. Matanya terpaku pada d**a telanjang kecokelatan di depannya terus turun ke celana jins yang menggantung rendah di punggul.
Salah satu alis Dennis terangkat, tak menyangka wanita cantik yang ditemuinya di supermarket kini berdiri di depan pintu rumahnya. Tapi lalu keningnya berkerut dan raut wajah Dennis tampak mengeras melihat wanita itu mundur lalu menunduk, menolak menatap wajahnya. Pasti karena belas luka menjijikkan di wajah Dennis.
"Kau wanita di supermarket tadi siang, kan? Sedang apa di sini? Apa kau tersesat?" tanya Dennis sambil melipat kedua tangan di depan d**a dengan sorot permusuhan. Sama sekali tak berusaha bersikap ramah dengan menawarkan wanita itu masuk.
Rasanya Ellen ingin memukul kepalanya sendiri atas kekurang ajaran matanya. Tapi Ellen tetap tidak bisa menahan diri menelusuri tubuh yang tampak keras dan kuat itu dengan mata hingga kepalanya mendongak dan pandangannya berakhir di sepasang mata biru yang tampak menawan sekaligus mengancam. Benar-benar bagai lautan.
"Eh, aku—” Seolah baru tersadar dari jerat hipnotis, Ellen mengulurkan tangan ke arah Dennis. "Aku Ellen Alodie. Putri James Morris. Mungkin kau tidak mengenaliku karena aku baru kembali ke sini setelah lama tinggal di luar kota."
Dennis hanya melirik sekilas tangan yang terulur di depannya dan sama sekali tak tergerak untuk menerima. "Hmm, putri pemilik bank swasta terbesar di kota ini. Dan kudengar semua hotel di sini juga milik ayahmu."
"Oh.” Ellen agak malu dan kecewa karena jabat tangannya ditolak. Dia menarik kembali tangannya lalu tersenyum lembut. “Ya, milik ayahku. Aku belum memiliki apapun.”
Sepertinya Ellias benar. Dennis tersinggung karena sikapnya di supermarket tadi siang, pikir Ellen sedih.
“Tidak lama lagi itu pasti akan jatuh ke tanganmu.” Dennis angkat bahu menunjukkan sikap tak peduli. “Jadi, sedang apa Nona Ellen berada di teras rumah kumuh ini?”
Dengan ragu, Ellen mengulurkan bungkusan yang dibawanya. “Ibuku sedang membuat banyak kue untuk dibagikan kepada tetangga.”
Lagi-lagi salah satu alis Dennis terangkat dan sama sekali tidak tergerak menerima pemberian Ellen. “Tetangga sejauh 10 km?? Sepertinya ibumu sangat murah hati. Pasti kau kesusahan mengantar kue-kue itu ke tiap rumah sepanjang jalan hingga tiba di sini.”
Bibir Ellen mengerucut kesal mendengar nada mengejek Dennis. Tanpa peringatan, mendadak dia menarik tangan Dennis lalu mendorong bungkusan itu ke d**a Dennis membuat lelaki itu terbelalak dan mau tidak mau memegang bungkusan yang dibawa Ellen.
“Aku datang jauh-jauh ke sini bukan untuk mendengar pujian penuh sarkasme dari Anda, Mr. Anthony. Jadi terima saja ini dan selamat menikmati.” Lalu Ellen berbalik pergi meninggalkan Dennis yang melongo menatap punggungnya.
***
Mata Dennis menyipit dan keningnya berkerut memperhatikan bungkusan yang belum ia buka dan tergeletak di meja makan. Otaknya berputar, berusaha menemukan alasan mengapa Ellen Alodie repot-repot datang ke rumahnya dan memberikan ini.
Pemberian ibunya??
Sungguh omong kosong. Sekali lihat saja Dennis tahu betul dapur adalah tempat terakhir yang akan didatangi Nyonya Rennie Rebecca. Dia tampak seperti seorang wanita kalangan atas yang lebih menyukai salon daripada urusan rumah tangga.
Jelas makanan ini adalah buatan Ellen sendiri. Apalagi dia adalah koki ternama. Tapi yang Dennis tidak mengerti alasan mengapa wanita itu repot-repot membuatkannya kue ini. Terutama mengingat tatapan ngerinya pada Dennis di supermarket.
Apa yang Ellen inginkan darinya?
Ragu, Dennis membuka bungkusan lalu penutup wadah kuenya. Seketika aroma keju lezat menguar di udara, memenuhi ruang makan yang menjadi satu dengan dapur di kediaman Dennis.
Dennis bukan pecinta keju. Tapi dia tidak akan menolak cake lezat di hadapannya.
Berdiri, Dennis mengambil garpu dan piring lalu kembali duduk di kursi depan meja makan. Cake lembut itu dengan mudah diiris dengan garpu lalu Dennis pindah ke piringnya. Uap panas masih sedikit mengepul menandakan cake itu mungkin langsung dibawa ke rumah Dennis begitu matang.
Perlahan Dennis mencicipi. Matanya melebar merasakan keju manis sekaligus asin yang pas lumer di lidahnya. Buru-buru dia memakan kue itu lagi dan lagi hingga dalam sekejap setengah bagian cheese cake sudah ludes ke dalam mulut Dennis.
"Wanita itu berbahaya." Gumam Dennis pada dirinya sendiri. "Dia bisa membuat berat badanku meningkat tajam." Desah Dennis sambil menjilati sisa keju di bibirnya.
***
Pagi ini Ellen kembali makan di Warm House. Rupanya dia belum jera setelah kemarin Dennis terang-terangan menunjukkan sikap bermusuhan.
Tak lama kemudian, seperti biasa di waktu yang sama, Dennis datang untuk sarapan. Lagi-lagi lelaki itu juga duduk di kursi yang sama, membuat Ellen leluasa mencuri pandang ke arahnya.
Ada setitik rasa kecewa di hati Ellen. Dia berharap setelah pertemuan mereka kemarin, paling tidak Dennis akan menoleh ke arahnya, layaknya seseorang yang tak sengaja mendapati kenalannya makan di restoran yang sama. Yah, Ellen tidak berharap Dennis menyapa. Tapi sekedar lirikan akan membuat Ellen merasa sedikit lebih baik.
Tapi beberapa saat kemudian, mendadak Dennis mendongak, membuat mata biru itu memaku mata cokelat Ellen. Buru-buru Ellen menunduk menatap buku di tangannya karena tertangkap basah memperhatikan lelaki itu.
Oh, sial!
Ellen memang berharap Dennis melihat ke arahnya. Tapi tentu tidak dalam situasi seperti ini saat Ellen memang terang-terangan memperhatikan lelaki itu.
Apa yang kira-kira dipikirkan Dennis tentang Ellen sekarang? Apa Dennis menganggap Ellen wanita aneh yang harus dihindari?
Cukup lama Ellen menunduk, dia mulai penasaran dan dengan tak kentara perlahan mengangkat kelopak matanya, melirik ke arah kursi yang ditempati Dennis. Tapi lalu keningnya berkerut bingung melihat kursi itu kosong. Bahkan mejanya juga, membuat Ellen mengedarkan pandang ke sekeliling.
"Mencariku?"
Pertanyaan dengan suara familiar itu membuat Ellen menegang. Dia menoleh ke belakangnya dan mendapati Dennis berdiri di sana dengan nampan di tangan lalu tanpa permisi duduk di kursi seberang meja Ellen. Seketika wajah Ellen bersemu merah karena malu ketahuan memperhatikan lelaki itu dan gugup, obyek fantasi liarnya kini duduk sangat dekat di depannya.
"Kalau kau ingin meminta wadah tempat kuemu, bilang saja." Kata Dennis santai sambil kembali menikmati sarapannya yang ternyata baru dimakan setengah.
"Ti—tidak. Aku tidak berniat melakukannya."
"Lalu kenapa kau terus memperhatikanku? Jangan bilang kau mengagumi wajah tampanku." Kalimat terakhir Dennis ucapkan dengan nada mengejek yang terdengar jelas, menandakan bahwa dia amat meragukan kalimat terakhirnya.
"Kau itu percaya diri sekali. Aku sama sekali tidak memperhatikanmu."
Dennis menyelesaikan makannya lalu mendongak menatap Ellen dengan sorot tajam. "Kalau benar begitu, jangan buat aku atau orang lain berpikir sebaliknya. Jika ada aku, palingkan saja wajahmu ke arah lain."
Usai mengatakan itu, Dennis hendak berdiri tapi refleks Ellen memegang pergelangan tangannya, membuat mereka berdua sama-sama kaget dengan mata saling beradu.
"Eh, maaf." Gumam Ellen seraya melepas tangan Dennis. "Aku—aku hanya ingin mengatakan akan mengambil wadah kue itu nanti sore. Itu saja."
Dennis tidak mengatakan apapun, hanya terus menatap Ellen yang balas menatapnya dengan sorot gelisah dan malu. Kemudian dia berdiri dan berjalan menjauh, tetap tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya.
---------------------
♥ Aya Emily ♥