Aku benar-benar tidak bisa tidur nyenyak semalam dan justru bingung dengan Nugraha yang dapat mendengkur keras di sampingku. Aku terus saja memikirkan bagaimana nasib orang yang kemungkinan ditawan oleh pria bernama Julian itu. Aku masih penasaran, apakah orang yang ditawan adalah istri dari Julian, atau justru Julian serta istrinya adalah pelaku penculikan?
Pagi itu aku bangun dengan kantung mata yang tebal karena kurangnya waktu istirahat. "Ah, kantung mataku memiliki kantung mata!" gerutuku ketika berdiri di depan cermin yang berada tepat di bagian bawah ranjang hotel. Bukan, bukan di kolong ranjang, melainkan lurus sejajar dengan arah kaki ketika tidur.
"Kau masih terlihat cantik, Sayang," goda Nugraha yang baru saja selesai membersihkan badan di kamar mandi.
"Kau jangan mengejekku, Nugraha!" Ucapan Nugraha terdengar kontradiktif dan satire bagiku. Aku tahu, sebenarnya ia ingin mengejek wajahku yang terlihat lebih tua dari usiaku sesungguhnya. Lelaki seperti Nugraha memang tidak pernah peka, selalu mengatakan hal pedas kepada perempuan.
Aku memang selalu menggunakan kamar mandi sebelum Nugraha, karena pria tersayangku itu tidak membutuhkan waktu lama untuk mandi, berbeda denganku yang membutuhkan setidaknya satu jam hanya untuk membasuh tubuhku. Bahkan ketika Nugraha selesai mandi, riasan di wajahku belum terpasang sempurna.
"Apa rencana kita hari ini?" ucapku sambil menggambar alis kebanggaannku.
"Rencanaku adalah kita menyamar sebagai pengantar makanan. Kita mengetahui identitas Julian sebagai pemilik rumah, tetapi kita juga harus mengetahui nama dari orang yang disekap. Jadi kita akan berpencar, aku akan mengurus identitas si korban, sedangkan kau ke restoran dan memesan sesuatu." Nugraha menjelaskan rencananya sambil memakai baju satu persatu. Dari cermin yang ada di depanku, dapat terlihat jika tubuh Nugraha terlihat padat dan menggoda.
"Hei, perhatikan matamu, Sayang!" Nugraha menangkap mataku yang memandang lurus ke arah sesuatu di antara dua kakinya. Aku hanya terkekeh kecil melihat Nugraha salah tingkah ketika mengetahui jika aku memerhatikan tubuhnya. Ia terlihat seperti anak kecil yang merasa malu jika bagian pribadinya dilihat oleh orang lain, padahal aku dan Nugraha telah tinggal bersama sejak sebelum menjadi bagian dari The Barista.
Keluar dari hotel, aku dan Nugraha mengambil jalan yang berbeda. Nugraha langsung menuju ke arah di mana ketukan di jendela itu terdengar sedangkan aku ke restoran dan menunggu konfirmasi selanjutnya dari Nugraha.
“Hana,” tulis Nugraha pada pesan singkat yang ia kirim kepadaku ketika aku tengah berdiri di depan sebuah restoran pizza yang ada di salah satu sudut Kota Utara ini, yang mana aku dapat mengartikan jika Hana adalah nama dari orang yang disekap. Setelah menerima pesan dari Nugraha, aku segera masuk dan memesan sesuatu di dalam restoran itu. Di dalam restoran, aku memerhatikan pakaian pengantar makanan sehingga aku dapat menyamar menjadi salah satu dari mereka. “Jaket kuning dan celana hitam, bagus!” gumamku.
Ketika makanan yang aku pesan sampai di depan mataku, secara kebetulan aku melihat salah satu pengantar makanan tengah beristirahat dan meletakkan jaket yang ia kenakan di atas kaca spion motor yang ia gunakan untuk mengantar makanan. Aku sedikit melirik ke kanan dan kiri, lalu ketika aku dapat memastikan jika tidak ada orang yang memerhatikanku, aku segera berjalan cepat menuju motor tersebut dan mengambil jaket berwarna kuning itu kemudian segera menghilang dari restoran tersebut. Aku tidak peduli jika wajahku terekam CCTV karena ketika tertangkap oleh polisi, aku dapat keluar dari tuntutan hukum dalam hitungan detik.
Aku berjalan kaki menuju rumah nomor 13 sambil membawa makanan dan menenteng jaket pengantar makanan. Di halte bis tempatku dan Nugraha kemarin berteduh, pria terkasihku telah menunggu kedatanganku dengan wajah khawatir.
“Semuanya siap?” ucap Nugraha sambil mengelus bahuku. Suasana halte yang sedang sepi membuat Nugraha berani bersikap sedikit mesra kepadaku.
“Aku sudah siap. Tapi aku bingung, kenapa harus aku yang mengantarkan makanan ke sana? Kenapa bukan dirimu? Pengantar makanan biasanya adalah seorang lelaki, bukan?”
“Tenanglah, Sayang. Aku akan menjagamu jika terjadi sesuatu!” Nugraha mengecup keningku, lalu mendorongku agar segera mengeksekusi rencana yang telah disusun olehnya.
Saat itu aku belum memiliki rasa percaya diri sebesar ketika aku telah dipanggil dengan nama Madame. Dengan kaki yang sedikit gemetar dan telapak tangan yang mulai basah dengan keringat, aku memberanikan diri untuk melangkah perlahan menuju rumah minimalis yang memiliki warna putih tulang itu.
Aku menarik nafas panjang ketika berdiri di depan pintu, lalu dengan sedikit keras aku mengetuk pintu rumah itu. Satu, dua, tiga kali aku mengetuk pintu itu namun tidak ada seorang pun yang membukanya. Aku menoleh ke arah Nugraha yang memerhatikanku dengan seksama dari halte, ia memberikan isyarat mata agar aku mengetuk pintu rumah itu lagi. Kali ini aku mengetuknya dengan cukup keras hingga suara seorang pria terdengar cukup kencang dari dalam rumah menjawabku, “sebentar!” ucap pria itu dengan nada tinggi dan kasar. Badanku semakin gemetar mengetahui jika suara asli Julian lebih menyeramkan dibanding ketika berada di balik telepon.
Suara kasar kunci yang diputar dari dalam membuatku terkejut dan semakin gemetar. Ketika pintu terbuka, aku melihat seorang pria dengan tinggi sekitar 190 sentimeter muncul dari balik pintu. Pria dengan rambut pirang dan badan sedikit gendut itu memberikan tatapan seakan ingin membunuhku. Pria itu tidak membuka pintu sepenuhnya, namun aura membunuh telah terasa jelas dari tempatku berdiri.
“Ada apa? Kau siapa?” Pria di depanku menunjukkan wajah yang tidak bersahabat, seakan tidak suka melihatku mengetuk pintu rumahnya. Namun kali ini aku harus bersikap wajar seperti selayaknya pengantar makanan.
“Pizza, Tuan?” jawabku dengan senyum hangat yang sedikit aku paksakan.
“Tidak ada yang memesan pizza di sini!” Nada bicara pria itu cukup tinggi dan membuat keringat mulai mengalir dari keningku.
“Pesanan atas nama Hana, Tuan.” Aku sedikit menganggukkan kepalaku bermaksud menjaga kesopanan di depannya.
“Hana tidak ada di sini, kau salah rumah!” Pria itu segera menutup pintu rumahnya. Aku sangat kecewa karena tidak mendapatkan apapun, bahkan makanan yang aku antar pun pria itu tidak mengambilnya.
Aku segera berjalan lesu ke arah Nugraha yang telah menungguku di halte. Melihatku yang kehilangan semangat, sepertinya Nugraha paham dan langsung memberikan pelukan kepadaku, “tidak apa, sayang, kau sudah melakukan yang terbaik. Apa yang Julian katakan kepadamu tentang Hana?”
“Ia berkata jika Hana tidak ada di sana,” jawabku lesu. Kulepas jaket pengantar makanan yang dari tadi menempel di badanku, lalu Pizza yang aku bawa kuletakkan di atas jaket yang tergeletak di kursi halte. Aku termenung, Nugraha termenung, akhirnya kami berdua duduk dalam diam selama beberapa saat.
Tiba-tiba Nugraha mengambil pizza dan jaket yang tergeletak di sampingku, lalu ia berjalan terburu-buru menuju ke rumah Julian. Dari tempatku duduk saat ini, aku dapat melihat jika Nugraha mengetuk pintu rumah Julian dengan keras. Cukup lama Nugraha mengetuk hingga pria jangkung penghuni rumah itu membuka pintu sebagian, sama seperti ketika aku yang mengetuknya. Nugraha menunjuk-nunjuk ke arah dalam rumah, lalu Julian dan Nugraha seperti terlibat sebuah perdebatan. Meski dari jarak sekitar 20 meter, aku dapat melihat jika wajah Nugraha penuh dengan amarah meski memang dua pria itu tidak ada yang menggunakan suara kencang. Julian yang berada di dalam rumah terlihat memberikan tatapan merendahkan kepada Nugraha. Tidak lama kemudian, Nugraha terlibat perkelahian dengan Julian. Karena khawatir, aku segera berlari menuju ke arah dua pria yang sedang beradu tinju. Aku percaya jika Nugraha dapat mengatasi pria itu sendiri, tetapi aku berpikir mungkin ada sesuatu yang bisa aku lakukan di sana.
“Lilia! Hana ada di lantai dua, cepat selamatkan dia!” teriak Nugraha yang badannya tengah dikunci oleh Julian. Aku segera berlari ke atas sementara Nugraha berusaha menahan Julian agar tidak mengejarku.
Terdapat dua ruangan yang ada di lantai dua, di mana semua ruangan itu terkunci.
“Hana! Hana! Jawab aku!” Aku berteriak, berharap Hana segera menjawabku.
Tiba-tiba, Salah satu pintu ruangan itu mengeluarkan suara ketukan, aku segera mendekat ke arah pintu itu dan menempelkan telingaku di daun pintu, “Hana, kau di dalam? Bertahanlah, aku akan segera menyelamatkanmu! Menjauhlah dari pintu!” Aku melihat ke arah sambungan pintu dan gawang, dan menyadari jika pintu ruangan tempat Hana disekap mengarah ke dalam ketika dibuka, sehingga aku harus mendorong pintu itu untuk mendobraknya. Aku melihat ke arah sambungan pintu karena jika aku salah mengenali arah pintu dan pintu mengarah ke luar ketika dibuka, maka tindakanku mendorong pintu agar terbuka akan percuma. Beruntung pintu di hadapanku mengarah ke dalam sehingga aku hanya tinggal mendorongnya agar pintu itu terbuka.
Aku mundur beberapa langkah, lalu berlari dan menghantamkan badanku ke arah pintu. Suara benturan keras yang dihasilkan tidak membuat pintu itu terbuka, justru aku merasakan ngilu yang teramat sangat pada bagian bahu dan lengan atasku. Tapi aku tidak boleh menyerah di sini, aku harus mencoba mendobrak pintu itu lagi. Satu, dua, tiga kali aku mencoba medobrak pintu itu, tapi kuncian pada pintu itu cukup kuat sehingga badanku kalah. Bahu kanan dan kiri yang secara bergantian aku hantamkan ke arah pintu, membuat kedua bahuku berdenyut ngilu. “Sial, sakit sekali rasanya!” gerutuku melihat pintu yang tidak kunjung terbuka.
Aku menguatkan kuda-kuda, dengan segala sisa tenaga aku hantamkan bahuku sekuat tenaga pada pintu yang ada di depanku. Bersyukur hantaman keempat membuahkan hasil di mana pintu di depanku terbuka dengan lubang kunci yang terlihat rusak. Pemandangan di dalam ruangan yang baru saja terbuka membuatku bergidik ngeri. Bagaimana tidak? Wanita yang ada di dalam ruangan itu memiliki penampilan yang sangat berantakan. Kamar yang ia tempati memiliki aroma seperti kotoran manusia, ada sampah di mana-mana. Tatapan wanita itu terasa kosong, seperti tidak memiliki jiwa. Ada bekas darah yang mengering di sudut bibirnya dan beberapa luka lebam di sekujur tubuhnya.
“Sekarang kau sudah aman, Hana, ayo pergi dari sini!” Aku menarik tangan Hana, namun wanita yang memiliki tinggi yang sama denganku itu menahan langkahku. Ia membuka mulutnya, dan menunjukkan padaku jika lidahnya telah terpotong. Mataku terbelalak melihat keadaan perempuan di depanku ini. “Apakah ini ulah Julian?” Perempuan di depanku hanya dapat mengangguk lemah. Aku mengernyitkan dahi, air mata mulai menggenang di kelopak mataku. Aku melihat ke arah kanan di mana ada jendela yang mengarah ke jalan, di bawah jendela tampak sebuah pulpen dan kertas serta beberapa bercak darah yang terlihat mulai mengering. “Jadi seperti itu cara Hana membunyikan sinyal morse?” gumamku. “Ayolah, Hana, kita keluar dari sini. Temanku telah mengurus Julian di bawah, kau akan baik-baik saja!” Aku mencoba meyakinkan wanita di depanku, tetapi Hana justru menahan tanganku dan menggelengkan kepala. Aku rasa Hana ketakutan terhadap Julian. “Tidak apa-apa, kita akan selamat, percayalah kepadaku!” Aku menarik tangan Hana dengan sedikit memaksa sehingga ia tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti langkahku.
Ketika sampai di lantai bawah, aku kembali dikejutkan dengan Julian yang tengah menodongkan pistol ke arah Nugraha dengan badan Nugraha yang terkunci olehnya. Nugraha hanya bisa mengangkat tangan menyerah dan melihat ke arahku dengan pasrah.
“Serahkan wanita itu atau teman lelakimu ini akan mati di sini!” Aku melihat ke arah Nugraha yang terlihat tidak sanggup berkata apapun, matanya terbelalak dan nafasnya bergerak cepat.
Hana yang berada di belakangku seakan ingin menyerahkan diri kepada Julian namun aku menahannya. Tanganku menggenggam erat tangan Hana agar wanita itu tidak lari ke arah Julian. Suasana hening tercipta di sini, di mana aku masih belum dapat berpikir jernih. Apa yang harus aku lakukan? Siapa yang harus aku selamatkan?