"Yo, Max!" sapa Alex kepada seorang bartender yang tengah santai di belakang bar sambil menonton tayangan olahraga bersama pengunjung lain kedai kecil di kawasan bawah tanah Kota Industri ini.
"Yo, Alex! What can I get for you today?" jawab si bartender dengan ramah. Satu detik kemudian, bartender itu menangkap keberadaanku di belakang Alex. Selama sepersekian detik aku dapat melihat dengan jelas mata si bartender yang terbelalak melihat kehadiranku di tempat ini, tapi ia segera menutupi rasa terkejutnya dan menggantinya dengan senyum ramah. "Apakah wanita di belakang itu rekanmu?" Max menunjuk ke arahku.
Alex menoleh ke belakang di mana aku berdiri, lalu berbalik kembali ke arah Max. "Ya, apa kau tertarik kepadanya? Aku bisa mengenalkanmu padanya!" sahut Alex sambil mengacungkan jempol di atas bahunya ke belakang menunjuk ke arahku.
Ucapan Alex membuat Max kembali melirik ke arahku. Aku hanya membalas lirikannya dengan senyum sambil mengangkat bahu dan alis. Aku paham dengan arti dari tatapan terkejut yang ia tunjukkan di awal. Ketika bertemu mata lagi denganku, Max justru terpaku dan tidak mengalihkan pandangannya. Alex bahkan sampai melambaikan tangan beberapa kali di depan wajah Max, namun pria berkulit hitam itu tetap tidak mengedipkan mata. Hal itu membuat Alex kesal dan berteriak kepada barista manis berambut keriting itu, "Halo… ada orang di rumah?!"
Suara teriakan Alex mengalahkan kerasnya suara musik di tempat ini dan membuat Max tersentak. "E-eh… maafkan aku, aku hanya…"
"Terpana dengan kecantikanku?" Aku berjalan mendekat ke meja bar, menatap lekat pria yang berdiri hanya berjarak satu meter di depanku yang membuatnya semakin salah tingkah. Pandangannya bergerak ke sana kemari menghindari kontak mata denganku.
"Tidak, Nona, aku hanya…"
"Madame, panggil aku Madame Lilia." Aku mengulurkan tangan kepada Max. Cukup lama waktu yang Max butuhkan hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk menjabat tanganku.
"Seorang bartender di Kota Nelayan pernah memberikanku Fireball Apple Cider. Apakah aku bisa mendapatkan itu di sini?" ucapku sambil menatap pria hitam manis di depanku dari atas ke bawah dengan senyum yang sengaja aku buat sensual.
"Apakah itu enak?" sahut Alex yang ikut antusias.
"Sure, that is the best drink di Kota Nelayan. Kau harus coba, Alex."
"Baiklah, beri aku satu! Eh, aduh…" Alex menoleh ke kanan dan kiri sambil terlihat menahan sesuatu di balik celananya. "Bisakah aku menggunakan toilet?" Tanpa menunggu jawaban dari Max, Alex segera berlari ke samping di mana terdapat tulisan "toilet" di salah satu pintu.
Menyingkirnya Alex dari hadapanku membuat pria hitam manis di depanku langsung menatapku dengan lekat. Raut wajah gugup yang dari tadi terlihat jelas di wajahnya tiba-tiba menghilang. Aku membalas pandangan mata pria itu dengan menatapnya balik sambil mempertahankan senyum menggoda yang terus terukir di wajahku. Sesekali aku melirik ke belakang Max di mana terdapat papan nama yang tergantung pada dinding di atas rak botol. Bounti Bar, sebuah nama yang menurutku sengaja dibuat salah eja agar dapat meletakkan huruf "i" dengan titik kecil di atasnya. Jika diperhatikan lebih teliti, titik kecil di atas huruf "i" tersebut memiliki pola yang tidak asing, yaitu gambar biji kopi. Bukankah aneh jika sebuah bar yang menjual alkohol justru memiliki gambar biji kopi pada papan namanya? Tapi aku yang menyadari hal itu justru merasa wajar.
"Sepertinya Kota Industri benar-benar menarik ya?" ucapku pelan kepada Max. Aku berusaha agar orang-orang di sekitar tidak mendengar perkataanku.
"Apa yang kau lakukan di tempat seperti ini bersama orang seperti Alex?" sahut Max berbisik sambil mendekatkan wajahnya kepadaku.
"Kau penasaran?" Aku tersenyum semakin lebar seiring wajahku dan Max yang semakin dekat. "Aku hanya melakukan sesuatu yang menyenangkan." Aku melanjutkan kalimatku.
"Hey guys, what are you talking about? Wah ternyata kalian mengambil langkah cepat ya?" Alex yang baru keluar dari toilet secara tiba-tiba cukup mengejutkanku. Namun aku berlagak tetap fokus menatap Max dari dekat. "Kau belum membuat minuman untukku dan Madame Lilia? Ah, aku tahu wanita di sampingku sangat cantik sehingga membuat fokusmu beralih, Max. Tapi…"
"Alex, keluarlah!" Suara seorang laki-laki dari luar Bounti Bar mengalihkan perhatian Alex yang berbicara tanpa henti di dalam bar. Sekilas Alex terlihat seperti Sheera namun dalam balutan yang lebih dewasa. Dua orang perempuan ini sama-sama banyak berbicara, namun Sheera lebih terlihat centil karena ia lebih muda, sedangkan Alex tampak seperti ibu-ibu muda yang cerewet dan suka ikut campur dalam urusan orang lain.
“Aish… Dasar preman-preman sialan!” Alex menggerutu sambil menoleh ke arah pintu. “Kau juga, Max, tidak segera membuatkan minuman untukku!” Alex mengacungkan jarinya kepada Max dengan kesal.
“Sudahlah, kita bisa menikmati minuman itu lain kali. Bukankah kau juga tinggal di dekat sini?” Aku menepuk pundak Alex perlahan. Kemudian Alex berbalik dan melangkah keluar dengan raut muka masam. Ketika berjalan keluar, aku sempat membalikkan kepalaku, menoleh ke belakang di mana Max masih terpaku di tempatnya. Aku berikan kedipan sebelah mata kepada Max untuk terus menggoda pria itu. Di balik punggung Alex, Max mengeluarkan raut wajah bingung seakan tidak percaya jika orang yang ia kenal tiba-tiba muncul di tempat ini bersama dengan seseorang yang mungkin tidak seharusnya bersama denganku.
Menyadari tingkahku, Alex menyeletuk, “kau benar-benar suka dengan pria itu, Madame?”
“Ya, dia benar-benar menggoda,” sahutku sebelum akhirnya Max tidak terlihat lagi karena aku telah keluar dari bar miliknya.
Pemandangan mengerikan tergambar jelas di depan mataku ketika sampai di tempat mobil milik Hook terparkir. Aku masih belum dapat melihat dengan jelas karena pemandangan itu ada di dalam mobil. Namun aku dapat mendengar dengan jelas dari tempatku berdiri yang berjarak beberapa meter dari mobil, suara dua remaja laki-laki yang berteriak histeris dari dalam sana. Suara mereka terdengar seperti tertahan, mungkin mulut mereka tertutup oleh sesuatu.
“Masuklah, kita pulang!” bentak seorang laki-laki yang berdiri di depanku. Tanpa berkata apapun, aku mengikuti perintahnya dan segera masuk ke kursi belakang.
Ketika aku masuk ke dalam mobil, apa yang aku dengar dari luar tidaklah salah. Dua orang remaja yang aku perkirakan berusia pertengahan belasan tahun sedang duduk terikat di kursi belakang. Badan mereka meronta dan teriakan demi teriakan terus keluar dari mulut mereka yang tersumpal plester hitam. Mata mereka ditutup oleh saputangan sehingga tidak dapat melihat apapun.
Aku menurunkan kaca jendela hendak berpamitan dengan Alex. Wanita pirang itu segera berjalan menghampiriku dan mengucapkan salam perpisahan dari luar mobil. “Kapan kau akan datang ke Kota Industri lagi? Aku ingin mengajakmu ke tempat-tempat menyenangkan di kota ini.”
“Entahlah, Alex. Jika aku boleh ikut dalam rombongan ‘pengumpulan koleksi’ lagi, maka aku akan datang ke tempat ini,” sahutku hangat sambil memberikan senyum kepada Alex.
“Hei! Tutup jendelamu, Ja*ang!” bentak pria yang duduk di samping kursi kemudi. Aku lambaikan tangan kepada Alex kemudian menutup jendela tanpa berkata apapun.
Selama perjalanan, dua orang korban penculikan di kursi belakang tidak berhenti berteriak dan meronta. Beberapa kali kursi tempatku duduk mereka tendang dan hal itu membuatku terkejut. “Aish, berisik sekali anak-anak di belakang!” gerutuku pelan.
Namun sayangnya dua orang pria di depanku mendengar apa yang aku ucapkan dan merasa tersinggung. “Jika kau memang tidak suka berada di sini, lebih baik kau turun sekarang juga!” bentaknya.
“Hei, aku hanya sedikit menggerutu, apakah itu salah? Lagipula aku tidak melakukan sesuatu yang membebani kalian, kenapa kalian sangat tidak suka kepadaku?” protesku sambil mengerutkan dahi. Aku merasa heran, sebegitu sulitkah aku mendapat rasa percaya dari mereka?
“Berada di dalam mobil ini pun kau sudah salah, Jal*ng! Pekerjaan ini bukan untuk wanita sepertimu!” Pria yang duduk di samping kursi kemudi menoleh ke arahku sambil menatapku dengan marah. Pria itu terlihat benar-benar tidak suka kepadaku. “Kau adalah orang baru, Jal*ng! Jangan bertindak seenaknya! Kau harusnya merasa beruntung kami tidak membunuhmu dan membuangmu di tengah jalan!” Pria itu membuang wajahnya ke depan.
“Oops, sepertinya apapun yang aku lakukan akan menjadi salah di mata mereka, hahaha… tapi coba bayangkan, bayangkan seorang wanita sepertiku digag*hi oleh pria dominan seperti itu. Ah… aku tidak sanggup jika itu benar-benar terjadi. Ya ampun, aku dan pikiran kotorku!” Aku menggeleng-gelengkan kepala mengusir bayangan erot*s yang ada di otakku.
Akhirnya perjalanan berlangsung tanpa ada pembicaraan sama sekali antara aku dan dua orang di depan. Mereka pun tidak berbincang sama sekali. Perjalanan menuju Kota Nelayan hanya ditemani oleh teriakan dua orang korban di belakang.
Ada rasa sedih dan miris yang aku rasakan. Aku berada di dalam mobil ini, melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang Hook lakukan. Namun sayang aku belum bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan mereka. Jika aku lagi-lagi harus meminta uang dari Jacob atau Bianka, aku berpikir jika hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Sebanyak apapun aku menyelamatkan korban satu persatu, Hook akan selalu mencari lagi korban-korban baru untuk dijadikan sandera.
Aku harus menahan diri agar tidak melakukan sesuatu yang merugikan diriku. Sesekali ketika aku menoleh ke kursi belakang di mana dua orang itu terikat, air mataku tiba-tiba menggenang. Ingatanku tiba-tiba mundur ketika aku menjadi korban penculikan, baik ketika kecil maupun setelah menjadi agen. apakah aku marah? Ya, aku marah kepada orang-orang seperti Zayn dan Hook. Tapi aku harus tetap menahan amarahku, melanjutkan misi penyamaranku untuk mengungkap dalang organisasi ini dari akar.