"Sial, jika aku tidak ada di Atlantic Harvest dalam 15 menit, semuanya akan kacau." Aku masih tetap berjongkok di sebelah kiri mobil dengan wajah yang sudah sangat pucat seperti mayat hidup, kepalaku masih sangat pusing dan penglihatanku masih terganggu. "Ah! Perset*n dengan efisien!" Aku memaksakan diri berjalan tertatih ke dalam mobil, lalu aku mengeluarkan kotak lensa kontak dari dalam tas kecil dan memakai lensa kontak sebelah kiri. Sekarang di kedua mataku telah terpasang satu pasang lensa kontak pintar ciptaan Isac.
Lingkungan di sekitar terlihat seperti layar pintar ketika kedua lensa kontak terpasang pada mataku. Tidak ada rasa pusing yang berarti, tidak ada rasa mual dan semuanya terasa begitu nyaman. "Ternyata Isac memang merancang lensa kontak ini untuk dipakai berpasangan. Dasar aku dan rasa sok tahuku, merasa lebih cerdik dari orang yang membuat alat ini!"
Rasa pusing dan mual yang tadi aku rasakan berangsur menghilang dan aku dapat kembali melanjutkan perjalanan. Tetapi meskipun aku sudah merasa nyaman dengan lensa kontak ini, aku tetap harus beradaptasi agar tidak memberikan instruksi secara tidak sengaja dan menghabiskan daya yang ada. Kau tahu? 15 menit bukanlah waktu yang lama untuk merekam sesuatu. Mungkin seharusnya Isac memberikan aku lensa kontak cadangan yang sama-sama terhubung dengan kotak yang sama. Namun aku menyadari jika benda yang kini terpasang di mataku hanyalah sebuah prototype dan mungkin masih membutuhkan pengembangan lebih lanjut. Ketika aku pulang dari Atlantic Harvest nanti, aku akan menyampaikan kesanku terhadap lensa kontak ini.
Aku tiba di Atlantic Harvest pukul 10.03, tiga menit lebih lambat dari waktu yang ditentukan. Memang salahku yang bertingkah ketika berangkat sehingga aku terlambat sampai di sini. Dari pintu depan hingga ke ruangan Zayn pun membutuhkan waktu sekitar tiga menit, sehingga jika ditotal aku akan terlambat selama enam menit. Aku masih belum paham dengan kebiasaan waktu yang dimiliki Zayn, apakah dia adalah tipe orang yang santai terhadap jam karet, ataukah orang perfeksionis yang tidak dapat mentoleransi keterlambatan.
Pegawai front office langsung mempersilakan aku untuk pergi ke ruangan Zayn. Di dalam ruangan itu Zayn dan Alea telah menunggu kedatanganku. Ketika aku masuk ke dalam ruangan milik Zayn, Alea tengah duduk di pegangan kursi kerja Zayn, merangkul Zayn yang tengah memperhatikan laptop yang ada di depannya dengan mesra. Alea melirik ke arahku dengan tatapan sinis sedangkan Zayn memberikan senyum hangat yang berbeda jika dibandingkan dengan sebelum aku melakukan transaksi dengannya.
"Ah selamat datang, Nona Lilia. Silakan duduk." Zayn merentangkan tangan kanannya menunjuk ke arah kursi yang ada di depan meja kerjanya.
"Cih! Aku benci dengan orang yang tidak bisa datang tepat waktu seperti ini!" Alea menggerutu pelan di belakang Zayn namun masih dapat aku dengar.
"Sudahlah, Alea. Dia hanya terlambat beberapa menit, bukan masalah besar." Zayn menoleh ke arah Alea yang protes terhadap keterlambatanku. Sikap Zayn pada Alea kali ini terlihat sangat lembut seperti sikap seorang pasangan. Alea hanya memutar bola matanya kesal mendengar ucapan Zayn, seakan tidak dapat menerima jika Zayn lebih membelaku.
"Bagaimana hasil kerjaku, Tuan Zayn?" ucapku membuyarkan kemesraan yang ada di depanku.
"Luar biasa, Nona Lilia. Aku tidak menyangka jika orang yang kau bawa kemarin adalah mafia kelas kakap dari Pusat Kota. Aku mengira jika Rin adalah seorang anak-anak biasa. Aku bahkan tidak menyangka jika Arena yang terkenal dengan peredaran narkotika bawah tanah terbesar di Pusat Kota ternyata masih hidup di balik bayangan." Ucapan Zayn yang terkesan sedikit berlebihan memujiku membuat Alea melirik Zayn dengan tatapan sinis, kemudian tatapan sinis Alea kembali mengarah padaku. Aku membalas tatapan Alea dengan balik menatapnya tajam selama sepersekian detik sebelum pandanganku kembali beralih ke Zayn. Aku tidak menjawab apa yang diucapkan oleh Zayn, aku hanya menatapnya dalam diam dengan senyum tipis yang terukir jelas di wajahku. Aku sedikit memiringkan kepala sembari memperlebar senyum di bibirku, melipat tangan di depan dad* dan menggoyang-goyangkan badanku manja dalam diam. Zayn menatapku dengan bingung, sebelah alis matanya terangkat. Ia sejenak menatap Alea yang sama-sama tidak mengerti dengan sikapku, lalu kembali mengalihkan pandangannya kepadaku.
"Kenapa kau diam, Nona Lilia? Apakah ada yang salah? Atau ada yang lucu?"
"Tidak ada, kau hanya terlihat terlalu mencurigakan, Tuan." Aku memajukan badan, menumpukan siku pada meja di depanku.
"Lucu?" tanya Zayn bingung.
"Kau tahu? Aku paham jika kau belum percaya kepadaku, Tuan. Kau hanya ingin melihat, apakah aku akan hanyut dengan pujian yang kau berikan atau tidak." Aku menatap Alea dan Zayn secara bergantian. Ketika aku bertemu mata dengan Alea, ia membuang pandangannya sambil menggertakkan gigi seperti orang yang tertangkap basah tengah berbohong. Alea adalah orang yang menurutku tidak pandai menipu. Sebagai seorang yang hidup di dunia penuh tipu daya, menurutku wanita berdad* cukup besar di depanku ini masih terlalu polos dan naif. "Sekarang terserah padamu, dengan aku yang sudah membaca rencanamu, apakah kau akan melanjutkan kerjasama ini atau tidak? Aku tahu, aku adalah orang yang membutuhkan bantuanmu di sini. Tetapi aku tidak ingin terlihat seperti pengemis." Aku membuang badan ke belakang, bersandar pada kursi empuk yang dapat diputar ini.
"Hahhh, aku tidak menyangka jika kau berpikir sejauh itu, Nona. Baiklah, sepertinya kau bukan orang yang suka basa basi. Aku ingin mengajakmu ke satu tempat." Zayn berdiri dari tempat ia duduk, berjalan melewatiku yang masih duduk di tempatku. Alea yang berjalan mengikuti Zayn di belakangnya melirikku sejenak, namun aku menangkap ada rasa takut yang mulai tergambar di wajahnya. Aku terkekeh dalam diam melihat wajah Alea, gadis yang awalnya merasa berada di kelas yang lebih tinggi dariku, sekarang sedikit gemetar saat melihatku. Zayn juga masih ada di dalam perkiraanku, di mana ia suka dengan perempuan yang terlihat menantang dan sulit untuk didapatkan. Tapi, ke mana Zayn akan membawaku kali ini? Apakah ini jebakan? Apakah aku akan ditangkap oleh Zayn karena menyadari tipu muslihatnya?
Zayn memintaku untuk menunggunya di mobilku, sementara ia akan mengambil mobilnya di suatu tempat. Aku berdiri di luar mobil, di samping pintu sebelah kanan sambil menyalakan rokok lagi. Entah sudah berapa batang yang kuhisap hari ini, tapi aku merasa jika sekarang aku membutuhkan lebih dari sekadar nikotin untuk membuatku tenang.
Berada pada sebuah keadaan tidak pasti dan tidak dapat diperkirakan seperti ini membuat seorang agen yang memiliki banyak pengalaman di lapangan sepertiku pun merasa takut. Sebenarnya aku tidak takut dengan kematian, aku hanya takut jika mati dalam rasa sakit. Saat melihat orang lain disakiti dan disiksa sampai mati di depanku sebenarnya tidak membuatku ketakutan. Namun saat menyadari jika suatu saat hal itu bisa saja terjadi kepadaku, membuat nyali yang ada pada diriku perlahan menciut. Akibat dari pikiranku sendiri adalah sebuah rasa takut dan khawatir berlebih selalu muncul ketika berada pada keadaan yang tidak pasti seperti sekarang. Dan ketika perasaan itu muncul, rokok yang aku bawa tidak pernah mati. Maksudku, ketika rokok pertama mati, maka akan tersambung ke rokok selanjutnya hingga perasaanku menjadi lebih tenang. Beruntung, nikotin adalah jenis narkotika yang legal di sebagian besar negara di dunia sehingga barang beracun dengan efek menenangkan ini sangat mudah untuk didapatkan.
"Nona Lilia, kenapa kau tertidur sambil berdiri seperti itu? Ayolah!" Sebuah mobil sedan berwarna hitam keluaran tahun 2010 dengan kaca sebelah kanan yang terbuka di mana Zayn mengemudi di dalamnya membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku memejamkan mata hanyut dalam pikiranku sendiri. Tanganku gemetar saat membuka pintu mobil menyadari Zayn yang mengajakku pergi ke tempat yang belum aku ketahui. Mungkin hanya di saat-saat seperti ini aku ingat terhadap Tuhan dan berdoa supaya dapat pulang dalam keadaan hidup.