Catatan 59

1798 Kata
“Jadi, kau membunuh mereka semua?” tanyaku pada Jacob yang masih terlihat meringis menahan sakit pada seluruh tubuhnya. “Apa lagi yang kau harapkan ketika bertemu dengan orang yang membunuh Sheera?” jawab Jacob berlagak pemberani. Jacob mengambil ponsel di saku celana, lalu menunjukkan sesuatu padaku. Beberapa foto orang-orang yang menjadi korban Jacob kemarin tampak mengerikan untuk dilihat. Ada mayat yang memiliki luka terbuka di wajah dan lehernya, ada juga mayat dengan kepala yang hancur, ada juga satu foto yang hanya menunjukkan wajah seorang pria dengan mulut menganga dan mata melotot ketakutan. Wajah itu adalah, Aron. Aku melirik ke arah Jacob yang tersenyum sombong sambil melirikku. Wajahnya terlihat puas, ia merasa menjadi seorang pahlawan. “Jadi, siapa yang membunuh Sheera?” tanyaku sambil terus menggeser satu persatu foto yang ada di ponsel Jacob. “Aku tidak tahu apakah Aron berbohong atau tidak pada pada kita, tapi ia tetap bersikeras bahwa ia bukan orang yang membunuh Sheera,” jawab Jacob. Tatapan matanya mirip seperti Aron kemarin, tidak merasa berdosa sama sekali. “Lalu kenapa kau membunuhnya, Jacob?” Aku memutar badanku hingga tepat menghadap ke arah Jacob. “Karena…” Jacob sengaja menghentikan kalimatnya. Aku menatapnya lekat, Jacob tersenyum semakin lebar padaku. Akhirnya Jacob menceritakan apa yang terjadi, namun yang ia ceritakan padaku adalah kejadian setelah membunuh lima orang bawahan Aron dan hanya menyisakan dua orang yaitu Aron dan orang yang ia panggil ke Bounti Bar. Gang buntu yang menjadi saksi bisu kebrutalan Jacob telah berubah menjadi lautan darah, mayat lima orang bawahan Aron tergeletak di belakang Jacob dan Aron serta satu bawahannya hanya berdiri di ujung gang tidak dapat mundur lagi karena terhalang dinding. Jacob berjalan ke arah mereka berdua dengan santai namun tatapannya tetap menunjukkan aura membunuh yang pekat. Senjata tajam milik salah satu mayat yang tergeletak ia pegang di tangan kanannya, langkah Jacob tertatih karena tenaganya mulai terkuras habis namun ia masih berusaha menguatkan dirinya. Pendarahan yang ada pada tubuhnya mulai terasa nyeri seiring adrenalin yang mulai turun. Aron dan bawahan yang tersisa terdiam mematung ketakutan, tidak menyangka jika lima orang yang ia bawa dapat dikalahkan oleh satu orang saja. Jacob mengacungkan senjata ke arah mereka berdua, “siapa di antara kalian yang membunuh Sheera?” Aron dan bawahannya semakin gemetar ketakutan, namun Aron masih mencoba membela diri di depan Jacob. “Aku sudah berkata jujur padamu, Tuan. Aku tidak pernah membunuh siapapun!” Orang yang berdiri di samping Aron terkejut, ia melihat Aron dengan mata melotot. “Hei, kau yang menyuruhku melakukannya!” Jacob mengacungkan senjata kepada bawahan Aron, membuat mata orang itu bergerak ke segala arah karena semakin takut. Ia tampak pasrah dengan nasib yang menunggunya. “Kau yang membunuhnya?” ucap Jacob mengintimidasi sambil terus bergerak maju. Tanpa menunggu jawaban orang itu, Jacob segera melayangkan pisaunya tepat mengenai leher pria itu, membuat cairan berwarna merah mengalir membasahi pakaian bawahan Aron itu dan sebagian mengenai wajah Jacob yang sudah penuh dengan darah. Luka terbuka yang ada di lehernya dan pendarahan yang parah membuat pria gemuk yang berdiri di depan Jacob seketika limbung dan tidak sadarkan diri. Jacob melirik ke bawah, pria itu tampak tidak bergerak sudah kehilangan nyawa. Jacob melirik ke arah kiri, di mana Aron mencoba melarikan diri keluar dari gang sempit itu. Jacob tidak ingin kehilangan jejak Aron setelah bersusah payah sampai di tahap ini. Jacob melempar senjata tajam yang ada di tangannya dengan keras dan berhasil mengenai bahu sebelah kiri Aron, membuat pria buncit itu seketika kehilangan keseimbangan. Jacob berjalan perlahan ke arahnya, Aron menyeret tubuhnya, berusaha berdiri dan kembali berlari. Jacob mengambil senjata tajam lain yang tergeletak tidak jauh darinya, lalu ia lemparkan senjata itu kepada Aron yang mulai berdiri. Lemparan Jacob kali ini kembali mengenai Aron, membuat senjata tajam itu menancap tepat di kaki sebelah kanan yang membuat Aron kembali terjatuh. Kali ini ia benar-benar menyeret tubuhnya. Sesekali Aron melihat ke belakang, ke arah Jacob yang tampak menikmati siksaan yang diderita oleh Aron. Jarak antara Aron dan Jacob semakin sempit, hingga akhirnya Jacob berdiri tepat di atas punggung Aron. Jacob menarik rambut Aron ke belakang, membuat Aron mendongak, melihat wajah Jacob yang tepat ada di atasnya. Jacob tersenyum semakin mengerikan, memperlihatkan aura membunuh yang semakin pekat meski badannya terlihat semakin lemas. “Apa yang membuatmu membunuh Sheera?” tanya Jacob dengan nada datar namun mengintimidasi. “Aku sudah bilang, aku tidak pernah membunuh siapapun!” Aron tetap saja bersikeras dengan kalimatnya. Jacob yang tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Aron, mencabut senjata tajam yang menancap di kaki Aron, membuat darah kembali memuncrat dari luka yang terbuka. Aron mengerang kesakitan ketika senjata itu tercabut. Lalu dengan tenang dan mengintimidasi, Jacob menempelkan bagian tajam senjata itu tepat di leher Aron sambil menyeringai. Jacob kembali mengutarakan pertanyaan kepada Aron sambil tetap menodongkan senjata, “Aku bertanya sekali lagi, kenapa kau membunuh Sheera?” “Aku tidak… aku tidak… aku tidak…” Aron tampak kehabisan kata. Jacob yang tidak sabar menunggu jawaban dari Aron, langsung menarik perlahan senjata tajam yang tertahan pada leher Aron, menggerakkan senjata itu ke belakang, mengiris tepat di bawah dagu orang yang menghilangkan nyawa murid Jacob yang paling berharga itu, membuat Aron tidak dapat menjawab pertanyaan Jacob untuk selamanya. Jacob segera berdiri, meninggalkan Aron yang tergeletak tanpa nyawa. Darah segar yang tersisa pada senjata tajam yang dipegang oleh Jacob menetes perlahan, menambah warna merah gang buntu yang menjadi saksi adegan berdarah di Kota Industri ini. Jacob melihat ke belakang, tujuh mayat tergeletak di sana menjadi saksi tidak hidup atas kebrutalan Jacob. Setelah itu Jacob masih sempat mengambil ponsel dan mengabadikan satu persatu mayat di tempat itu dengan sisa tenaga yang ia miliki. Setelah mengambil semua bukti yang ia butuhkan, Jacob berjalan tertatih meninggalkan tempat itu. Di tengah perjalanan, Jacob mulai merasakan perih dan ngilu di seluruh tubuhnya akibat dari luka dan darah yang masih belum berhenti mengalir dari luka tersebut. Kepalanya mulai terasa pusing, matanya mulai berkunang-kunang. Jacob memaksakan kesadarannya hingga ia melihatku yang sedang berdiri di samping mobilnya. Jacob menceritakan semua yang dialaminya sambil tersenyum, seakan bangga atas dendam yang berhasil ia balas. Namun sayangnya, baik aku maupun Jacob masih tidak mengetahui motif yang menjadi alasan pelaku membunuh Sheera. Benarkah hanya sekadar perkara uang? Atau sebenarnya ada alasan lain yang kuat sehingga mereka menganggap Sheera pantas menerima hukuman tersebut? Aku menghela nafas panjang, pikiranku masih belum tenang. Aku masih harus melakukan sesuatu terhadap Alea yang masih mendekam di penjara. Jika dibilang gagal, kali ini aku gagal. Aku tidak berhasil membawa pembunuh yang sebenarnya kepada polisi. Tapi jika dibilang misi kali ini berhasil, Jacob berhasil membalaskan dendam atas kematian Sheera. Meski memang bukan aku yang membunuhnya, namun Jacob sudah mewakiliku untuk memberikan satu atau dua pukulan pada si pelaku. Satu hal yang mengganjal pikiranku, bagaimana cara membebaskan Alea? Aku sebenarnya bisa saja membiarkannya di dalam penjara. Namun jika aku melakukan itu, maka aku akan kehilangan kepercayaan dari Zayn dan aku tidak menginginkan hal itu. Aku terus memandangi foto-foto yang ada di ponsel Jacob yang masih ada di tanganku sejak tadi sambil memikirkan apa yang dapat aku lakukan setelah ini. Akhirnya aku mendapatkan sebuah ide, aku kirim foto-foto tersebut kepada ponselku, aku simpan salinan foto itu di tempat yang tersembunyi dan membiarkan pesan yang ada di aplikasi pengiriman pesan daring itu tetap di sana. Aku memiliki sebuah rencana bagus untuk membebaskan Alea dan mengambil rasa percaya Zayn serta Hook lebih dalam lagi. Satu minggu setelah Jacob melakukan eksekusi kepada Aron, aku pergi ke kantor polisi Kota Nelayan demi membereskan urusan Alea. Ali, petugas kepolisian yang memegang kasus Alea sudah menungguku di sana. Ketika aku datang, Ali memberikan senyum penuh misteri padaku. Seakan ia tahu jika aku datang ke sana akan memberikan sesuatu yang menarik. “Bagaimana perkembangan kasus ini, Madame? Saya tahu, anda mencari sesuatu di luar,” sapa Ali. Ia bahkan tidak berbicara basa basi padaku. Aku memutar bola mata kesal, lalu menatap Ali dengan mata yang sedikit nakal. Aku mengeluarkan ponsel dari tas kecil yang selalu kubawa, lalu kubuka berkas yang dikirimkan oleh Jacob dan kuletakkan ponsel itu di atas meja. Ali hanya melirik ke layar ponsel itu, lalu kembali menatapku dengan penuh tanda tanya. Ali mengambil ponselku, lalu terlihat dari arahku ia sedang menggeser-geser layar ponsel di tangannya. Beberapa detik kemudian, Ali kembali menatapku, lalu ia letakkan ponsel itu kembali ke atas meja. “Anda ingin saya membebaskan rekan anda dengan barang bukti ini?” tanya Ali. Aku menopang dagu dengan siku kanan yang aku letakkan di atas meja, lalu memutar-mutar ponselku, “apa anda memiliki tawaran yang lebih bagus, Tuan?” Ali mengangkat sebelah mata, “Apa yang sebenarnya anda inginkan, Madame? Sejak awal saya selalu mengikuti permainan anda, namun masih belum paham dengan apa yang anda maksud.” “Sejujurnya saya tidak terlalu menyukai Alea, Tuan. Beberapa kali wanita itu bertingkah di depan saya. Sebenarnya saya ingin memberinya sedikit pelajaran. Apakah anda memiliki ide?” Ali menyandarkan badannya ke belakang sambil melipat tangan, memikirkan hukuman apa yang pantas didapatkan oleh Alea. Wanita itu bukan seorang tersangka, namun aku meminta Ali untuk memberikan hukuman. Sebenarnya semua ini terasa konyol, namun jika Ali menyetujui permainanku, berarti aku masih dapat memanfaatkan kepolisian bahkan tanpa membawa nama The Barista. “Tunggu sebentar, saya masih penasaran dengan foto-foto yang anda bawa, Madame. Apakah anda bisa menjelaskan foto-foto itu?” Ali mengalihkan pembicaraan. “Foto-foto itu adalah Aron dan bawahannya, pembunuh sebenarnya dari Sheera. Anda bisa mencocokkan identitasnya dengan berkas yang dapat anda minta di penginapan yang menjadi tempat kejadian perkara. Sayangnya saya tidak berhasil mengungkap motif pembunuhan dari pelaku, karena saya mendapat berita ketika para pelaku sudah meregang nyawa.” “Para pelaku? Maksud anda pelakunya lebih dari satu orang?” Ali kembali maju dan tampak antusias dengan apa yang aku katakan. “Ada kemungkinan sebenarnya ini adalah pembunuhan berencana. Jika mengacu pada apa yang dikatakan oleh Alea, maka pelaku seharusnya satu orang. Namun orang itu memiliki sebuah perkumpulan yang kemungkinan berisi preman jalanan. Saya hanya berasumsi, namun kemungkinan orang ini adalah tersangka utama.” Aku menunjukkan foto Aron yang sudah tidak bernyawa di tempat kejadian berdarah yang melibatkan Jacob. “Bagaimana anda dapat menyelidiki semua ini secara rinci? Siapa anda sebenarnya?” Pertanyaan Ali membuatku terkejut. Aku tidak sadar telah bersikap seperti seorang penyidik, agen, atau apa lah itu di depan Ali. Aku harus berkelit, bagaimanapun aku harus dapat keluar dari situasi ini. “Mungkin sekarang anda tidak tahu siapa saya, namun saya memiliki sedikit keyakinan jika kita akan bertemu dalam sisi yang berseberangan suatu hari nanti.” Aku mencoba menggunakan kalimat ambigu untuk menyamarkan identitasku. Lawan bicaraku kali ini adalah penyidik yang jelas memiliki dasar ilmu psikologi. Sedikit saja aku salah menjawab, maka identitasku dapat segera terbongkar. Ali hanya tersenyum mendengar jawabanku. Senyum dan tatapan mata yang penuh tanda tanya. Aku tidak tahu, apakah Ali menganggap aku adalah lawannya, atau sebenarnya Ali mengenalku sebagai seorang agen?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN