Catatan 63

2210 Kata
"Kau mau ikut denganku, Madame?" ucap Foxy ketika aku sedang menghabiskan roti isi untuk mengisi perut pagiku. "Hm?" Aku hanya mengangkat alis, menunggu kalimat selanjutnya dari Foxy. "Ikutlah, aku yakin kau akan suka." Foxy kembali menarik tanganku seperti ketika ia menarikku menuju dapur. Kali ini, ke mana wanita ini akan membawaku? Udara segar pagi hari di perkebunan kopi memang tidak dapat ditandingi keindahannya. Segar, sejuk, benar-benar memanjakan tubuhku. Tidak hanya memanjakan mata dengan pemandangan indah, udara di tempat ini juga sangat memanjakan paru-paruku. Seketika aku merasa seribu kali lipat lebih sehat jika dibandingkan dengan ketika aku ada di Kota Nelayan. Foxy membawaku keluar rumahnya, berjalan kaki melewati hamparan perkebunan kopi dengan biji kopi yang merah merekah memanjakan mata. Sesekali Foxy memetik satu biji kopi yang matang berwarna merah, lalu ia berikan padaku. "Kebun kopi ini milikmu?" Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Embun pagi dan kabur tipis masih menghiasi pegunungan pagi ini, menambah sejuk dan syahdu suasana perkebunan kopi.. Suara burung dan beberapa hewan pagi lain yang mengiringi seakan memberikan musik relaksasi untukku. "Begitulah, kebun kopi ini aku dapatkan dengan susah payah. Perlu bertahun-tahun menabung untuk dapat membeli lahan di tempat ini. Meski memang terpencil, tapi harga tanah dan rumah di sini tidak murah," ucap Foxy yang berjalan di sebelahku. "Kau pernah memakan kopi dari pohonnya?" tanya Foxy sambil menyodorkan satu biji kopi padaku. "Apakah ini bisa dimakan? Bukankah biji kopi harus diolah terlebih dahulu?" sahutku menerima biji kopi itu, lalu aku timang-timang, memutar-mutar biji kopi dengan ujung jariku. "Kopi dan coklat atau kakao, dapat dimakan langsung tanpa diolah terlebih dahulu. Namun, bukan biji kopi yang kita makan. Kopi dan kakao memiliki selaput daging buah yang terasa asam dan manis. Cobalah." Foxy menatap lekat ke arahku, seakan menungguku mencoba memakan kopi yang ada di tanganku. Dengan sedikit ragu, aku memakan biji kopi itu dan mengunyahnya perlahan. Terdapat sesuatu yang keras di dalam buah kopi ini, namun di bagian luarnya terdapat sesuatu yang lembek, berlendir, dan memiliki rasa manis dan segar. Aku terus menghisap rasa manis dari buah kopi ini hingga tak tersisa. "Lalu bagaimana dengan ini?" Aku menunjukkan sisa-sisa buah kopi yang kumakan dengan menggigitnya, menunjukkan gigiku pada Foxy. "Hahaha, itu adalah biji kopi, Madame. Kau bisa membuangnya," jawab Foxy terkekeh melihatku. "Dibuang? Bukankah sayang? Kau dapat mengolah biji kopi ini." Aku kembali menghisap buah kopi yang sudah tidak memiliki rasa ini. Satu detik kemudian, aku ludahkan biji kopi itu keluar dari mulutku dan Foxy mengajakku untuk melanjutkan langkah. "Aku memiliki ribuan biji kopi di sini, kehilangan satu biji kopi bukanlah kerugian untukku," jawab Foxy. Bibirku tersungging ketika tiba di sudut lain dari perkebunan kopi ini. Kecurigaanku sejak pertama kali tiba di sini benar-benar terjawab. Sebuah rumah besar dan luas dengan pagar yang cukup tinggi berdiri kokoh di tempat tersembunyi di balik perkebunan kopi. Rumah luas di tengah hamparan kebun kopi ini membuatku berpikir jika rumah ini digunakan oleh Foxy untuk memenjarakan korban, sama seperti yang dilakukan oleh Zayn dengan Hook-nya. "Inilah saatnya, inilah saatnya, inilah saatnya!" Aku merasa benar-benar antusias melihat rumah yang ada di depanku. Tanpa ragu, Foxy mengajakku masuk ke rumah tersebut. Aku berpikir, pasti Foxy juga menganggapku sebagai bagian dari Hook sehingga ia memercayaiku untuk melihat kedok sebenarnya dari kebun kopi miliknya. Aku menyungging bibir semakin lebar melihat punggung Foxy yang berjalan di depanku. Ia membuka gerbang yang terkunci itu, lalu mempersilakanku masuk. Aku tiba-tiba mendapatkan firasat buruk lagi. "Bagaimana jika Foxy ingin menahanku di sini dan menjadikanku salah satu dari koleksinya?" Berita yang Zayn berikan pada Foxy tentangku membuatku selalu waspada jika berhadapan dengan wanita berambut merah muda ini. "Masuklah, Madame. Kenapa berdiri mematung di sana?" ucap Foxy yang berdiri di tengah gerbang. Tanpa sadar aku kembali termenung. Aku langkahkan kaki masuk ke rumah besar itu, namun masih tetap memasang waspada jika memang kecurigaanku terbukti. Namun ternyata, sesuatu yang ada di dalam rumah itu membuatku tercengang. Rumah itu tampak sangat ramai. Banyak anak kecil dan remaja berlarian ke sana kemari. Orang-orang dewasa di tempat ini tampak kelelahan mengejar anak-anak yang tidak bisa diam. "Selamat pagi, Nyonya Foxy!" Seorang anak perempuan yang berusia sekitar delapan tahun berlari menghampiri Foxy dengan semangat. Di belakangnya, seorang perempuan paruh baya mengejar anak itu dengan wajah lelah. "Maafkan saya, Nyonya Foxy. Anak ini tidak memiliki rasa lelah!" teriak wanita itu dengan nafas terengah-engah. Foxy segera menyambut anak kecil itu dengan sambil tertawa lebar. Ia merentangkan tangan, anak kecil itu dengan sigap melompat ke pelukan Foxy. Wanita bermata sipit di sampingku ini segera menggendong anak kecil penuh energi itu. "Nyonya Foxy, Nyonya Foxy, hari ini aku makan banyak sekali!" ujar gadis itu sambil menggambar lingkaran besar dengan tangannya. Foxy tertawa antusias mendengar cerita gadis itu. "Tidak apa-apa, Nyonya. Anak ini memang sangat enerjik," ujar Foxy kepada wanita paruh baya yang tampak kelelahan di depannya. Wanita itu membungkuk, lalu meminta izin untuk undur diri setelah Foxy memberikan isyarat tangan padanya. "Beginilah kehidupanku sehari-hari, Madame. Mengurus anak-anak yang aku selamatkan dari Hook. Aku sadar, Hook tidak dapat dihentikan begitu saja. Kita harus mengambil jalan lain untuk menyelamatkan mereka." ucap Foxy sambil tersenyum lebar. "Nyonya Foxy, Nyonya Foxy, aku tadi terjatuh di sana." Gadis di gendongan Foxy menunjuk ke arah taman yang berada di samping rumah yang terlihat dari arah ruang tengah yang memiliki jendela kaca besar yang mengarah langsung ke samping. "Aku terluka, Nyonya Foxy." Gadis itu menunjuk lututnya yang tampak ada luka parut di sana. "Ah, kasihan sekali… apakah ini sakit?" sahut Foxy dengan lembut. "Sakit… tapi tidak apa-apa, karena aku kuat!" Gadis itu berteriak dengan semangat sambil memperagakan pose binaraga dengan ceria. Apa yang terlihat di depanku, benar-benar meruntuhkan ekspektasiku. Wanita ini sama sekali tidak terlihat seperti mafia, bahkan lebih tepat jika disebut sebagai "robin hood" di dunia nyata. Foxy menempatkan dirinya sebagai penyelamat orang-orang yang menjadi korban dari Hook. "Nyonya Foxy membawa teman hari ini? Aku belum pernah melihatnya. Hai, aku May." Gadis kecil itu melambaikan tangan padaku. Aku mencoba berbaur, berusaha menghilangkan pikiran curiga untuk sementara waktu. "Hai, May. Panggil aku Madame Lilia." Aku menirukan nada bicara May yang ceria sambil balas melambaikan tangan padanya. "Aku suka dengan Madame, bisakah Madame menggendongku?" May bergelayutan di atas gendongan Foxy, lalu merentangkan tangan padaku, ingin menjangkau badanku. Dengan tetap tersenyum, Foxy menyerahkan gadis kecil yang aktif itu padaku. "Ayo, Madame, kita berkeliling!" ucap May dengan semangat. Gadis ini menggerak-gerakkan badannya, Foxy hanya memberikan isyarat tangan agar aku mengikuti ke mana May ingin membawaku. Aku mengikuti arah yang ditunjuk oleh tangan mungil May. Setelah berkeliling bersama dengan gadis itu, aku melihat dengan mata kepala sendiri jika rumah ini tidak lebih dari sekadar asrama atau panti asuhan. Terdapat banyak kamar di bagian belakang rumah, dapur yang bersih dan nyaman, tempat bermain, perpustakaan, lapangan olahraga, bahkan alat kebugaran semua lengkap di sini. Foxy membangun sebuah tempat yang menurutku benar-benar layak digunakan sebagai tempat tumbuh kembang anak. Benar-benar tidak ada yang aneh, rumah ini benar-benar meruntuhkan semua ekspektasiku terhadap orang yang Zayn sebut sebagai orang penting. Petualanganku keliling rumah bersama May berakhir dengan May yang menunjukkan tempat ia jatuh. Ya, aku dan May sedang berada di taman samping rumah yang penuh dengan perlengkapan bermain di luar ruangan seperti ayunan, jungkat-jungkit, dan beberapa permainan anak yang lain. “Kalian berdua tampak bersenang-senang ya?” Foxy tiba-tiba muncul dari belakangku. Aku mencoba untuk mengendurkan rasa curiga terhadap Foxy, meskipun aku masih tetap berusaha mencari sesuatu yang salah dengan tempat ini. Aku berbalik dan tersenyum kepada Foxy. “Tempat ini tampak nyaman ya, Nyonya,” sahutku sambil melihat ke sekeliling. “Tempat yang sangat indah untuk tumbuh kembang anak,” lanjutku. “Chain Orphanage sebenarnya bukan tempat sebaik itu, Madame. Aku sejatinya adalah orang yang jahat, sama seperti Zayn.” Ucapan Foxy membuatku bertanya-tanya. Dengan perlakuan seperti ini kepada anak-anak, bagaimana mungkin ia menyebut dirinya penjahat? “Zayn memang bekerja mengambil anak-anak dan remaja dari tempat-tempat yang tidak layak, lalu memberikan kepada siapapun yang mau menebusnya. Kebanyakan klien yang berhubungan dengan Zayn secara langsung merasa kecewa karena anak-anak yang dirawat oleh Zayn selalu keluar dalam keadaan yang buruk. Di situlah peranku. Aku menerima permintaan dari calon orang tua angkat yang ingin mengadopsi anak-anak dengan kriteria tertentu. Jika Zayn memiliki salah satu dari mereka, maka aku akan memintanya kepada Zayn. Namun sebelum berpindah ke orang tua angkat, anak-anak itu terlebih dahulu aku rawat di sini dalam jangka waktu tertentu. Aku ingin mereka keluar dalam keadaan sehat, baik secara fisik maupun mental. Aku mendapatkan komisi dari transaksi ini.” Penjelasan dari Foxy berhasil membuat semua yang ada di sini menjadi semakin jelas. Kecurigaanku terhadapnya benar-benar luntur. Memang, memang Foxy bukan orang baik, namun ia berada pada level “baik” yang berbeda jika dibandingkan dengan orang lain. Kenyataan Chain Orphanage menguatkan anggapanku jika Foxy sejatinya adalah seorang robin hood di dunia nyata. Ia bergerak dalam kegelapan, menyusuri lorong-lorong kriminal dan menyelamatkan generasi penerus dari kekejaman kriminal jalanan seperti Hook. “Maafkan aku, Nyonya. Aku sempat salah sangka padamu,” ucapku dengan wajah lesu. “Tidak apa-apa, aku tahu kau curiga kepadaku karena kopi yang kusajikan kepadamu kemarin,” jawab Foxy. Sesaat kemudian May meminta untuk turun dari gendonganku, lalu ia segera berlari entah ke mana. Foxy berteriak kepada May, memintanya untuk berhati-hati, namun sepertinya gadis aktif itu tidak mendengarkan Foxy sama sekali dan terus saja berlari ke dalam rumah. Benar saja, beberapa detik kemudian aku dan Foxy mendengar suara tangis yang cukup kencang dari dalam rumah. Aku dan Foxy segera berlari ke arah suara itu berasal dan menemukan May tengah digendong oleh wanita paruh baya yang kutemui tadi. “Aku tersandung kakiku sendiri! Hua....!!!” May menangis semakin kencang. Aku dan Foxy menarik nafas panjang bersamaan, saling lirik dan tertawa bersama-sama. “Ya sudah, Bibi tolong tenangkan May ya?” ucap Foxy dengan lembut. “Baik, Nyonya,” jawab wanita itu, kemudian ia pergi ke ruangan lain. Aku dan Foxy menatap wanita itu hingga tak terlihat lagi. Tidak lama kemudian, aku tidak lagi mendengar suara tangis dari May. “Bocah itu memang mudah ditenangkan, Madame. Lihatlah, kita tidak lagi mendengar suara tangisnya.” Foxy memandang lurus ke depan, kemudian melirikku perlahan. “Permisi, Nona Foxy,” panggil seseorang dari belakang punggungku. Aku dan Foxy menoleh serentak, di sana telah berdiri pria yang semalam aku temui di depan rumah sederhana Foxy. “Dua orang anggota baru keluarga kita sudah selesai saya bersihkan. Mereka berdua sekarang sedang beristirahat di kamar. Kita harus menyiapkan mereka dalam dua bulan,” ucap pria itu. “Baiklah, aku akan mengusahakan mereka agar dapat berubah dalam dua bulan,” jawab Foxy. Pria itu kemudian meminta izin untuk undur diri dari hadapan Foxy. “Dua bulan?” tanyaku kepada Foxy setelah pria itu tidak terlihat lagi. “Aku sudah bilang padamu bukan? Aku bukan orang baik. Bagaimanapun aku bekerja demi uang, Madame,” jawab Foxy datar. Foxy mengatakan itu seakan tanpa dosa. Setelah aku berpikir, apa yang ia katakan memang benar. Satu sisi memang benar jika Foxy berbuat baik dengan menyelamatkan mereka dari cengkraman Zayn. Namun sisi lain, Foxy juga mengambil keuntungan dari setiap transaksi yang dilakukan oleh calon orang tua asuh. Satu simbiosis mutualisme antara Zayn, Foxy, dan calon orang tua asuh, namun sebuah kemalangan bagi orang tua kandung si anak. “Ngomong-ngomong, Nyonya. Apakah benar bahwa sesuatu yang kau masukkan ke dalam kopi adalah obat tidur dosis ringan?” Foxy tiba-tiba terkekeh mendengar pertanyaanku. “Bagaimana aku menjelaskan hal itu ya?” Foxy menatapku dengan wajah misterius. Tatapan matanya mengisyaratkan jika ia masih menyembunyikan sesuatu padaku. “Kau ingin aku percaya padamu jika kau bukanlah orang jahat, namun kau masih bermain rahasia denganku,” sahutku ketus. “Hahaha, baiklah, kau menang, Madame. Sesuatu yang aku campurkan ke dalam kopi itu sebenarnya memang obat tidur dosis ringan, namun aku yang meracik obat itu sendiri dengan bahan-bahan yang aku dapatkan dari pasar gelap,” terang Foxy. “Pasar gelap? Maksudmu…” Aku mengangkat sebelah alis sambil melirik Foxy. “Kau benar, benda itu adalah narkotika golongan pertama. Aku dapat bermain dengan dosisnya sehingga tidak berbahaya jika dikonsumsi. Kandungan pada narkoba itu dapat menetralkan kafein yang terkandung dalam kopi, sehingga aku masih tetap dapat merasakan sensasi kopi tanpa takut insomnia.” Foxy mengajakku keluar dari Chain Orphanage, lalu ia mengunci gerbangnya dari luar. “Kenapa kau mengunci rumah ini dari luar?” tanyaku penasaran. “Aku hanya ingin melindungi mereka, karena bagaimanapun mereka belum dapat menjaga diri mereka sendiri. Masing-masing staf di tempat ini juga memegang kunci, sehingga jika ada keperluan ke luar, mereka tidak perlu bergantung padaku,” jawab Foxy sebelum kemudian mengajakku berjalan kembali ke rumah sederhana di sudut lain dari kebun kopi miliknya ini. Di tengah jalan, aku mencoba mengeluarkan kalimat ini padanya. “Ngomong-ngomong, Nyonya. Aku sebenarnya tidak terlalu peduli dengan nyawa orang lain. Aku bergabung dengan Hook awalnya karena ingin melunasi hutang-hutangku.” “Aku tahu, aku tahu semua tentangmu, Madame. Kau adalah seorang monster yang tidak memiliki perasaan. Kau bahkan hampir mengorbankan Alea hanya karena ingin membalaskan dendam atas kematian rekanmu, Sheera. Aku hanya ingin menunjukkan padamu, meski kita ada di dalam lingkaran hitam kriminal, kita masih bisa menjadi seorang manusia.” Jawaban yang diberikan oleh Foxy benar-benar dapat menyentuhku. Aku jadi bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apakah benar, langkahku untuk mencurigai Foxy sudah tepat? Atau di masa depan, ada kesempatan untuk menjadikan Foxy sebagai rekan di mana aku memperkenalkan diri sebagai agen The Barista?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN