Arini duduk di meja makan, menatap piring yang masih penuh. Nasinya dingin, lauknya kehilangan rasa. Ia sudah menunggu hampir dua jam, tapi Reza tak kunjung pulang.
Ponselnya bergetar. Satu pesan masuk.
"Sayang, maaf. Malam ini ada rapat dadakan lagi. Jangan tunggu aku. Tidurlah duluan."
Arini menutup mata. Kalimat itu begitu familiar, seolah sudah menjadi naskah lama yang diulang-ulang. Ia meremas ponselnya, mencoba menahan gejolak dalam d**a. Tapi kali ini, ia tak ingin diam.
Ia berdiri, melangkah ke ruang kerja Reza. Tangannya gemetar saat meraih laci meja yang selalu terkunci. Anehnya, malam ini kuncinya tergeletak di atas meja. Dengan napas tercekat, ia membuka.
Di dalamnya, ada sebuah amplop cokelat. Arini menariknya keluar. Saat dibuka, ia tertegun—ada dua tiket pesawat. Tujuan: Bali. Tanggal keberangkatan… dua minggu lagi.
Di samping tiket, ada foto polaroid kecil. Reza bersama Nadya, tersenyum bahagia di sebuah kafe. Reza merangkul bahu Nadya, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Arini menjatuhkan foto itu. Tubuhnya gemetar, air mata kembali pecah. Ia tidak hanya dibohongi, ia ditinggalkan. Reza merencanakan masa depan bersama perempuan lain.
Keesokan paginya, Arini bangun dengan mata bengkak. Ia menyiapkan sarapan seperti biasa, mencoba menutupi wajah dengan make-up tipis. Saat Reza turun, ia sudah duduk di meja makan, berusaha tersenyum.
“Mas, kamu ada rencana pergi ke luar kota?” tanyanya dengan nada biasa, seolah hanya ingin tahu.
Reza terhenti sejenak, lalu menggeleng cepat. “Nggak ada. Kenapa tanya begitu?”
Arini menelan ludah. Bohong lagi. Ia tersenyum samar. “Nggak, cuma penasaran.”
Percakapan berhenti di situ. Tapi hatinya semakin yakin: Reza akan pergi bersama Nadya.
Siang itu, Arini mendapat telepon dari sahabat lamanya, Dina.
“Rin, kamu lagi di mana? Aku di dekat rumahmu, boleh mampir?”
Arini butuh teman bicara, seseorang yang tidak terlibat dalam lingkaran kebohongan ini. “Datang saja, Din. Aku di rumah.”
Beberapa jam kemudian, Dina duduk di ruang tamu, memandang wajah Arini dengan tatapan iba. “Rin, kamu kelihatan nggak baik-baik aja. Ceritain ke aku, jangan dipendam terus.”
Arini menggigit bibir. Hatinya ingin meluapkan semuanya, tapi ada rasa malu, rasa takut dihakimi. Namun saat Dina menggenggam tangannya, air matanya pecah.
“Reza… dia selingkuh, Din. Dengan… dengan Nadya.”
Dina terperangah. “Apa? Nadya yang itu? Sahabatmu?”
Arini mengangguk pelan, lalu menceritakan semua—pesan singkat, pertemuan di restoran, foto polaroid. Dina mendengarkan dengan mata berkaca-kaca.
“Ya Tuhan, Rin… kamu harus bertindak. Kamu nggak bisa terus pura-pura nggak tahu.”
Arini menggeleng cepat. “Aku takut, Din. Aku takut kehilangan dia. Aku takut rumah tanggaku hancur.”
Dina menarik napas panjang. “Tapi kalau kamu diam, kamu yang akan hancur. Percayalah, kebenaran lebih baik meski menyakitkan.”
Kata-kata itu menusuk hati Arini. Ia tahu Dina benar. Tapi hatinya belum siap.
Malamnya, Arini kembali menunggu. Reza pulang lewat tengah malam, tubuhnya beraroma parfum yang bukan miliknya. Arini hanya menatap dari sofa, pura-pura tertidur.
Reza mencium keningnya sekilas, lalu masuk kamar mandi. Saat pintu tertutup, Arini membuka mata. Dalam hati, ia berbisik: Aku harus tahu lebih banyak. Aku harus menemukan bukti yang lebih kuat.
Hari berganti. Arini semakin pandai menyembunyikan luka. Senyumnya tetap terpasang, tapi dalam diam ia mengawasi. Ia mulai mencatat jam-jam Reza pergi, ke mana mobilnya berhenti, bahkan nomor telepon yang sering muncul di layar ponsel.
Dan suatu sore, ia mendengar suara yang membuat jantungnya berhenti.
Ponsel rumah berdering. Arini mengangkatnya.
“Reza, Sayang. Aku nggak sabar ketemu kamu malam ini.”
Suara Nadya. Jelas, manja, penuh rindu.
Arini membeku, ponsel hampir terlepas dari tangannya. Ia tidak menjawab, hanya menutup telepon dengan tangan gemetar.
Lututnya lemas, tubuhnya nyaris jatuh. Air mata kembali pecah. Nadya bahkan berani menelepon rumahnya.
Ini sudah terlalu jauh, batinnya.