Bab 18

1080 Kata
“Lo mau pulang duluan? Bareng Pandu?” tanya Alita seraya menatap Sirin tak yakin. “Iya. Sekalian gue mau mampir ke rumahnya. Jaket gue ketinggalan di sana,” jawab Sirin. Sebenarnya, Sirin pengennya pulang bareng Alita karena tadi kan mereka berangkatnya bareng. Selain itu, pulang bersama dengan Pandu juga rasanya cukup aneh. Hanya saja, Sirin sudah tidak betah dimintain pendapat oleh Alita dan Tiara mengenai berbagai macam tas. Sirin benar-benar merasa jika Alita dan Tiara hendak membelikan barang-barang itu kepada Sirin sebagai kado ulang tahun. Padahal kan, kalaupun mau dikasih kado, Sirin tidak ingin tahu terlebih dulu apa kado dari mereka. Sirin ingin sebuah kejutan tanpa adanya bocoran hadiah. “Ya udah deh, hati-hati di jalan, ya,” kata Tiara seraya melambaikan tangan. “Siap!” Dengan begitu Sirin dan Pandu berjalan meninggalkan Alita, Tiara dan Zidan yang masih setia nongkrong di toko tas. Akhirnya Sirin bisa bernapas lega. “Gue pikir lo nggak mau ke rumah gue buat ngambil jaket,” kata Pandu seraya menoleh ke arah Sirin. Sirin hanya mengangkat kedua bahunya tanpa menyahuti perkataan Pandu. Awalnya Sirin memang malas untuk pergi ke rumah Pandu setelah apa yang ia lihat kemarin di sana. Sirin takut jika nantinya ia akan bertemu sosok hantu wanita itu lagi. Tapi ia memiliki sebuah teori tentang hantu tersebut. Dan hal itu cukup membuat Sirin penasaran. Jadi, Sirin rasa tidak ada salahnya untuk pergi ke rumah Pandu. Pandu merogoh ponselnya yang berada di saku. Ia menatap layar dengan kening bekerut. “Yang bener aja,” gumamnya. “Kenapa?” tanya Sirin penasaran. Pandu menggeleng, ia mengetikkan sesuatu lalu menaruh ponsel itu kembali ke sakunya. “Nggak apa-apa. Cuma titipannya Bibi. Kita nanti mampir ke minimarket deket rumah ya,” katanya. “Oke.” “Ngomong-ngomong kenapa lo nggak suka banget kalau kalau mereka bahas ulang tahun lo?” tanya Pandu terdengar cukup penasaran. “Hah?” balas Sirin bingung. “Tadi, pas mereka bahas soal ulang tahun lo, lo kelihatan nggak suka.” Sirin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Suka kok,” katanya. “Yang bener aja. Setiap kali Alita atau Tiara nyinggung soal kado ataupun perayaan ulang tahun lo, wajah lo langsung berubah nggak minat. Kenapa?” tanya Pandu memasang ekspresi wajah penasaran. Sirin cukup terkejut mendengar pertanyaan dari Pandu ini. Pasalnya, ia tidak menyangka jika Pandu memperhatian hal-hal itu. Sirin kira, cowok itu tidak peduli ataupun tertarik dengan obrolan Sirin dan teman-temannya yang lain soal kado serta ulang tahun. Tahunya, sejak tadi Pandu menyimak obrolan mereka. Sirin menghela napas dalam. “Bukannya nggak minat. Gue cuma merasa aneh aja kalau misal udah tahu duluan kado dari mereka apa. Nggak ada rasa deg-degan nunggu buka kado. Nggak ada rasa penasaran, nebak-nebak kira-kira apa yang mereka kasih. Lo tahu sendiri gue nggak suka spoiler. Jadi ya gitu, deh,” jawabnya bingung sendiri. “Lo banyak amat maunya,” balas Pandu geleng-geleng kepala. “Nggak banyak kok. Cuma nggak usah kasih tahu gue apa-apa.” “Gimana kalau kejutan yang lo dapetin itu adalah mereka nggak ngasih kejutan di hari ulang tahun lo? Nggak ada kue, nggak ada kado, nggak ada ucapan selamat ulang tahun?” Sirin terdiam. Ia tak pernah memikirkan sejauh itu. Bagaimana jika kejutan yang ia dapatkan adalah teman-temannya yang tak ingat hari ulang tahunnya? Bukankah itu akan menjadi perayaan ulang tahun termenyedihkan sepanjang sejarah hidup Sirin? Tentu saja Sirin tidak mau hal itu terjadi. “Mereka hanya pengen bikin lo terkesan dengan semua yang mereka siapkan. Dari kado, kue dan sebagainya. Mereka peduli dan sayang sama lo. Mereka cuma pengen bikin lo seneng,” ucap Pandu. Mau tak mau Sirin mengingat usahanya dan teman-temannya semalam untuk memberi kejutan kepada Alita. Ketika melihat senyum bahagia terukir di bibir Alita, rasanya ia pun ikut senang. Meskipun Alita ketakutan dan, Sirin yakin, tak suka kejutan hantu itu, tapi Sirin tahu jika Alita terkesan. Dan hal itu cukup membuatnya merasa puas. Seakan usahanya tidak sia-sia. “Iya, mungkin lo bener,” balas Sirin lirih. Ia baru sadar jika dirinya terlalu banyak meminta. Padahal hal terpenting adalah teman-temannya ingat hari ulang tahunnya. Itu tandanya mereka peduli kepadanya. “Yang bilang cowok selalu salah kayaknya belum pernah ketemu sama gue,” candanya yang membuat Sirin geleng-geleng kepala. Sirin lupa jika sebuah pujian untuk Pandu akan meningkatkan kadar kepedeannya. “Nyesel gue muji lo bener,” balas Sirin melirik sebal ke arah Pandu. “Tapi kan ucapan gue emang bener,” kata Pandu tersenyum lebar. Sirin menghela napas dalam. “Terserah lo deh, Pandu,” katanya dengan pasrah. Pandu terkekeh melihat ekspresi wajah Sirin yang tampak lucu. “Kenapa sih, lo hobi banget ngambek?” tanyanya terdengar geli. “Mana ada gue hobi ngambek.” “Wajah lo kelihatan banget kalau lagi sebel.” “Ya sadar diri kek,” balas Sirin melirik ke arah Pandu. “Kira-kira kenapa gitu, wajah gue kayak gini tiap ada lo.” “Ah, penyebabnya gue, ya?” tanya Pandu dengan ekspresi pura-pura bodoh. “Pakai nanya lagi.” Sirin geleng-geleng kepala. Pandu kembali tertawa. “Kalau nggak boleh nanya, nyanyi boleh?” balasnya. Sirin membelalakkan mata tak percaya. “Bisa-bisanya malah mau nyanyi!” “Pidato?” “Terserah lo, Pandu. Terserah lo. Orang nggak waras bebas,” kata Sirin meledek Pandu. “Berarti kayak lo gitu ya, bebas.” “Maksud lo gue yang nggak waras gitu?” tanya Sirin seraya memukul lengan Pandu dengan sebal. “Nyebelin banget lo emang!” Kini Pandu sudah tertawa terbahak-bahak. “Ampun, Rin. Ampun!” katanya di tengah gelak tawanya. “Jangan bikin gue babak belur.” “Capek ah, ngobrol sama lo. Ngeledek mulu,” ucap Sirin dengan sebal seraya berjalan dengan cepat mendahului Pandu. Pandu yang berada di belakang Sirin masih saja tertawa dengan sikap Sirin yang baginya sangat lucu. Memang, bagi Pandu membuat Sirin kesal itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Seru. “Sirin, salah jalan,” kata Pandu yang saat ini sudah berhenti berjalan. “Parkiran sebelah sana,” tambahnya menunjuk arah kanannya. Sirin yang mendengar ucapan Pandu sontak berhenti berjalan lalu menoleh ke arah cowok itu yang ada di belakangnya. Dengan helaan napas dalam akhirnya Sirin berbalik dan berjalan mendekat ke arah Pandu. “Bercanda. Mobil gue, gue parkir di sana,” ucap Pandu seraya berjalan cepat ke arah tujuan Sirin tadi. Sirin yang melihat Pandu berjalan melewatinya sontak berbalik untuk menatap ke arah Pandu. “Sumpah, Pandu lo nyebelin banget!” katanya kesal seraya berlari mengejar Pandu. Pandu yang melihat Sirin kembali kesal sontak tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN