“Sayang, bangun …” Tidurku terganggu saat kurasakan ada tangan yang mengusap lenganku berulang kali. Gerakan itu pelan, tetapi sedikit menekan. “Enggak lapar, apa? Ini udah hampir jam sepuluh.” “Nanti …” balasku pelan, nyaris seperti bisikan. “Perutmu enggak perlu diisi?” Akhirnya mataku terbuka ketika kurasakan ada gigitan pelan di telinga. Aku langsung melorot masuk ke dalam selimut begitu mendapati wajah Mas Rifqi berada terlalu dekat. “Kenapa malah sembunyi?” “M-mas Qi udah wangi! Akunya masih bau iler!” Mas Rifqi tertawa pelan. Dia menarik selimut, tetapi aku menahannya sampai batas hidung. Aku yakin sekali wajahku saat ini memerah seperti kepiting rebus. “Enggak ada bau iler, tapi kamu memang harus segera mandi. Habis itu, kita sarapan. Enggak mungkin perut karungmu itu belu