“Jadi, Shenna Dzavira … kamu mau, kan, menemaniku tumbuh dan menghabiskan masa tua bersama?” Alih-alih langsung menjawab, air mataku justru keluar. Aku mendadak membayangkan Mas Rifqi yang sering datang ke tempat ini sendirian dan berharap aku juga datang menghampirinya lagi. Menawarkan minum dan mengajaknya bicara. Bagaimana perasaannya saat itu? Apa dia melalui masa-masa nestapanya dengan terus berharap aku datang dan kembali menghiburnya? Betapa lebih sakitnya dia daripada aku. Dia berharap pada sesuatu yang dia sendiri tahu hampir mustahil. Hanya bermodal rasa yakin yang dipaksakan, itu pasti menyesakkan. “Shen—” Kalimat Mas Rifqi langsung terhenti saat aku mengangguk. Tidak hanya sekali, tetapi aku mengangguk berulang kali. Aku ingin dia tahu kalau aku tidak akan pernah meninggal