Chapter 2. Mulai Berubah Sikap.

1670 Kata
Suara pintu pagar yang digeser seketika membuat kantuk Suri lenyap. Suri memindai jam dinding. Pukul tiga dini hari. Client seperti apa yang harus dilobby hingga pagi buta seperti ini? Suri beringsut dari ranjang. Ia menggelung rambutnya asal, dan bergegas keluar. Ia bermaksud membantu Pras mengunci pintu pagar. Mbok Inah sudah tidur sedari tadi. Suri membuka pintu utama tepat saat mobil Pras berhenti di depan garasi. Tergopoh-gopoh Suri membuka pintu garasi. Mobil Pras melaju dan langsung masuk ke dalam garasi dengan mulus. Suri bergegas berlari ke pintu pagar. Menguncinya dengan teliti. Suri menunggu hingga Pras keluar dari mobil. Ia bermaksud mengunci pintu garasi, setelah Pras keluar. "Aku capek. Tolong ambilkan tas kerjaku di mobil. Aku mau mandi kemudian tidur. Aku tidak mau diinterogasi malam ini." Pras menyerahkan remote mobil dan melenggang masuk ke dalam rumah. Suri menerima remote mobil sembari mencium-cium udara. Aroma tubuh Pras yang melintas sangat tidak enak di hidungnya. Ada berbagai aroma bercampur baur di sana. Seperti aroma parfum, asap dan juga tembakau. Namun seperti yang diinginkan Pras, Suri tidak banyak bertanya. Ia segera mengeluarkan tas kerja dan mengunci pintu mobil serta garasi. Setelah mengunci rumah sekaligus mematikan lampu ruang tamu, Suri tergopoh-gopoh ke kamar. Pras tadi bilang kalau dirinya ingin mandi. Untuk itu ia akan mempersiapkan baju ganti Pras seperti biasanya. Ketika tiba di pintu kamar, Suri menghentikan langkahnya. Ia mendengar Pras tengah berbicara dengan seseorang di ponsel. Siapa yang menelepon Pras pada jam tiga subuh seperti ini? Penasaran, Suri menempelkan telinganya pada daun pintu. Ia ingin mendengarkan pembicaraan Pras. Sebenarnya Suri tidak mau menguping. Hanya saja ia penasaran karena Pras berbicara dengan sangat pelan, hingga nyaris berbisik. Seolah-olah Pras takut kalau pembicaraannya terdengar oleh telinga lain. Telinganya tepatnya. Hal tersebut tentu saja membuat Suri makin penasaran. Dengan siapa sesungguhnya Pras berbicara? "Aku juga baru tiba di rumah, Mur. Tidak masalah. Suri tidak akan banyak tanya. Aku bisa menanganinya. Dia 'kan tidak tahu apa-apa soal bisnis. Tidak masalah, Mur. Kamu boleh menelepon dan menanyakan apa saja dan kapan saja padaku. Ponselku dua puluh empat jam terbuka untukmu. Sama-sama, Mur. Selamat beristirahat juga." Setelah tidak mendengar apapun lagi, perlahan Suri membuka pintu kamar. Ia memunguti pakaian kotor Pras yang menumpuk di sudut kamar. Seperti katanya tadi, Pras memang akan mandi. "Siapa yang menelepon pukul tiga dini hari begini, Mas?" "Kamu ini mau tahu saja urusan orang," omel Pras kesal. Urusan orang kata Pras? "Urusan orang? Orangnya itu 'kan suami sendiri. Wajar kalau aku ingin tahu, Mas," tukas Suri tegas. Statusnya adalah seorang istri. Ia berhak mengetahui urusan suaminya. "Sudah! Jangan diperpanjang lagi. Aku mau mandi. Suami baru pulang bukannya disambut dengan senyuman, ini malah diajak ribut. Istri macam apa kamu?" Pras mendengkus sembari berjalan ke kamar mandi. Istri macam apa kata Pras? "Istri yang ingin mengetahui siapa yang menelepon suaminya pukul tiga dini hari. Jawab pertanyaanku, Mas?" Suri tidak mau mengalah. Sudah cukup beberapa bulan ini Pras memperlakukannya tidak selayaknya seorang istri. Selama ini ia terus bersabar dan menghibur diri. Mengucapkan dalam hati, bahwa Pras tengah disibukan oleh pekerjaan, makanya sikapnya tidak mengenakan. Ia terus merapal kalimat penghibur diri itu layaknya mantra setiap hari, agar dirinya tidak suudzon pada suami sendiri. Tapi kali ia tidak mau sabar lagi. Pembicaraannya dengan Wanti tadi sesungguhnya sudah membuat hatinya ketar-ketir. Ditambah dengan sikap Pras yang menutup-nutupi pembicarannya dengan seseorang yang ia duga keras adalah Bu Murni, mengait emosi Suri. Kesabarannya telah sampai ke titik nadir. Malam ini ia mengkaji kesehatan dalam rumah tangganya ini. Apakah masih bisa dipertahankan, atau memang harus disudahi sampai di sini. "Aku capek, Ri. Aku mau mandi dan istirahat. Apa kamu tidak bisa menunggu sampai besok pagi?!" Nada suara Pras makin meninggi. "Untuk orang yang menelepon Mas tadi, Mas menyediakan waktu hingga dua puluh empat jam. Tapi untuk istri sendiri tiga menit saja tidak bisa ya, Mas?" Suri menembakkan amunisinya. Ia sudah mendengar semuanya. Ia juga sudah bisa menebak siapa perempuan yang menelepon Pras itu. Murni Eka Cipta. Ia hanya ingin menguji Pras saja. Apakah Pras akan jujur atau tidak. Kalau Pras jujur, itu artinya memang tidak ada apa-apa antara Pras dengan Murni. Tetapi karena Pras keukeh tetap ingin merahasiakannya, itu artinya memang ada apa-apa di antara keduanya. Kecurigaan Wanti memang berdasar. "Kamu menguping pembicaraan orang, Ri?" Pras mengamuk. "Sudah dua kali Mas menyebut diri sendiri dengan orang. Itu artinya Mas tidak merasa sebagai suamiku lagi." Suri tersenyum miris. "Apa memang Mas sungguh-sungguh sudah tidak ingin menjadi suamiku lagi? Katakan saja terus terang, Mas? Mas tahu 'kan kalau aku menyukai kejujuran?" tantang Suri lantang. Dengan sengaja ia menghadang langkah Pras yang ingin masuk ke kamar mandi. "Baik! Yang meneleponku tadi memang Bu Murni. Bu Murni hanya ingin tahu apakah aku sudah sampai di rumah. Itu saja! Kamu ini, hal kecil begitu saja dipermasalahkan." "Hal kecil?" Suri tertawa tanpa merasa lucu. "Kalau itu memang hal kecil, mengapa Mas tidak langsung menjawab saja saat aku tanya tadi? Lagi pula apa pantas seorang atasan menelepon bawahannya hanya untuk menanyakan apakah bawahannya sudah sampai dengan selamat di rumah pada pukul tiga dini hari? Bawahan yang berlainan jenis lagi!" bantah Suri sengit. Sepertinya apa yang dikatakan Wanti tadi masuk akal juga. Hubungan Murni dan Pras terlalu mesra untuk status atasan dan bawahan. Lagi pula sejak kapan Pras memanggil Murni dengan namanya saja? Akrab sekali! "Memang kenyataannya begitu! Kamu kan tahu sendiri kalau Bu Murni ini orangnya ramah. Apalagi terhadap karyawannya sendiri. Kamu jangan cemburu buta begini dong, Ri." Suara Pras mulai rendah. Sepertinya ia sadar kalau dirinya memang salah. "Aku bukannya cemburu buta, Mas. Aku hanya mengemukakan fakta. Analoginya begini. Kalau benar apa yang Mas katakan, bahwa Bu Murni itu sangat ramah dan perhatian pada semua karyawannya, berarti Bu Murni akan menelepon setiap karyawannya setiap mereka lembur. Bayangkan, Bu Murni akan menelepon seratus tujuh puluh-an karyawannya setiap hari. Kira-kira itu masuk akal tidak Mas? Kalau menurutku sih tidak mungkin. Bayangkan 170-an orang karyawan. Apa nggak dower itu bibirnya Bu Murni? Satu lagi, sejak kapan Mas memanggil Bu Murni dengan panggilan Mur saja? Akrab sekali ya, Mas?" sindir Suri getas. Sindirannya sepertinya mengena. Karena air muka Pras langsung berubah. Ia terlihat serba salah. "Sudahlah, Ri. Aku capek. Aku mau mandi dan tidur. Besok saja kita bahas masalah ini. Satu yang pasti, tidak ada apa-apa di antara aku dan Bu Murni. Percayalah. Kami dekat karena membahas masalah pekerjaan. Tidak ada hal lainnya. Percayalah padaku, Ri." Suri memandangi wajah Pras dengan seksama. Ia tahu Pras berbohong. Karena selama mereka berbicara Pras tidak berani menatap matanya. Suri sangat mengenal gerak-gerik suaminya. "Baiklah, kalau Mas tidak mau jujur, aku tidak bisa memaksa. Namun ingat satu hal ya, Mas? Jangan sampai aku mendengar kecurangan Mas dari orang lain. Kalau itu sampai terjadi, aku akan hitung-hitungan dengan Mas," ancam Suri dingin. "Terserah kamu saja. Kamu mau hitung-hitungan dengan cara apa memangnya? Cerai? Mau jadi kamu kalau bercerai dariku? Tamatan SMP tidak ada artinya di ibukota ini. Paling juga menjadi buruh cuci." Suri mematung. Ia sama sekali tidak mengira kalau ternyata Pras sangat memandang rendah pendidikannya. Padahal sewaktu Pras melamarnya dulu, Pras mengatakan bahwa pendidikan formalnya bukanlah yang utama. Karena pendidikan yang paling penting di matanya adalah pendidikan akhlak dan hati yang mulia. Makanya dulu ia bersedia menerima lamaran Pras. Karena di matanya, Pras adalah laki-laki baik yang bersedia menerima kekurangan dan kelebihannya. Tak disangka tak dinyana ternyata semua itu adalah bualan semata. Suri sakit hati mendengar hinaan Pras. Harga dirinya bagai dicampakkan seperti setumpuk kotoran. "Maaf, aku tidak sengaja mengucapkannya. Aku sedang lelah lahir batin, Ri. Makanya ucapanku jadi tidak terkontrol." Secepat mulut Pras berucap, secepat pula itunya ia meminta maaf. Suri tidak menjawab. Tapi kini ia sudah mengantongi satu hal. Bahwa selama ini Pras memang memandang rendah dirinya. Hanya saja ia menutupinya dengan baik. Dan kini pada saat emosinya terkait, maka semua yang dibatini Pras keluar dengan sendirinya. Bukankah sesuatu yang tidak sengaja terucap adalah kebenaran yang sesungguhnya? Karena apa? Karena sesungguhnya hal tersebut memang telah lama bersemayam di benaknya. "Tidak masalah, Mas. Walaupun apa yang Mas katakan sangat melukaiku, tapi memang begitulah kenyataannya. Aku ini hanya lulusan SMP. Tetapi soal buruh cuci, aku tidak setuju Mas. Pemilik PT Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja, serta motivator Andri Wongso pun hanya lulusan SD. Tapi siapa yang tidak mengenal mereka berdua di negeri ini? Sementara para sarjana-sarjana hebat seperti Mas ini malah menjadi keroco di perusahaan-perusahaan yang menurut Mas orang bodoh tadi. Benar tidak, Mas?" tantang Suri. Ia memang bukan seorang sarjana seperti Pras. Tetapi, ia punya otak. Untuk itu ia akan menantang Pras beradu argumen. Zaman sekarang pengetahuan tidak melulu harus didapatkan melalui jalur formal. Internet dan kelas-kelas online telah bertebaran di mana-mana. Ia sudah lama belajar hal-hal baru melalui internet. Pengetahuannya sekarang semakin luas dan beragam. Ia sekarang mengetahui banyak hanya dari sebuah ponsel. "Wah, sudah hebat ya kamu sekarang? Bisa membahas-bahas soal pemilik PT dan seorang motivator. Jangan-jangan besok-besok kamu akan diangkat menjadi tim sukses oleh salah seorang pejabat. Hehehe." Pras tertawa. Tapi tawanya adalah tawa mengejek yang menyakitkan hati. "Jangan suka mengejek orang, Mas. Apalagi terlalu memandang ke atas. Takutnya kalau suatu nanti Mas jatuh, orang akan beramai-ramai menyukurinya," tukas Suri geram. Sikap Pras akhir-akhir ini sungguh keterlaluan. Penghinaannya sudah mulai terang-terangan. "Dan siapa orang-orang yang kamu maksud itu? Dirimu sendiri bukan?" Suara Pras makin lama makin keras. Emosi membuat urat-urat di lehernya bersembulan. "Kamu ini memang bodoh sekali! Bukannya mendoakan keberhasilan suami, ini malah menginginkan kejatuhannya. Dengar baik-baik. Kalau aku jatuh, maka kamu pun akan ikut sengsara juga. Buka otakmu lebar-lebar. Dibilang bodoh kamu tidak terima. Dibilang pandai, nyamuk pun tertawa mendengarnya. Sana, aku mau mandi. Menghalangi jalan saja." Suri nyaris terjengkang saat Pras mendorongnya dari pintu kamar mandi. Untung saja ia masih sempat menyeimbangkan tubuhnya. Air mata Suri menitik saat Pras membanting pintu kamar mandi di belakangnya. Dengan kasar Suri menghapus air matanya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak mau terus dijadikan keset oleh Pras. Tapi untuk itu ia harus memperbaiki dirinya dulu. Ia harus memiliki senjata untuk menghadapi Pras. Karena berperang maju tak gentar tanpa persiapan, itu namanya bunuh diri. Ia tidak sebodoh itu. Bukan hanya pernikahan yang membutuhkan persiapan. Tetapi perceraian juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN