"Lea, kamu jangan lama-lama, Nak. Keburu tamunya datang," ujar Ibunda Alea yang sejak tadi sudah menunggu putrinya itu selesai berdandan, tapi belum juga keluar kamar.
Aleandra jarang sekali berdandan. Dia juga lebih suka tampil dengan rambut di bentuk cepol/bun dibandingkan harus menggerainya. Apalagi memakai lipstick, rasanya Alea tidak pede, malah kelihatan kayak tante-tante. Tapi kali ini Alea membiarkan rambutnya tergerai, meski hanya mengenakan riasan minimalis dan tanpa memakai banyak aksesoris. Bibirnya yang memang sudah berwarna merah alami terlihat makin merah saat dia memoleskan sedikit lip tint di sana.
"Iya, Bun. Ini juga udah selesai, kok." Alea pun keluar dari kamar dengan senyum lebarnya yang manis. "Udah cantik belum, Bun?"

Ibunda Alea terkesiap melihat penampilan anaknya yang anggun dan cantik. Biasanya Lea tidak pernah berdandan, tapi bunda Alea yang meminta Lea sedikit memoles wajahnya yang memang sudah cantik dari lahir itu.
"Lea nggak bisa bikin alis, Bun. Ini kayak bentuk kampak nggak si?" tanya Lea sambil menyentuh alisnya yang sempat dia bentuk sedikit dengan pensil alis. Lea menutup mulutnya sambil terkirim geli.

Tania refleks tertawa mendengarnya. "Kamu nih, Lea. Nggak kok kamu cantik banget. Wah ternyata baju yang Bunda pilih juga pas banget untuk kamu."
Bundanya mencubit gemas pipi Alea, membuat Lea memutar bola mata. Selalu saja Bundanya itu memperlakukan dia seperti anak-anak.
"Hih, Bunda, nih. Memangnya biasanya Alea jelek? Anak bunda ini kan memang cantik sejak lahir, siapa dulu Bundanya," akunya bangga. "Terus jangan di cubitin gini, yang ada aku makin gembul nanti."
"Dasar kamu! Bisa banget deh. Ya udah sekarang kamu bantu bunda susun bunga ini ya, sedikit lagi mereka datang."
"Oke, Bun."
Alea mengikuti titah ibundanya. Ia segera menyelesaikan pekerjaan tersebut, dan tak lama kemudian suara klakson mobil pun terdengar.
"Ah, itu pasti mereka. Ayah, mereka udah datang, Yah." Ibundanya segera memanggil Ayah Alea.
"Iya, Bun. Sebentar, biar Ayah yang buka pintu," jawab Ayahnya.
Lea hanya diam, sambil berdiri di sisi Tania. Jujur Lea tidak tahu sepenting itukah tamu kali ini. Sampai-sampai kedua orang tuanya sangat sibuk seperti sekarang, padahal hanya menyambut tamu, biasanya tidak sampai begini, batin Lea.
"Selamat datang, Pak Stevano dan Bu Kanaya. Senang sekali karena Bapak dan Ibu mau datang ke rumah kami," ucap Harry dengan sangat sopan.
"Ah, Pak Harry terlalu berlebihan," balas Kanaya dengan senyum tipisnya.
"Taniana, kamu apa kabar?" Kanaya memberikan ciuman pipi pada Tania.
"Baik, Mbak. Mbak Kanaya cantik banget. Nggak ada yang ngira, kalau Mbak Kanaya udah punya anak yang dewasa."
"Kamu bisa aja, Tania."
Senyum keduanya saling mewarnai pertemuan saat itu. Sementara Alea hanya diam saja, ia juga tidak tahu harus berbuat apa.
"Oh iya, duduk dulu yuk." Tania mempersilahkan mereka duduk.
"Terima kasih," jawab Steve dan Kanaya.
"Wah, Pak Steve baru pulang dari Amerika dan langsung ke sini. Kita jadi nggak enak, seharusnya saya dan istri yang ke rumah Pak Steve ya."
"Kamu terlalu nggak enakan, Har. Nggak apa-apa, lagipula saya memang sengaja, ingin kemari mengajak Kanaya dan putra saya untuk berkenalan dengan keluarga kamu."
"Ah, kalau begitu syukurlah. Kapan-kapan saya dan keluarga yang ke rumah Pak Steve ya."
"Tentu, kamu harus datang nanti. Ajak si cantik ini, siapa namanya?" tanya Steve pada Aleandra yang sedang berdiri menunggu titah selanjutnya dari ayah dan bundanya.
"Ini Aleandra, Pak Steve. Dia putri saya satu-satunya. Lea ambilkan minuman ya."
"Iya, Yah." Alea mengangguk.
"Astaga, cantiknya. Ini putri kamu," ujar Naya saat melihat Aleandra, dia tidak segan memuji, maklum Naya tidak memiliki anak perempuan. Kedua anaknya laki-laki.
"Iya, ini Aleandra, anakku satu-satunya." Tania tersenyum sambil mengusap telapak tangan Alea.
"Lea, kenalan dulu sama Om dan Tante," pinta Taniana pada Alea.
"Iya, salam kenal, Om, Tante." Alea tersenyum dengan manis dan sopan.
"Ih, manis banget. Aku ingin banget punya anak perempuan, tapi Tuhan tidak mengizinkan. Anakku dua-duanya laki-laki," tutur Kanaya.
"Ah, kamu bisa saja, Mbak," balas Tania.
"Kemana anakmu, Mbak?" tambahnya.
"Oh, iya dia kayaknya agak telat. Mungkin sebentar lagi, karena dia pilih jalan sendiri nggak mau bareng," jawab Naya.
Tania dan Harry pun mengangguk.
"Alea cantik, kamu kelas berapa?" tanya Steve, pria yang masih bersahaja di usianya yang sudah tidak lagi muda itu.
"Kelas dua belas, Om." Alea menjawab dengan senyum yang terus mengembang. "Oh iya, Om mirip banget sama idolaku," Lea menyengir tanpa canggung.
"Idola?" Naya terkikik geli. "Idola apa, Sayang?"
"Iya, kamu bisa aja." Steve ikut tertawa.
"Lea, jangan mulai deh." Tania menggeleng.
"Enggak, beneran kok. Om Steve mirip Siwon Choi, ya ampun. Nggak ada yang nyangka Om Steve udah berumur, bahkan masih keliatan ganteng," ucap Aleandra polos. Sontak hal itu membuat semua yang ada di ruangan tersebut jadi pecah dengan tawa.
Terutama Kanaya, ia teramat senang dengan kepribadian Alea yang ceria. Ia sudah mengidam-idamkan anak perempuan. Kedua anaknya laki-laki. Anak kedua Kanaya berusia lebih tua empat tahun dari Aleandra.
Saat mereka sedang berbincang akrab. Suara ketukan pintu terdengar.
"Ah, itu pasti anakmu, ya, Mbak?" kata Tania.
"Iya, mungkin aja itu dia. Duh, dia terlambat banget. Maaf ya. Dia tuh sok sibuk." Naya menepuk-nepuk tangan suaminya. Kesal sendiri, karena putranya itu tidak mau berangkat bareng dengannya tadi.
"Iya maafkan anak saya ya. Dia itu ya begitulah. Agak susah kalau diajak pergi ke mana-mana."
"Nggak apa-apa, Mbak. Sebentar ya, saya lihat dulu yang datang siapa."
Tania segera membuka pintu dan ternyata benar saja. Seorang lelaki dewasa, tampan, berpenampilan menarik sedang berdiri di depan pintu.
"Selamat sore," sapa lelaki itu pada Tania.
"Sore. Ini?"
"Saya Jeje, Tante." Lelaki itu tersenyum ramah, pada Tania.
Alea membulatkan mata. Apakah dia tidak salah lihat, pria itu kan? Lea benar-benar tidak salah lihat, dia adalah guru pengganti di sekolah yang tadi mengajar pelajaran tambahan, kan?
"Pak Jeje? Sedang apa di rumah saya?" ucap Alea terkejut, dia segera berlari ke pintu untuk memastikan.
Lea membungkam mulutnya saking syok melihat benar adanya bahwa itu adalah gurunya, Jeremy.
"Beneran Pak Jeje?" Lea membulatkan mata di hadapan gurunya itu.
"Kamu? Ngapain di sini bocil?"
Jeje sama terkejutnya dengan Alea. Keduanya pun sama-sama membulatkan mata.
Alea benar-benar tidak mengira, bahwa anak dari teman orang tuanya adalah om-om itu. Orang yang selalu galak saat menatapnya. Ah, kenapa dunia sangat kejam? Batinnya merutuki nasib yang malang.
Lea masih terdiam, begitu juga dengan Jeje yang sama kagetnya dan memilih diam. Tak disangka perempuan yang akan dikenalkan oleh orang tuanya adalah Aleandra, muridnya di tempat ia mengajar.
"Masuk dulu, kalian kayaknya udah akrab ya?" Tania tersenyum meminta Jeje masuk menemui keluarganya yang sudah menunggu di ruang tamu.
Jeje tersenyum kikuk mengikuti Tania sambil sesekali menajamkan mata pada Alea yang sama canggungnya sekarang.
"Hei, Sayang. Sini duduk, kamu kenalin dulu ini Om Harry," kata Naya. "Kamu tuh ya, kan tadi mami udah bilang, datang sama mami dan daddy."
"Iya, Mam. Tadi ada urusan mendadak." Jeje masih melirik-lirik ke arah Alea. Dia sama sekali tidak mengira akan bertemu anak itu lagi.
"Om, salam kenal," sapa Jeje dengan sopan.
"Silahkan duduk, Nak." Harry pun mempersilahkan Jeje untuk duduk di sebelah Aleandra.
Naya melihat sekilas Aleandra yang terus memilin jari-jarinya sembari melirik Jeje dengan tatapan takut, atau malu barangkali? Pikirnya.
Sedangkan Jeje kini terlihat cuek sesekali menghela napas panjang. Situasi mereka seperti orang yang sedang bermusuhan.
"Kalian udah saling kenal?" tanya Kanaya melihat gerak-gerik Jeremy dan Lea.
"Je, kamu kenal Alea?"
Pertanyaan sama meluncur dari Steve juga.
"Dia murid Jeje, Dad," jawab Jeje kembali membuat Lea terkejut.
Dih, kenapa dia ngasih tau sih. Rungut Lea dalam hatinya.
"Murid? Astaga?" Ibunda Lea ikut terkejut begitu juga yang lain.
"Iya, Tante. Saya kebetulan menggantikan teman saya untuk ngajar satu hari di sekolah Pelita Bangsa." Jeje hanya menjawab seadanya. Tapi Alea terlihat tidak senang.
Astaga, kenapa harus ketemu om-om ini lagi, sih.
Dasar anak nakal, kenapa juga harus dia, untung saja yang mau dikenalkan itu Keano, bukan aku.
Keduanya saling membatin, sementara Naya dan Steve hanya tersenyum dan tidak menyangka kalau putranya mengajar di sekolah Aleandra.
Kenapa harus dia, kenapa, Tuhan. Aleandra menjerit dalam hatinya tak percaya pada keadaan.