AT HOME

2096 Kata
Plak. "Aduh!" Aku mengaduh keras ketika tamparan itu mendarat di p****t. Rasa sakitnya bukan main. Kelopak mataku sampai terbuka seketika walau kesadaranku belum sepenuhnya kembali. Aku berusaha bangun, duduk di kasur dan mengepalkan tanganku di udara, bersikap waspada tentang yang mungkin ditemui, manusia atau hantu. Walau sebenarnya aku belum pernah ketemu hantu dan tidak berharap bertemu. Wanita itu terlihat di lensa mataku begitu otakku sudah singkron. Aku nyengir menatapnya sementara wanita itu berkecak pinggang dengan wajah yang ditekuk. “Ngekos ngebuat Rangga jadi kebo huh? Sudah jam 9, Rangga. Bangun!" omel mama. Aku hanya melebarkan senyumanku. "Maaf," sahutku. "Tapi Ma, nggak ada kebo seganteng Rangga lho." Mama berdecak pelan. "Masih saja membela diri. Bangun! Mama sudah buatkan sarapan," suruh Mama. Aku mengangguk lalu bangun dari kasurku. Mama segera mengambil selimutku dan melipatnya. Aku yang melihat itu segera mengambil alih. Walau Mama sempat menolak dan memintaku mandi saja, aku tetap bersikukuh. Pada akhirnya Mama mengalah. Jadinya, aku yang membereskan tempat tidurku. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Sementara aku membenahi kasurku, Mama keluar dari kamarku. Sebelum keluar, mama tetap mengingatkanku untuk mandi dan segera turun untuk sarapan. Mama memang begitu, selalu memperlakukanku seperti anak kecil. Tapi, itulah indahnya bersama ibu. Bisa manja gratis tanpa embel-embel atas nama cinta, pacaran atau sejenisnya. Selesai berbenah, aku mendekati jendela kamarku. Aku membuka lebar jendela itu lalu memandang ke bawah dimana padatnya jalan raya sudah menungguku. Matahari memang sudah meninggi. Wajar saja mama mengomel. Padahal kalau di kosan, jam segini aku baru tidur kalau kebetulan sedang shift malam. Enaknya menjadi Radiografer adalah setelah dua kali shift malam, kami bisa mendapatkan libur dua hari. Ini dikarenakan shift malam yang bertugas hanya satu orang dan masa dinasnya lebih panjang daripada yang shift pagi atau sore. Ditambah jika shift pagi atau sore, ada dua atau tiga radiografer yang bertugas. Jika sedang ramai, maka Karu ( kepala ruangan ) kami ikut membantu. Saat ini, kepala ruangan di rumah sakit kami adalah Dila. "Rangga!!" teriak mama memanggilku lagi. "Mandi!!!" lanjutnya. "Ya, Ma," sahutku setengah berteriak pula. Aku tersenyum senang. Karena kini, aku bukan di kota orang. Aku sedang di rumah, Yogyakarta. Ingin rasanya menyanyikan lagu Ungu yang bercerita tentang Yogyakarta. Sayangnya, aku sudah keburu disuruh mandi. Lagian, aku tidak punya doi. Jadi, tidak bisa bernostalgia. Aku pun bergegas mandi dan turun menemui Mama setelah mandi dan berpakaian rapi. "Wah, gantengnya anak Mama," puji Mama saat melihatku datang dan duduk di meja makan. "Sudah dari dulu kan?" celetuk Papa yang langsung diangguki Mama. "Iya, sama kayak Papa. Selalu ganteng," puji Mama. Papa terkekeh pelan. "Sejak dulu, kamu selalu begitu, selalu memujiku ganteng saja. Apa kamu menikahiku hanya karena wajah gantengku saja?" goda Papa. Mama mengangguk mengiyakan. "Ya, karena Papa ganteng makanya Mama nikahi," jawab Mama menegaskan. "Hanya itu?" tanya Papa sedikit tidak percaya. "Ya, hanya itu. Memangnya salah memilih pasangan dari gantengnya saja?" tanya Mama dengan polos. Papa terdiam, tidak tahu harus menjawab apa di pertanyaan krusial semacam itu. Pada akhirnya Papa hanya berdehem, mungkin enggan berdebat. Lagipula berdebat dengan Mama, baik Papa ataupun aku tidak pernah menang. Hukum Gravitasi wanita : apapun alasannya, lelaki selalu salah. "Rangga, kalau kamu cari calon, jangan dari cantiknya saja," nasehat Papa, mengalihkan topik pembicaran dari Mama kepadaku. Aku hanya mengangguk sambil mulai mengambil piring. Mama mengambilkan aku secentong nasi. "Memang apa salahnya memilih wanita dari cantiknya?" tanya Mama ikut bergabung di pembicaraan yang baru saja papa buka. "Karena yang cantik, belum tentu sehat," jawab Papa memberikan alasan. "Apa maksudnya?" tanya Mama lagi. "Nih ya," kata Papa bersiap memulai ceritanya. "Dulu pas papa masih baru beberapa tahun jadi Radiografer, ada radiografer baru yang masuk. Perempuan, cantik sekali," kata papa antusias. "Secantik member girls grup Korea Pa?" tanyaku. Papa mengernyitkan kening. "SNSD?" tanya Papa. Aku mengangguk. "Ya, kira-kira sebening itu," nilai Papa. "Walau hidungnya Indonesia, mundur." imbuh papa yang langsung buat Mama batuk-batuk. "Aih, Papa ini," protes Mama baru ngeh Papa membahas soal wanita. "Dulu, Ma. Sebelum Papa kenal Mama," kata papa memberikan pembelaan sebelum Mama salah paham. "Oh," kata Mama mengerti. "Lanjut!" "Nah, dia kan jadi primadona. Ternyata diam-diam, dia berpacaran dengan rekan radiografer kami," kata Papa melanjutkan. "Tapi mereka tidak mau mengakui, takut dibully maybe. Sampai suatu hari, meski kami ini tukang rontgen, ternyata perempuan itu sakit dan divonis menderita kanker mammae ( p******a )," Mama dan aku terdiam. "Kasihan," komentar Mama kemudian. "Trus hubungan mereka gimana, Pa?" "Mereka masih berhubungan, Ma. Bahkan meski si perempuan hanya bisa terbaring lemah dan tidak berdaya," jawab Papa. "Oh My God, true love!," kata Mama setengah berteriak, baper. "Endingnya gimana, Pa? Si perempuan sembuh trus mereka menikah?" tanya Mama dengan antusias. Papa menggeleng pelan. "Nggak," jawab papa. "Si perempuan meninggal dunia lalu si lelaki menikah dengan adik dari perempuan itu," "Pfftt." Tawaku pecah membuat Mama langsung menoleh ke arahku dengan tidak suka. "Twist ending," komentarku di sela-sela tawaku. "Senang, Ga?" tanya Mama dengan pandangan yang menusuk. Aku hanya melipat bibirku ke dalam, berusaha agar bisa berhenti tertawa. "Papa ini, cerita itu yang romantis dong. Malah tragedi," omel Mama. "Tragedi apanya, Ma?" tanya Papa bingung. "Kalau Papa cerita begitu, Rangga kapan nikahnya? Nanti dia semakin tidak tahu artinya cinta, Pa," jawab Mama mengomel. "Aih, Rangga belum tahu artinya cinta, Ga?" tanya Papa padaku. Aku hanya senyum. "Apa itu penting, Pa?" tanyaku balik. Papa mengangguk. "Pentinglah. Dengan cinta, Rangga bisa lebih bahagia," jawab Papa. "Jadi, cinta itu apa?" tanyaku. Papa diam lalu menoleh pada Mama. "Cinta itu apa, Ma?" tanya Papa melemparkan pertanyaan ke Mama. "Aih, papa ih," rajuk Mama. "Cinta itu perasaan yang hangat, mendebarkan dan membuat kita bahagia bahkan hanya dengan melihat orang yang kita cintai," jelas Mama. "Udah paham, Ga?" tanya Papa. Aku mengangkat kedua bahuku. "Dikit," jawabku. "Makanya, jatuh cinta, dong!" sergah Mama. "Kenapa?" tanyaku. "Ya biar nikah," jawab Mama. "Memang nikah harus dengan orang yang dicintai?" tanyaku yang langsung membuat Mama melotot. "Memangnya Rangga mau menikah dengan seseorang yang tidak Rangga cintai?" tanya Mama dengan nada yang sedikit cemas dan tidak percaya. "Jika mencintai seseorang diperlukan hanya untuk menikahinya, maka Rangga hanya perlu menikahinya untuk mencintainya," jawabku. "Heh?" "Teori asosiatif, mau dikerjakan yang di awal atau akhir dulu, hasilnya tetap sama," jawabku. Aku menghela napas panjang melihat Papa dan Mama yang masih diam, sepertinya belum paham dengan apa yang kukatakan barusan. "Maksud Rangga, mau jatuh cinta dulu baru menikah atau menikah dulu baru jatuh cinta, hasilnya tetap sama. Sama-sama jatuh cinta dan menikah," jelasku lebih lanjut. "Wah, bisa begitu?" tanya Mama takjub. "Ya, menikah untuk saling mencintai lagi trend saat ini makanya media ta'aruf online lagi booming sekarang!" jelasku. "Rangga ikutan?" tanya papa. Aku menggeleng. "Tidak, Pa," jawabku. "Kok tahu?" "Bang Kamil daftar," jawabku. "Jadi Rangga tahu dikit.” "Wah, udah dapat dia?" tanya Mama. Aku menggeleng pelan. "Belum," jawabku. "Kok bisa?" tanya Mama penasaran. "Karena bagi bang Kamil mengambil pena petugas labor ( laboratorium ) lebih mudah daripada mengambil hati wanita di media online," jawabku yang langsung membuat Papa terbahak. "Haha, bener tuh! Bagi petugas rumah sakit, terutama anak labor atau radiografer pena lebih berharga daripada handphone," kata Papa setuju. "Kok gitu, Pa?" tanya Mama tidak mengerti. "Handphone ditinggal semalaman tidak akan ada yang ngambil, masih stay ditempatnya. Kalau pena, diletakkan di atas meja sekejap, lenyap," jawab Papa lalu ketawa. Aku tersenyum kecil mendengar penuturan Papa. "Bener Ga?" tanya Mama sedikit tidak percaya. Aku mengangguk mengiyakan. "Iya, Ma." "Emang radiografer butuh pena buat apa?" tanya Mama. "Untuk isi blanko pasien, pemakaian kv dan radiasi yang dipakai untuk pasien dan lain-lain," jelasku. "Pena Rangga juga suka ilang, dong?" tanya Mama. Aku mengangguk. "Ya, tapi tidak apa-apa, Ma," jawabku santai. "Kenapa?" tanya mama. "Karena kalau pena hilang, tersangkanya hanya satu bang Kamil. Kalau tidak dipegang dia, pasti dia bagi ke Ima, admin radiologi kami," jelasku. "Wah, ngambilnya gimana? Pinjem? Atau karena ada di meja jadi nggak tahu kalau ada yang punya penanya?" tanya Mama lagi. Aku tertawa geli melihat antusiasnya mama mendengar ceritaku dan papa. "Tidak, Ma. Bang Kamil itu sudah master, Ma. Pena di saku kami bisa berpindah ke tangannya dia dalam sekejap, entah bagaimana caranya. Mantan pesulap mungkin," kataku setengah bergurau. "Haha, Ba ( gila )! Keren," puji Mama lalu terbahak. Aku pun ikut tertawa melihat Mama tertawa. "Jadi melebar kemana-mana pembahasannya," kata Papa. "Di rumah sakitmu, tidak ada petugas yang menarik hatimu Ga?" tanya Papa. Aku menggeleng. "Belum ada, Pa.” "Rekan satu unitmu?" tanya Mama. "Taken semua," jawabku. "Para susternya?" tanya Mama lagi. "Lebih suka membidik dokter, kalaupun kepincut radiografer, mereka lebih suka jadi FOI, Ma," jawabku. "FOI? Apa tuh?" tanya mama bingung. "Fans Ocu Ilham," jawabku yang langsung membuat papa tertawa terpingkal-pingkal. "Radiografer saja ada fansnya ya, Ga? Kamu tidak punya?" tanya Papa setelah tawanya reda. Aku menggeleng pelan. "Tidak ada, Pa," jawabku. "Ocu ( abang ) Ilham memang dijuluki pangeran unit! Di setiap lantai, ada saja suster yang ngefans dan klepek-klepek," jawabku. "Ganteng banget, dong?" tanya Mama. "Nah itu," kataku. "Gantengan Rangga sebenarnya." "Lah, trus kok kamu tidak ada yang ngefans?" "Pesona memikatnya ocu Ilham paling the best," curhatku. Mama tergelak pelan. "Aih, udah ah! Ayo makan!" suruh Mama. Aku dan Papa mengangguk setuju. Setelah itu kami bertiga diam, fokus untuk mengisi perut. Selesai makan, aku membantu mama mencuci piring. Setelah itu, aku ke teras rumahku untuk sekadar melihat lingkungan rumahku yang sudah cukup lama tidak aku lihat. Aku duduk di sofa yang berada di beranda. Ditemani pemandangan dari tanaman hijau dan bunga dalam pot yang mama tanam di pekarangan rumah, aku menikmati pagi ini dengan penuh syukur. Kemarin aku masih di Pekan Baru dan kini aku sudah berada di Yogyakarta.      Tidak ada yang patut disyukuri lagi selain masih diberkahi hidup sampai detik ini. Walau kadang beberapa orang lebih memilih menghentikan waktunya hanya demi cinta yang pergi. Padahal, cinta yang pergi bisa diganti. Sedangkan nyawa, sekali pergi, tidak akan bisa diganti. Kita manusia, bukan kucing yang dinilai memiliki sembilan nyawa. "Rangga!" Aku terhenyak dari lamunanku lalu memicingkan mata untuk bisa fokus pada seseorang yang ada di depan rumahku. "Ah, Fitri," gumamku saat otakku sudah berhasil mengingat tentang seorang wanita yang sedang melambaikan tangan dari balik pagar depan rumahku. "Kapan datang kesini?" tanyanya. "Kemarin," jawabku. "Kok datang? Mau nikah ya?" godanya. "Nggak, kok," bantahku. "Kamu?" "Belum juga," jawabnya. "Tahun depan mungkin." "Ah, sudah ada calon?" tebakku. Fitri tersenyum kecil. "Doakan aja," sahutnya. "Nggak mau main ke rumah, Ga?" "Masih capek, ingin di rumah saja," jawabku. "Kapan balik?" tanya Fitri lagi. "Besok," jawabku. "Wah, kilat banget, Ga," katanya. "Haha, iya, cuma libur dua hari," sahutku. "Nggak capek bolak-balik?" tanya Fitri lagi. "Demi keluarga nggak," jawabku. "Aish, demi keluarga mulu, demi doi kapan?" goda Fitri sambil cekikikan. "Sampai kamu nikah dan punya anak dua," jawabku yang langsung membuat tawa Fitri mengudara. "Jangan kelamaan lajang, Ga. Nanti kamu kadaluarsa," ledek Fitri. "Aku manusia, Fitri bukan makanan kalengan," sanggahku yang membuat Fitri lagi-lagi tertawa. Dia memang perempuan yang seperti itu. Suka sekali tertawa, bahkan untuk hal-hal yang sebenarnya tidak lucu. Namun, ada baiknya dia begitu. Hidupnya jadi lebih ceria walau aku tidak tahu apa yang dia rasakan di belakangku. "Yaudah, deh. Aku duluan ya," pamitnya. "Oke, mau kemana?" tanyaku. "Ke warung depan, disuruh Mama beli kecap," jawabnya. "Masih bantuin aja, Fit? Belum bisa masak?" ledekku. Fitri nyengir.   "Daripada masak trus nggak dimakan, lebih baik nolongin lihat aja dulu," katanya lalu melambaikan tangan. "Pergi dulu ya, kalau kelamaan mama ngomel," pamitnya lalu berjalan menjauh. Aku hanya mengangguk lalu menyandarkan punggungku ke sofa lagi. Barusan sempat kuangkat agar tegak untuk menghargai Fitri yang mengajakku bicara. Perempuan barusan adalah Fitri, teman SDku. Wajahnya cantik, sifatnya baik dan suka makanan sehat. Hanya saja, dia sakit. Awalnya, dia didiagnosa tumor mamae. Sudah bersiap di operasi tetapi gagal. Karena saat hasil rontgen thoraks ( d**a ) yang diperlukan untuk persiapan operasi agar bisa melihat kondisi jantung dan paru-parunya, ditemukan adanya efusi pleura*. Akhirnya operasinya dibatalkan. Sayang sekali, cantik-cantik efusi. Karenanya, bagiku cantik bukan hanya soal fisik. Namun soal tubuh dan jiwa sehat. Kita memang tidak pernah tahu batas hidup seseorang tetapi bagiku, dengan sehat, aku berharap pasanganku kelak akan hidup lebih lama. Bahkan jika boleh berdoa, aku berharap meninggal lebih dulu dibandingkan dia. Dengan begitu, tidak akan ada hari dimana aku hidup tanpa dirinya. Egois? Memang. Aku akui itu. Karena disadari atau tidak, keinginan manusia selalu seegois itu. Buat dirimu, Cinta, yang belum kutemui sampai hari ini. Jika tiba saatnya aku menemukanmu, maka aku hanya berharap satu hal : semoga saat kamu menemukanku, aku akan menjadi satu-satunya lelaki yang tidak akan pernah membuatmu bertanya seberapa buruknya dirimu hingga mendapatkan jodoh sepertiku. Aamiin.   Note : *Efusi Pleura : kondisi dimana adanya penumpukan cairan di antara dua lapisan pluera ( membran yang memisahkan paru-paru dengan dinding bagian dalam ).
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN