7. Tragedi Kesekian Kali

2017 Kata
Sejak hari di mana Aris meninggalkan Wira seorang diri di ruangannya, mereka tak pernah bertemu lagi setelah itu. Terhitung sudah satu minggu berlalu dan Wira pening sendiri memikirkan ketidakmungkinan yang selalu dikatakan orang-orang. Karena hari ini bukan jadwal praktik Dokter Jonson, Wira memilih berdiam diri di apartemen, layaknya semedi padahal yoga, untuk membantu menyegarkan pikirannya. Siapa bilang kalau hanya perempuan yang boleh melakukan yoga? Pria juga bisa, buktinya Wira melakukannya. Tujuannya untuk menenangkan pikiran hingga tidurnya yang berantakan jadi berkualitas. Ya memang itu yang Wira rasakan setelah melakukannya dengan niat serius tentunya.  Jujur saja, dia lelah tidur selalu terbayang-bayang yang tidak-tidak. Apalagi semalam, dia mimpi bertemu Melati dan melakukan sesuatu pada perempuan itu. Meski hanya mimpi, Wira yang belakangan ini suka over thingking jadi tambah kepikiran. Dan berakhir lah pria itu makin frustasi sendiri. Agaknya Wira butuh obat penenang untuk membuatnya lebih baik. Tapi itu semua tidak baik dan hanya akan mebuatnya kecanduan.  Masalah dengan Aris dan Sabrina saja belum selesai. Sekarang malah ketambahan Melati yang tahu-tahu datang ke mimpinya. Ditambah, mimpi yang ia alami seperti nyata pula. Hhh, Wira sampai ngeri sendiri berhubungan dengan Melati. Namun Wira berusaha untuk menghilangkan bayang-bayang Melati ini.  Belum juga pikirannya tenang, suara deringan handphone mau tak mau membuat Wira mendesah lelah dan berakhir bangkit dari posisi bersilanya, mengambil handphone yang tergeletak di meja ruang tamu. Keningnya berkerut dalam saat melihat pesan dari melati. Masalahnya, perempuan itu mengiriminya pesan pulsa, bukan menggunakan w******p atau aplikasi perpesanan lainnya. Hello, ini sudah tahun 2021, masak masih pakai pesan-pesanan segala. Meski masih ada yang melakukan perpesanan seperti itu, Wira merasa aneh saja. Dia bahkan berpikir kalau Melati ini tidak memiliki smartphone. 08*** : 'Mas jangan hina saya, ya? Saya belum gajian tahu! Kalau sudah, nanti saya beli handphone baru, biar Mas nggak hina saya perempuan primitif!' Tanpa sadar, senyum miring terbit di bibir Wira. Rasanya lucu saja. Namun, Wira memang sedang tidak ingin diganggu. Alhasil, dia senyapkan ponselnya dan kembali melanjutkan yoga. Semalam, dia tidak bisa tertidur sama sekali. Karena itu, dia ingin tidur pagi ini saja. Kepalanya agak berat meski Wira mampu menahannya. Tapi tetap saja, dia harus istirahat. Tubuhnya harus diistirahatkan. Kalau terus-terusan memaksa, mungkin dia akan tumbang dengan sendirinya. Kalau ada Sabrina di sampingnya tak apa. Tapi sekarang, wanita itu lebih memilih dengan pria lain yang mungkin saja—jauh lebih segala-galanya dari Wira. Menyedihkan bukan? Hingga detik yang terlewatkan Wira tak kunjung tertidur juga, otaknya malah berkelana tak tentu arah. Dia masak berpikir kalau Melati adalah perempuan yang dikirimkan oleh Tuhan untuk menemaninya di saat-saat sulit seperti ini? What the hell? Lama-lama Wira gila sendiri kalau begini terus-menerus.  "Astaga, mikir apa kamu, Wir?!" Wira bermonolog sendiri sambil geleng-geleng. Dia harus menemui Dokter Jonson segera. Sepertinya, otaknya memang sedang bermasalah. Karena sadar yoga tak mampu menenangkan pikirannya, Wira memutuskan duduk santai di sofa sambal memainkan handphone. Betapa terkejutnya dirinya itu ketika belum membuka kunci, tahu-tahu ada pemberitahuan pesan di layar pop up dari Melati lagi. 08*** : 'Mas lagi mikirin saya, kan? Kangen, ya, nggak punya teman? Makanya jangan jual mahal sama saya. Jadi kepikiran, kan?' Wira memang belum menyimpan nomor Melati. Lagi pula, tidak penting juga, kan? Dia tentu tahu itu Melati karena hanya dia yang centil kepadanya seperti ini. Kalau saja Sabrina yang begitu, Wira tidak akan ambil pusing, toh selama ini Sabrina adalah wanita terkalem yang pernah Wira kenal. Tapi kalau Melati, beda server beda cerita. Asal-usulnya saja tidak jelas, tahu-tahu datang di depan wajahnya begitu saja layaknya dedemit. Kalau ditanya masalah cantik, semua perempuan itu cantik. Yang membedakan hanya perangainya. Kalau Sabrina, jelas sekali perempuan itu berbudi pekerti luhur. Anaknya sopan juga, tidak neko-neko. Lah kalau Melati-Melati ini, sudah centil, sok tahu pula meski yang dibicarakan memang benar adanya. Daripada kepalanya keluar asap saking kesalnya direcoki pesan tak penting semacam itu, tanpa pikir panjang, Wira memblokir nomor tersebut. Peduli setan, Wira bahkan tidak mengenalnya meski Melati sudah mengenalkan diri sekalipun. Baginya tak ada yang lebih penting sekarang selain mencintai dirinya sendiri. Ya, Wira harus mencintai dirinya terlebih dahulu sebelum mencintai orang lain.  *** Kata lagu yang pernah Wira dengar, kurang lebih liriknya seperti ini. 'Lebih baik sakit gigi, daripada sakit hati ini...' Tapi menurut Wira, tidak ada yang bisa dia pilih sekarang. Sudah hatinya sakit, giginya sakit pula karena lupa tidak gosok gigi setelah menyiksa diri sendiri dengan menghabiskan dua batang coklat. Sebenarnya, Wira tidak perlu melakukan semua itu. Namun ya bagaimana, sudah terlanjur. Dia bahkan sampai izin tidak pergi ke kantor karena pipinya bengkak sebelah. Kalau sudah seperti ini, rasanya Wira ingin mengumpati semua orang. Tapi apalah daya kalau ini adalah kesalahan pria itu sendiri.  Dia sendirian di apartemen, tidak ada yang menemani, malas pula beli obat anti nyeri. Kalau saja ada Sabrina, pasti perempuan itu sudah heboh dan membelikan ini itu agar sakit yang diderita Wira segera pergi. Duh, Sabrina lagi! Kapan move on nya, Wir... Wir... Alih-alih turun dari ranjang pergi ke apotek untuk beli obat, Wira malah meringkuk dengan pikiran jauh berkelana. Dia tidak menyangka akan ditinggalkan seorang diri seperti ini. Padahal, Wira tidak pernah mencari musuh selama hidup tiga puluh tahun lebih di dunia ini. Kalau dia salah, dia tak segan minta maaf. Tapi kenapa dia ditinggalkan seperti ini di saat dirinya saja sudah jatuh terpuruk. Sungguh menyedihkan sekali.  Kalau seperti ini, Wira jadi sad boy betulan. Dia tidak betah berdiam diri dan membiarkan otaknya berpikir tidak-tidak lagi. Sudah cukup. Wira bangkit, mengenakan kaosnya, dan pergi untuk mencari obat. Kalau tidak dirinya sendiri yang peduli pada dirinya sendiri, lalu siapa lagi? Dia tidak mungkin menunggu orang membantunya jika memang tidak ada orang yang berniat untuk membantu dirinya.  Wira harus sadar diri. Dia tidak bisa bergantung pada orang lain. Harusnya sedari awal dia sadar, tidak ada tempat bergantung paling benar kecuali hanya kepada-Nya. Bergantung pada makhluk-Nya hanya akan berakhir terluka seperti ini. Pria itu kira, dia akan berakhir menikah dengan Sabrina. Tapi nyatanya, kenyataan tetaplah kenyataan, dan khayalan hanyalah keyalan. Lalu kenangan di antara mereka akan selamanya menjadi kenangan yang menyakitkan. Sabrina meninggalkannya dan memilih bersama pria lain yang tak lain dan tak bukan adalah sahabat Wira sendiri, itulah kenyataannya.  Lama berjalan lesu, akhirnya Wira berhenti juga di sebuah apotek yang tidak terlalu ramai. Orang seperti Wira mah terbiasa membeli obat terlebih dulu, baru periksa kemudian kalau rasa sakit yang menderanya semakin parah. "Mbak, beli pil buat sakit gigi." "Yang racikan atau—" "Yang sebutir sepuluh ribu, Mbak. Dua." Pelayan apotek itu mengangguk mengerti dan masuk lebih dalam untuk mengambilkan pil yang Wira inginkan. Sambil menunggu, Wira melihat-lihat obat yang tertata rapi di depannya. Sepertinya menyenangkan bisa bermain dengan obat-obatan dan tahu banyak kode tentang obat yang diperlukan bagi keluhan ini, keluhan itu. Seandainya saja sakit hati ada obatnya, sudah pasti Wira beli pilnya satu truk. Kalau perlu, dengan pabriknya sekalian, biar totalitas, biar hatinya tidak sakit lagi. Sekalian juga kalau ada vaksin sakit hati, Wira mau disuntik juga. Biar kebal! Ngomong-ngomong, Wira sudah jadi seperti orang kurang waras, kah? Kalau belum, mungkin sebentar lagi. Usai pelayan datang dan Wira membayar, tanpa buang waktu, Wira kembali menuju unitnya. Namun di tengah jalan, dia tidak sengaja menabrak ibuk-ibuk sampai barang bawaannya jatuh berserakan. Wira tidak tinggal diam begitu saja, dia ikut jongkok, memunguti barang-barang ibu tersebut. Nahasnya, dia malah didorong begitu kejam hingga tubuhnya terhempas ke mester yang dingin, tambah sakitlah pipinya karena getaran tersebut sampai membuat giginya seperti terhantam sesuatu yang keras.  "Jangan pegang-pegang barang belanjaan saya. Kamu penyakitan, nanti saya sekeluarga ketularan!" Wira tercengang mendengar penuturan ibu-ibu ini. Dia menatap tubuhnya sendiri, tubuhnya bersih, tak ada luka semacam koreng, cacar, herpes, atau apapun itu. Bagaimana ibu-ibu itu berbicara demikian? Sedang berhalusinasi kah ibu di hadapannya sekarang? "Buk maaf, sa—" "Sudah dibilang jangan dekat-dekat ya jangan dekat-dekat!" ibu itu membentak dan Wira mundur menjauh. Agaknya dia terkejut karena bentakannya. Padahal, sedari Wira sudah berbaik hati ingin membantu. Jujur, Wira sedikit agak malu. Itu di depan umum dan semua orang yang kebetulan lewat juga sedang menatapnya penuh penilaian. Hingga, Wira yang sedari dulu paling anti mendengarkan perkataan julid seseorang, merasa tersudut. Semua orang seperti sedang mempermalukannya. Semua orang seperti sedang menghakiminya. Dan dirinya hanya sendirian di sana.  "Dasar tidak tahu diri! Kalau sakit menular ya mengurung diri di rumah saja! Bodoh! Malah pergi keluar! Mau nularin ke orang-orang?!" ibu itu belum berhenti untuk menghujat Wira, merasa dirinya paling benar sendiri.  Detik itu juga, Wira menjadi orang yang sangat jauh berbeda. Dia tak segan mendekat dan menjambak rambut ibu-ibu yang menghinanya sedari tadi. Kupingnya gatal, batinnya panas mendengar omong kosong sedari tadi. "Ibuk itu perempuan kok cerewet banget, ya? Mau saya potong mulut, ibuk, hm? Biar tidak bisa berbicara lagi?" Tak ada sepersekian detik, Wira kembali berubah menjadi orang yang berbeda lagi. Dia bukan lagi Wira yang penyabar.  "Aduh! Tolong! Jangan dekati saya!" ibu itu berupaya untuk melepaskan diri dari Wira. Sayangnya, tangan pria itu terlalu kuat menjambak rambutnya. Kalau tetap dipaksakan untuk dilepaskan. Ibu itu yakin kalau kulit kepalanya akan ikut terjambak dan rambutnya langsung gundul seketika saking pedihnya jambakan Wira.  Semua orang langsung ramai berkerubung. Yang sama ibu-ibu tidak berani mendekat. Mereka malah mundur menjauh, ketakutan. Sedang para bapak-bapak yang kebetulan lewat berusaha membantu ibu itu terlepas dari jambakan Wira. Kebetulannya lagi, mungkin dunia memang sesempit itu. Dari banyaknya restoran makan siang, kenapa pula Sabrina dan Aris harus makan di resto dekat unit Wira pula? Kedua orang itu lantas berlari saat mendapati Wira lah pelaku kejahatan tersebut. Di saat Aris berjuang bersama bapak-bapak yang lain menghentikan tindakan anarki Wira, Sabrina merasakan seluruh pasokan oksigen dalam tubuhnya direnggut paksa. Tapi dia tidak menyerah. Langkanya yang lunglai dia paksakan untuk menghampiri Wira. Dan saat menyentuh tangan kekar pria itu, Wira sedikit banyak tersadar. Tatapannya terkunci pada sosok Sabrina yang terlihat begitu kelelahan. "Lepasin, ya, Mas? Kasihan ibunya." Bak kucing yang menurut dengan tuannya, tiba-tiba Wira melepaskan jambakan kasar itu pelan-pelan dengan tatapan mata masih tertuju penuh pada Sabrina. Dan bersamaan dengan terlepas cekalannya, Wira menatap semua orang bingung. Dia terkejut tahu-tahu ramai orang berkerubung. Perasaan, tadi dia sedang membantu memunguti barang ibu-ibu yang jatuh berserakan. Belum sempat rasa penasarannya terjawab, orang-orang mulai berteriak panik saat ibu yang Wira jambak tadi pingsan dan Wira jadi dimarahi oleh orang-orang di sana. "Mas harus tanggung jawab! Mas sudah melakukan tindak kekerasan pada seorang wanita!" Wira malah planga-plongo layaknya orang yang kebingungan. "Saya nggak ngapa-ngapain!" katanya yakin. Aris dan Sabrina hanya bisa menatap lelah Wira. Mana lagi pipi pria itu besar sebelah. Belum juga minum obat, masak dia harus disakiti lagi dengan sesuatu yang Wira rasa, dia benar-benar tidak melakukannya. Karena itu pula Sabrina bersi keras ingin ikut kemana Wira dibawa pergi. Dan berakhir lah juga Aris menemani Sabrina pergi. Dia mana tega meninggalkan Sabrina sendirian.  Selama perjalanan yang ditempuh dengan berjalan kaki itu, Sabrina berkali-kali berhenti dalam langkahnya. Kakinya seperti dibebani bola besi seberat 100 ton, rasanya besar sekali. Hingga ingin menjangkah satu langkah saja, sakit dan beratnya bukan main.  "Sab? Sab, hai! You okay?" tanya Aris panik saat menyadari Sabrina hampir limbung kalau lengannya tidak ia pegangi. "Kamu pusing?" "Kakiku lemes banget, Bang. Kayak ada beban yang berat banget." Aris masih setia memegangi Sabrina dengan kepala tertunduk untuk melihat kaki perempuan itu"Yang sebelah mana?" "Kanan. Sebelah kanan." Pria itu mengembuskan napas berat begitu tahu penyebab Sabrina sampai dibuat kesulitan berjalan seperti ini. "Aku antar pulang, ya? Kakimu--" Belum juga selesai dengan perkataannya, Sabrina lebih dulu meggeleng. Dia seolah bisa menebak Aris ingin mengatakan apa. Tentu saja pria itu ingin membawanya pergi dari sana. Sedangkan Sabrina sendiri ingin melihat keadaan Wira. "Aku cuma mau lihat Wira sebentar, Mas." Pada akhirnya, Aris tidak bisa mendebat dan memilih menemani Sabrina saja. Daripada perempuan itu kenapa-napa tanpa pengawasannya, lebih baik dia menemani Sabrina sampai mengantar perempuan itu pulang.  "Yaudah aku temanin, tapi habis ini langsung pulang." Sabrina langsung tersenyum mengiyakan daripada pria itu ribut sendiri. Bisa panjang urusannya kalau Aris tidak dituruti. Pria itu sebelas duabelas kalau ngambek seperti Wira, harus dibujuk dulu kayknya anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya. "Iya-iya, cuma sebentar. Habis Mas Wira pulang, kita juga pulang." Meski agak dipaksakan, Aris tetap berjalan ogah-ogahan mengikuti Sabrina yang jalannya tertatih-tatih seperti orang pincang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN