Sakit gigi oh sakit gigi! Gara-gara kejadian menyebalkan yang menimpa di waktu jam makan siang tadi, Wira malah berakhir sakit-sakitan seorang diri karena obatnya kemungkinan jatuh saat perdebatan yang sama sekali tak dipahaminya tadi.
Sekarang ini, dia sedang rebahan di ranjang , memegangi pipinya nyerinya hingga sampai kr kepala-kepala. Dia malas sekadar turun untuk beli obat lagi. Bukan karena takut dijegal tengah jalan atau apa, Wira hanya malas bertemu orang. Mungkin, dia sudah terlanjur lelah dan patah hati engkau semua orang yang kerap kali menunjuk-nunjuk yg tepat di depan wajahnya.
Terkadang, kalau orang salah, sulit baginya untuk mengatakan kata maaf. Ya tentu saja sadar dan tahu kalau sudah membuat kesalahan. Hanya saja, berat sekali mengungkapkan kata maaf di saat diri sendiri yang bersalah penuh.
Sebagai orang rasional, Wira antara menyesal dan tidak menyesal. Dia hanya duduk dan rebahan seharian ini dengan menatap jam beker di atas nakas jengkel. Kesal itu masih hinggap di benaknya. Ditambah nyeri yang seolah merasuk di setiap susunan syaraf tubuhnya membuat Wira ingin marah tapi tidak tahu ingin marah pada siapa kecuali pada dirinya sendiri. Ingin menangis juga, dia sudah besar. Malu lah sama anak kecil meski tidak ada yang melihat sekalipun.
Kebanyakan memang seperti itu. Pria memang memiliki pride yang tinggi. Sampai-sampai, menangis pun dipermasalahkan. Padahal, tidak ada salahnya kalau pria menangis. Pun tak ada hukum tertulis maupun tidak tertulis yang melarang pria untuk menangis. Maka, saat sudah sakit, bak ditimpa tangga, sudah itu bak dilempar kotoran ke wajahnya, Wira menangis sambil mendekap pipinya yang semakin lama semakin nyeri.
Rasanya, bukan karena sakit giginya yang mendominasi, tapi sesak di dadanya yang membuatnya ingin langsung jatuh pingsan saja. Dia sendirian sekarang, dikucilkan orang-orang. Bahkan, dulu orang-orang yang selalu ada di belakangnya sebagai support system untuknya, sekarang malah pergi perlahan-lahan.
Jujur saja, Wira tidak pernah membayangkan ini sebelumnya. Dia mana tahu kalau takdirnya akan ditinggilkan sendirian oleh orang-orang yang dekat dengannya.
Pertama, dia sudah kehilangan orang tua sedari kecil.
Kedua, Sabrina meninggalkannya.
Ketiga, Sahabat satu-satunya pun, Aris, turut meninggalkannya juga.
Sebenarnya bukan hanya Wira yang akan sedih jika ditinggalkan oleh orang yang selama ini dekat dengannya ataupun yang selalu ada untuknya. Hanya saja, mungkin dia sudah sangat lelah hingga menangis sampai matanya memerah seperti ini.
Sialnya lagi, Wira harus menerima kenyataan kalau dunia mungkin sedang tidak memihak keberadaannya. Dia bingung saat suara bell terus menggema sedari tadi. Karena tidak mungkin dibiarkan terus menerus, Wira terpaksa bangkit setelah melihat pantulan wajahnya yang berantakan sendiri di cermin.
Sambil jalan ogah-ogahan, Wira sesekali memegangi giginya yang masih sakit saja. Hingga begitu sampai pintu, Wira langsung membukanya, tak melirik ke arah intercome terlebih dahulu.
"Mas Wira--"
Perkataan perempuan itu berakhir mengambang di udara saat melihat Wira mundur karena terkejut.
"Hai, Mas. Giginya masih sakit?"
Wira berkedip sekali, belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi padanya sekarang. Apakah dia sudah gila atau dia memang sudah gila betulan? Entah, Wira tidak paham, tidak tahu dan tidak mengerti sama sekali.
"Mas? Ada yang--"
"Kamu--kamu kenapa bisa tahu alamat saya di sini?! Dan--" Wira kembali maju, "kenapa kamu ke sini?"
"Chat saya tidak Mas baca, makanya langsung saya susul ke sini. Tadi saya lihat Mas beli pil sakit gigi juga, ini saya bawakan juga, siapa tahu dengan yang tadi kurang cocok."
Bukannya menerima apa yang diulurkan kepadanya, Wira persis sekali dengan orang kebingungan yang teramat sangat.
"Ini nggak racun, Mas. Kalau tidak percaya, saya bisa meminumnya sekarang juga." Perempuan yang tidak lain adalah Melati ini tersenyum tipis ke arah Wira yang masih diam saja.
"Kalau nggak mau, nih aku minum sen--"
Wira buru-buru menarik bungkusan yang Melati bawa. Kemudian dia kembali terdiam karena melupakan satu hal.
"Kenapa lagi, Mas?" Melati menatap Wira wajah datar, seolah ingin membaca apa yang Wira pikirkan. "Belum makan, ya?" Wira langsung menatap Melati lagi dengan alis terangkat. "Tenang, Mas. Saya orangnya nggak setengah-setengah kok, saya bawa makanan juga buat Mas, biar obatnya langsung dimakan.
Sebenarnya, dari tadi, Wira tidak terlalu memikirkan makanan. Dia bisa pesan online yang langsung diantar ke kamarnya. Yang jadi permasalahan itu, dia tidak nyaman melihat Melati meskipun rasa agak berterima kasih itu tetap ada.
Pertama-tama, Wira lihat ke arah Melati lagi. Tanpa menampilkan raut wajah bersalah atau apa, dia mengatakan itu semua pada Melati yang sedari tadi terus saja tersenyum. "Saya tidak bisa menerima tamu wanita asing di apartemen saya."
"Ohh..." Melati manggut-manggut, "kalau itu saya juga tahu. Saya cuma mau mengantar. Jangan lupa dimakan ya, Mas, saya mau langsung balik kerja. Kapan-kapan, saya mau minta bayaran buat Mas Wira bercerita. Saya pamit."
Sambil melambai layaknya anak kecil kalau berpamitan, Melati bergegas balik badan dan berjalan santai menyusuri koridor yang nampak sepi karena kebanyakan penghuninya pergi kerja siang bolong begini.
Setelah memastikan Melati hilang dari pandangannya, Wira kembali ke dalam apartemen sambil menutup pintu. Kakinya yang panjang ia paksa untuk mengarah di sopa.
Dia dudukkan tubuhnya yang lelah di sofa, bersandar di sana, kemudian menatap apa yang Melati bawakan dalam diam. Sampai saat ini, dia tidak paham apa motif perempuan itu selalu dekat-dekat dengannya.
Bukan karena sok tahu, sok kegantengan atau apa, hanya saja memang itu kenyataannya, bukan? Melati yang keganjenenan hingga tahu-tahu mendatangi apartemen Wira. Oh sampai lupa, itu yang sebenarnya mau Wira tanyakan, bagaimana ceritanya wanita itu bisa datang ke apartemennya sedangkan dia sendiri tidak pernah koar-koar alamatnya di sini ataupun di sana oleh orang lain.
Daripada pusing memikirkan semua itu, Wira memilih meminum pil nya saja. Perutnya sudah terisi sedikit tadi. Se-napsu apapun Wira ingin makan, keinginannya langsung hilang begitu saja ketika giginya kembali berdenyut nyeri. Bagaimana tidak, giginya malah semakin sakit bukan main kalau dipaksa untuk mengunyah makanan. Alhasil, ya sudah lah, Wira pasrah minum pil saja.
Dalam keheningan yang begitu menyiksa dirinya sendiri, setelah menelan pilnya, Wira menyandarkan tubuhnya yang lelah pada punggung sofa. Matanya terpejam rapat, tapi otaknya tidak berhenti bekerja untuk berpikir. Yang ada, semakin sendirian, semakin kuat bisikan-bisikan yang memenuhi kepalanya atau pun yang secara langsung seperti ada yang berbisik di telinganya.
Mungkin karena efek ngantuk habis minum obat, Wira langsung merebahkan diri di sana daripada repot-repot kembali ke kamar untuk tetap tidur. Kanan kirinya ia taruh di atas perut, sedang lengan kanan ia gunakan untuk menutupi wajahnya.
Wira tidak ingat kapan matanya bertambah berat dan benar-benar tertidur. Dia juga tidak paham bagaimana kantuknya mendadak hilang begitu mencium bau busuk di sekitarnya. Saking terkejutnya, Wira sampai bangun untuk mengendus bau yang seperti bangkai tersebut. Seumur-umur tinggal di sana, baru sekarang dia mencium bau tidak sedap di apartemen yang selalu dia jaga kebersihannya.
Ya, meskipun Wira seorang pria, dia adalah seorang yang suka kebersihan dan kerapihan. Makanya itu Sabrina pernah menaruh hati kepadanya juga. Hm, seandainya masih menyimpan rasa sampai saat ini, Wira tak segan datang ke rumah orang tua Sabrina dan meminta izin untuk meminang putri kesayangan mereka. Tapi rencana hanya akan berakhirnya wacana jika Wira terus-menerus menunda hal baik tersebut.
Tapi Wira sadar, hubungan mereka sudah berakhir di tengah jalan seperti ini. Dan dia rasa, tidak akan ada kesempatan lagi karena Sabrina sudah bersama dengan pria lain, yaitu Aris, sahabatnya sendiri, menyedihkan sekali.
Karena sedari tadi mencari sumber busuk itu tidak ketemu dan baunya berangsur menghilang, Wira tidak terlalu mempermasalahkan dan menganggapnya sebagai angin lalu saja. Mungkin, tadi dia tidak sengaja buang angin ketika tidur. Berpikir positif itu penting untuk kesehatan mental seseorang. Makanya jangan berpikir negatif terlebih dulu, nanti jatuhnya keterusan suka berpikir negatif dalam berbagai hal.
Namun lebih dari apapun itu, Wira baru sadar satu hal. Sakit di giginya hilang, kepalanya tidak ikut nyut-nyutan lagi. Saking senangnya seperti anak kecil yang diberi hadiah, Wira mengambil handphonenya yang ia ingat, tertinggal di kamar.
Wira ambil handphonenya. Belum sempat melakukan sesuatu, lampu indikator handphonenya bernyala biru, tanda ada pesan. Saat dilihat, tanpa sadar, bibir Wira terangkat ke atas membentuk senyuman yang begitu menawan.
Melati : 'Mas, ini sudah sore. Udah baikan kah sakit giginya?'
Mungkin, Wira pernah mengatakan kalau dia tidak mungkin bisa mencintai wanita lain lagi saat ditinggal Sabrina pergi. Tapi hari ini, detik ini juga, Wira rasa kalau pemikirannya salah. Bisa jadi, apa yang selama ini dia anggap buruk adalah yang terbaik baginya. Manusia mana tahu takdirnya akan bagaimana, bukan?
Dan untuk pertama kali, Wira mau membalas pesan wanita itu. Wira akui, kalau bukan karena Melati yang berbaik hati memberinya pil sakit gigi, mungkin dia masih Belinyu gan di ranjang sambil mendekap pipinya yang sakit.
Wira : 'Sudah, terima kasih'
Usai membalas itu, mereka malah melanjutkan perpesanan itu sampai agak jauh, bahkan hampir saja melampaui dinding besar yang ada di antara mereka sampai akhir nanti.
***
Hutan belantara ini sangatlah gelap. Jantungnya berdegup kencang tatkala rerimbunan pohon bergoyang rusuh sedang tak ada udara bergerak yang mampu Wira rasakan.
"Siapa di sana? Keluar!" ujarnya agak lirih. Kemudian memutar arah pandangnya 180 derajat saat merasakan ada sekelebat berjalan mendekat.
Wira memasang tatapan hati-hati, dia sebar fokusnya agar tidak sampai salah mengenali musuhnya sendiri. Hingga waktu seolah terbuang sia-sia saat Wira tak mendapat apa-apa. Tidak ada seorang pun di dekatnya. Hanya ada dirinya, sendirian. Dia bahkan tidak tahu sedang dimana dan ingin apa hingga bisa-bisanya tersesat begitu jauh seperti ini.
Guna meredam kekalutannya sendiri, Wira berusaha untuk berpikir positif. Dia pasti sedang bermimpi. Tidak mungkin dia membuka mata tahu-tahu berada di tempat asing seperti ini. Otaknya yang rasional tidak bisa menerima kejadian aneh seperti ini meski memang begitu kenyataannya.
Belum juga Wira selesai menghitung satu sampai sepuluh, hawa dingin tiba-tiba datang menghadang, melingkupi tubuhnya sampai tidak bisa bergerak sama sekali layaknya tengah diikat oleh tali tambah ynag begitu kuat.
"Hai, lepaskan saya! Jangan main-main sama saya kamu, ya! Keluar kamu!"
Mati-matian Wira menahan napas untuk menyimpan seluruh energinya melepas lilitan tak kasat mata ini. Dia belum menyerah, bahkan saat wajahnya sudah memerah tatkala lilitan itu menyebar hingga ke leher dan mencekiknya begitu erat.
Suaranya tercekat hebat, paru-parunya bahkan tidak bisa dipergunakan sebagaimana mestinya. Hingga suara yang akhir-akhir ini selalu dia dengar, perlahan muncuk bersama dengan sosoknya yang terlihat geram.
"Lepaskan dia!"
Wira terhempas di pohon hingga tubuhnya ambruk dan berguling di tempat yang lebih rendah. Tenaganya tak cukup kuat untuk melawan sosol sialann yang entah kenapa tiba-tiba mengganggunya seperti ini. Seumur-umur, Wira sepertinya tidak pernah cari gara-gara. Paling hanya menggoda Sabrina sampai perempuan itu menangis histeris saking kesalnya.
"Mas Wira!" Melati berlari sekuat yang dia bisa untuk menghampiri Wira yang masih kesulitan untuk berdiir. Seluruh tubuhnya sakit bukan main. Tulang-tulangnya seperti diremukkan oleh kekuatan tak kasat mata secara paksa. "Mas? Mas tidak apa-apa?" perempuan itu terlihat khawatir sekali. Badannya terasa begitu dingin di kulit Wira.
"Pergi dari sini, di sini tidak aman!"
Susah payah Melati menolong, tapi Wira yang tidak tahu diri malah mengusirnya secara tidak terhormat. Detik berikutnya, Melati memutuskan untuk mundur menjauh dengan lutut sebagai tumpuannya. "Mas mau mati sendirian di sini? Tidak mau kembali bersama saya?"
Wira tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Yang dia tahu, dia mendengar lirihan minta tolong dari arah yang sendiri dia tidak bisa mendefinisikannya. Dan kabar buruknya, itu lirihan Sabrina, perempuan yang masih bertahta di hatinya hingga saat ini. "Sabrina?!" teriaknya kemudian, berusaha bangkit dengan sisa tenaga yang dia miliki.
Mungkin, Melati sudah biasa diabaikan. Tapi tetap saja, dia tetap terluka dengan penolakan yang diberikan. Padahal niatnya ingin membantu, tapi tetap saja dia yang mendapat pperlakuan jahat. Entah mengapa semua orang tidak bisa melihat niat baiknya. Semmua selalu saja menatapnya sebelah mata.
Begitu Wira berhasil berdiri, dia diam dengan pelipis yang dialiri keringat dingin. Kepalanya dipenuhi tangisan lirih meminta tolong dari Sabrina, tapi dia tidak tahu harus lari ke arah mana di saat suara itu seakan berasal dari segala penjuru arah.
"Sabrina, kamu dimana?" Wira berteriak hingga tenggorokannya kembali sakit bukan main. Tapi apapun itu, dia tidak peduli. Dia ingin melihat Sabrina dan menolong perempuan itu jika ditimpa bahaya. Sedangkan Melati masih terduduk di tempatnya. Dia sedih karena tidak ada yang mau berteman padanya. Padahal, sebelumnya Wira sudah ada kemajuan dan bersikap hangat kepadanya. Kenapa hanya karena perempaun bernama Sabrina, WIra lansgung berubah drastis seperti ini?
"Apa kamu tadi melihat Sabrina saat perjalanan di sini? Dia menangis minta tolong," ujar Wira khawatir, berharao sangaat kalau Melati akan mengatakan oya dan dia akan segera menyusul ke tempat yang Melati katakan.
Dan benar saja, Melati menunjuk arah di belakang tubuhnya. Tanpa pikir panjnag, tanpa memikirkan nasib Melati bagaimana, Wira berlari menuju arah tersubut dan meneriaki nama Sabrina tanpa henti.
"Sabrina, kamu dimana?"
"Mas tolong..." tangisnya pilu.
Semakin dekat, Wira mencoba tidak hilang fokus lagi hingga kakinya terhenti sempuran saat melihat pohon besar di depannya telak mengingat Sabrina dengan ranting-rantingnya yang kekar.
"Sabrina?"
"Mas..." perempuan itu menggeleng, menangis pilu. "Pergi dari sini, Mas. Mas tidak akan sanggup melawan mereka sendirian. Pergi, Mas."
Wira bahkan tak mempeduliakn perkataan Sabrina dan terus berjalan dengan langkah tertaih untuk menghampiri Sabrina.
"Mas jangan mendekat,"
Namun Wira menggeleng dengan mata memerah hebat. Dia jelas melihat Sabrina di siksa di sana, tubuhnya diikat seperti dirinya tadi. Lalu...lalu saat Wira mendongak untuk melihat pohon yang memiliki diameter besar yang Wira yakini sudah berusia ratusan bahkan ribuan tahun, dia malah dihadiahi semburan darah dan...
Wira terbangun dari tidurnya.