Dari arah lift, Aris terkejut melihat lobi lantai bawah yang begitu ramai. Dia tergesa melewati banyaknya orang yang seperti terpaku di tempatnya sendiri-sendiri. Hingga langkahnya terhenti melihat Wira sedang mencekik Sabrina dan tidak ada satu orangpun yang berniat membantunya. Mungkin ada, tapi karena takut jadi hanya diam di tempat.
"WIRA!" berlari kencang Aris ke arah mereka. Dia menghempas kasar tangan Wira hingga Sabrina terjatuh ke lantai dan terbatuk keras, mati-matian meraup udara di sekitarnya yang menghilang.
Melupakan Wira yang entah sudah sadar ataupun tidak, Aris jongkok, menatap Sabrina begitu khawatir. "Sab, napas, Sab! You--you okay?"
Sabrina menelan ludah susah payah. Dia tidak berani mengatakan apapun apalagi sampai mengangkat wajahnya. Dia hanya hanya menunduk, terus menunduk hingga sebuah pertanyaan kalem menyadarkan mereka semua.
"Sab, Hai?" Wira jongkok di samping Aris dengan wajah kebingungan. "Kamu--kamu nangis? Kenapa?" tanyanya khawatir.
Wira menoleh ke kanan dan ke kiri, orang-orang terlihat berdiri begitu shock. Kemudian dia melihat ke arah Sabrina lagi dan Aris. "Ris, Sab--"
"Lo mending pergi dulu, Wir."
Wira diam mendengarkan perintah dari Aris yang terkesan dingin. Honestly, Wira tidak mengerti dengan semua yang terjadi, sama seperti hari-hari sebelumnya yang melelahkan. "Ya tapi kenapa Sabrina nangis? Wajahnya merah banget, kenapa?" tanyanya sekali lagi.
Mungkin saja, Aris sudah lelah mendengar pertanyaan Wira yang selalu sama saat melihat Sabrina menangis atau mungkin saja, Aris sudah muak dengan semua ketidakbenaran yang terjadi karena itu dia meledak sendiri. "Lo tanya apa?!" tekannya dengan bisikan tajam dan Wira hanya diam mematung. "Lo hampir bunuh Sabrina kalau gue nggak dateng!"
"Lo--"
"Ris udah," Sabrina yang masih menunduk, menahan tangan Aris, berharap laki-laki itu berhenti bicara. Sedang Wira yang dimarahi hanya menunduk untuk mencari kebenaran yang sebenarnya sendiri itu seperti apa.
"Nggak, Sab." Aris menggeleng frustasi sendiri. "Kalau dibiarin terus, lama-lama kamu bisa meregang nyawa di tangan dia! Siapa yang berani jamin kamu bakalan baik-baik aja kalau di luar ketemu sama Wira lagi?"
"Lebih baik lo pergi, Wir. Sebelum pihak keamanan datang lagi kayak kemarin." Lanjut Aris yang semakin membuat Wira tidak mau melangkahkan kakinya ke mana-mana.
Demi apapun, dia tidak tahu apa-apa dan sadar-sadar, semua orang sudah berkumpul seperti hari lalu dan ada Sabrina di depannya. Mengabaikan Aris, Wira terus berusaha untuk berbicara dengan Sabrina. "Did I do something wrong, Sab? Kamu nangis seperti waktu itu."
Sabrina yang ditanyai tidak mau mengatakan apa-apa. Perempuan itu malah semakin terisak pilu. Layaknya, dia benar-benar sangat tersakiti. Wira mengingat rambutnya frustasi, tidak tahu harus melakukan apa lagi kalau orang-orang terus diam saja.
"Mana pihak keamanan?! Kenapa ada kekacauan dibiarkan saja?!" Aris yang sudah sangat bersabar sedari tadi sampai membentak tidak tahu aturan. Sabrina takut berbicara. Perempuan itu tidak akan berani angkat suara.
Orang-orang yang melihat dari sayap kanan maupun sayap kiri mulai membubarkan diri sambil bercerita yang mereka lihat tadi. Alter ego Wira kembali lagi. Pria itu sakit. Pria itu bahaya! Pria itu harus dihindari!
"Sab, ayo bangun!"
Dengan tubuh gemetar, begitu hati-hati Sabrina berdiri berpegangan pada Aris yang berdiri kukuh di depannya. Jangan tanya efek apa yang Sabrina rasakan selain lehernya yang sakit merambat hingga dadanya sesak.
Berhasil berdiri meski agak sempoyongan, Aris langsung mendekap bahu perempuan itu tetap di depan mata Wira yang diam saja bak penonton bayaran.
"Ayo," kata Aris lembut sekali lagi. Dia ingin menuntun Sabrina menjauh dari sana. Tapi tiga langkah kemudian, langkah Sabrina terhenti dan dia menunduk untuk memegangi perutnya yang sakit bukan kepalang.
"Sab? Sabrina? Ha--ohh!" Aris kembali jatuh saat tubuh Sabrina kehilangan kesadaran. Kaki jenjang perempuan itu dialiri darah segar layaknya orang yang keguguran. "Sabrina!" panggil Aris lebih panik dari sebelumnya.
Dihadapkan pada posisi seperti itu, Wira tetap diam di tempatnya dengan pikiran melalang buana ke mana-mana. Banyak bisikan-bisikan lirih tapi begitu jelas menguasai pikirannya sekarang.
Dia tidur dan hamil dengan pria lain, Wira. Dia mengkhianati kamu, dia menduakan kamu, perempuan itu tidak pantas hidup, dia seharusnya terbakar dalam neraka!
Wira memegangi kepalanya yang berdenyut hebat. Dia seperti diputar dalam mesin penggiling hingga tubuhnya hancur berkeping-keping. Bahkan lirihan pelan pun tak bisa Wira keluarkan. Jiwanya seperti ditarik ke dunia yang mana bukan manusia penghuninya.
Entah melewati batas waktu, atau apapun itu, Wira hanya melihat kegelapan yang begitu mengerikan. Banyak sekali bisikkan tangis minta tolong yang menyapa gendang telinganya tapi Wira tak mampu membuka mata barang sebentar.
Jiwanya seolah diikat di lembah dasar bumi, berteman dengan kerak dan magma yang begitu mengerikan. Hingga Sabrina. Wira mendengar suara Sabrina yang begitu tenang. Dan seketika itu juga, dia membuka matanya yang sedari tadi tak mampu terbuka.
Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mendapati apartemen yang sangat familier dengan pencahayaan yang begitu minim. Namun, Wira mampu melihat dan mendengar semua yang terjadi. Semuanya terjadi begitu nyata, begitu jelas, di depan matanya sendiri.
"Ayo, Sab, aku udah nggak tahan, nih!"
Suara itu, itu suara Aris. Wira semakin menajamkan pendengarannya. Kakinya yang memijak lantai dia pinta berjalan menuju kamar yang sepertinya menjadi sumber suara tersebut.
Begitu membuka pintu dengan perlahan, Wira shock dan mundur hingga tubuhnya yang tegap menghantam dinding yang begitu kukuh. Matanya memerah hebat melihat adegan di ranjang sana. Tangannya bahkan sudah terkepal kuat, siap menghajar siapa saja yang berani menyentuh wanitanya.
Dengan kepala matanya sendiri, Wira melihat Sabrina dan Aris tidur bersama. Canda tawanya, suara-suara menjijikkan yang mereka ciptakan, membuat Wira ingin muntah-muntah. Bagaimana bisa dia mencintai perempuan biadab seperti Sabrina? Sialan.
Masih dengan amarah yang tidak bisa Wira bendung sama sekali, dia berjalan tergesa ke arah ranjang, berusaha menghentikan tindakan tercela mereka tapi sayangnya, Wira baru menyadari satu hal. Sabrina dan Aris tidak bisa melihatnya. Pria itu merasa kalau dirinya mendadak menjadi seorang indigo karena tiba-tiba bisa melihat masa lalu.
Mundur menjauh dengan pikiran kosong penuh kutukan untuk kedua orang di depan sana, Wira menggeleng tak percaya dengan mata memerah hebat. Dia membenturkan kepalanya sendiri pada dinding, tapi Wira tetap merasakan sakitnya. Bahkan semuanya semakin menjadi-jadi saat terdengar suara tawa Sabrina yang begitu renyah dalam dekapan Aris yang sama-sama tidak ditutupi sehelai benang pun. Rasa-rasanya, minum poison dan mati di tempat adalah hal paling baik yang bisa Wira lakukan daripada harus melihat pengkhianatan yang begitu keji seperti ini.
Yang terjadi tidak benar. Sabrina dan Aris main belakang selama ini. Waktu di rumah sakit dan tidak sengaja memergoki Aris dan Sabrina memeriksakan diri ke dokter kandungan, seharusnya Wira sudah paham atau paling tidak sudah bisa menebak apa yang terjadi. Lalu sekarang, tiba-tiba tubuh Wira seperti ditarik paksa kembali hingga kegelapan yang sedari tadi berangsur-angsur menghilang dan berganti suasana yang begitu cerah di lobi kantor seperti tadi, masih lengkap dengan Sabrina yang meringkuk kesakitan dengan darah yang semakin banyak mengaliri paha sampai kaki.
Kalau tadi Wira khawatir setengah mati, sekarang Wira tidak peduli sama sekal. Dia bahkan sudah menampilkan wajah datar seperti biasa, seolah jika Sabrina mati di depannya, itu bukan masalah yang besar bagi Wira. Bahkan kalau bisa, mungkin Wira berkeinginan untuk melenyapkan Sabrina dengan tangannya sendiri.
"R-ris, uh--" Sabrina melenguh, tangannya meremas lengan Aris kuat. Wajahnya yang bertambah tirus terlihat begitu pucat.
"Siapapun tolong! Kenapa cuma dilihatin aja ada orang sakit!" Dengan d**a berdetak tak karuan, Aris meneriaki semua orang yang masih di sana.
Mereka sebenarnya ingin membantu, tapi tidak berani karena ada Wira di sana. Sadar tatapan semua orang tertuju pada Wira, Aris tanpa takut langsung mendongak untuk menatap pria itu dingin. "Mau apa lagi, ha? Mau lihat Sabrina mati, lo?! Pergi, nggak?! Semua orang takut sama lo, b*****t t!"
Tak main-main nada menghakimi yang Aris layangkan untuk Wira. Fokus Wira yang sedari tadi terarah pada Sabrina langsung memalingkan wajahnya tidak peduli ke arah lain.
Dia berjalan santai ke arah lain tanpa peduli meski apapun yang terjadi. Sabrina yang terbaring lemah semakin lama semakin tak mampu mempertahankan kesadarannya sendiri tatkala Wira menjauh pergi.
***
Malam-malam sekitar pukul delapan, Wira bangun dari sofa dan berjalan ogah-ogahan menuju pintu karena bell-nya terus berbunyi sedari tadi.
Pria itu memang memiliki kebiasaan tidak mengecek lebih dulu siapa yang datang menemuinya, karena itu dia langsung membuka pintu dan bibirnya terbuka, membentuk huruf o saat melihat Melati dengan tubuh basah kuyup tahu-tahu ada di depan pintu apartemennya.
"Kamu... ayo masuk!" ajak Wira buru-buru mempersilahkan Melati untuk masuk lebih dalam ke apartemennya. Dia mempersilakan Melati duduk dan pergi ke kamar untuk mengambil handuk bersih. "Ini pakai!"
"Terima kasih, Mas."
Wira menelan ludah. Dia jadi tidak paham kenapa Melati tiba-tiba datang ke kediamannya. Menunggu Melati lebih tenang, Wira membuka suaranya kembali. "Kamu kenapa bisa basah kuyup begini?"
Melati melirik Wira sekilas dengan tatapan ketakutan, kemudian menunduk kembali seperti anak kecil. "Saya takut sama, Mas." rengeknya kemudian.
"Takut? Sama saya?" mata Wira malah memicing curiga ke arah Melati. "Saya nggak gigit, kok?"
Perempuan berwajah pucat karena kedinginan ini semakin menunduk dalam. "Di kantor, saya mau nolongin, Mas. Tapi saya takut lihat kantor ramai banget. Mas tadi juga hampir dipukuli waktu keluar dari kantor. Maaf, ya?"
Daripada permintaan maaf Melati, akan lebih baik kalau dia diam saja! Membahas kejadian tadi sama saja mengingatkan Wira tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh Sabrina di belakangnya selama ini.
"Bu Sabrina dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan. Anu... dia hamil, ya?"
Wira tak berekspresi apa-apa. Rasa sesak di dadanya malah makin menjadi-jadi dan ingin sekali dia ledakkan biar hancur berkeping-keping sekalian. "Bisa berhenti membahasnya, saya membencinya!" katanya tanpa pikir panjang.
Melati semakin menunduk, layaknya Upin Ipin yang takut kalau dimarahi oleh Opa. "Mas jangan lah marah, kan saya cuma ceri--"
"Jangan pernah bahas perempuan itu lagi di depan saya!" Wira memalingkan wajahnya, layaknya muak semuak-muaknya dengan perempuan yang dulunya sangat dia cintai. Baginya, Sabrina Septi, perempuan yang paling dia cintai sudah mati terhitung hari ini. Lebih tepatnya sore menjelang malam tadi, saat Wira melihat segalanya lewat mata kepalanya sendiri.
"Baiklah, saya tidak akan membahasnya. Mas--sudah makan, kah?" Wira balas menggeleng tak acuh. Mau dia mati sekalian juga tidak ada yang peduli. Orang-orang yang dia percayai malah menikamnya begitu keji seperti ini hingga Wira takut untuk percaya lagi.
"Rumah kamu mana? Ayo saya antar pulang. Sudah tahu hujan kenapa tidak membawa payung? Dasar!"
Perempuan yang tubuhnya masih basah kuyup tertutup handuk ini hanya mencebik kesal. Wira dingin sekali seperti beruang kutub. "Ya sudah, saya mau pulang! Kalau besok saya sakit, Mas jangan cari saya di kantor, ya."
Dia malah menggertak dan Wira balas tersenyum tipis. "Untuk apa saya mencari kamu, percaya diri sekali."
"Dih, awas saja nanti kangen saya kalau tidak punya teman di kantor, nanti Mas saya syukurin."
"Silakan," balas Wira kembali tak peduli.
Namun pada akhirnya, Wira mengantar Melati pulang. Dia mana tega membiarkan perempuan jalan sendirian, kan? Begitu-begitu, Wira masih punya hati. Bodo amat semua orang menganggapnya gila, toh Wira tidak minta makan pada mereka.
Sampai di depan gerbang sebuah rumah minimalis, Wira memberhentikan mobilnya. "Mas mau mampir?" Melati mempersilahkan.
"Sudah malam,"
Melati mengangguk mengerti dan bergegas keluar dari mobil. Tapi belum benar-benar pergi, dia mengetuk jendela yang terpaksa Wira bukakan sambil menatap Melati dengan pendangan bertanya, "ada apa?"
"Mas jangan sedih," Melati tersenyum tulus ke arah Wira, "kalaupun tidak ada yang tulus berteman dengan, Mas. Saya tidak keberatan jadi teman, Mas. Tidak apa-apa kalau Mas ingin bercerita, sama akan senang sekali mendengarkannya. Jangan bosan-bosan dengan saya, ya? Saya juga tidak punya teman hehe, orang-orang menganggap saya aneh."
"Hm?" sebelah alis Wira terangkat. Dia malah penasaran dengan perkataan Melati barusan.
"Kalau Mas mau mendengar, saya mau bercerita." kata Melati antusias.
Wira terdiam. Selama ini, apa-apa, dia selalu bercerita dengan Sabrina atau Aris. Tapi sekarang, jangankan bercerita, mau berbicara dengan seseorang yang sudi berbicara padanya saja, Wira tidak tahu. Semua orang seperti membencinya setengah mati. Padahal, Wira tidak pernah mencari gara-gara, justru mereka yang selalu mencari masalah duluan.
Tadi saja, Wira sudah mendapat pesan ancaman dari atasannya. Dia bilang tak segan mengeluarkan Wira kalau masih berbuat seenaknya sendiri. Padahal, dia tidak melakukan apa-apa. Lalu, Wira harus minta maaf atas kesalahannya yang mana?
"Mas, jangan melamun!" Melati mengingatkan. Bulu matanya berkedip saat air hujan tidak sengaja menjatuhinya.
"Sudah sana masuk!" Sambil melambai-lambaikan tangannya, Melati kembali tersenyum melihat Wira yang perlahan menjauh pergi. Dan saat mobil Wira benar-benar sudah hilang dari hadapannya, Melati memabuka gerbang dan masuk ke rumahnya itu.
Besok, dia akan bercerita banyak hal pada Wira. Melati rasa, mereka adalah orang-orang dengan nasib yang hampir sama, dikhianati. Jadi, daripada sakit sendirian, mungkin bercerita tentang lelah satu sama lain bisa mengurangi beban yang mereka dekap dalam diam selama ini.