Bertemu Jessy

2243 Kata
Baru beberapa kilometer meninggalkan bar, tiba-tiba saja Morgan menyinggung soal Brielle yang ia dengar keadaannya sama seperti Brendan. "Brendy, kau yakin akan pulang sekarang? Bagaimana dengan kondisi gadis yang tadi bersamamu? Apakah kau yakin dia akan baik-baik saja setelah kau pergi meninggalkannya?" tanya Morgan yang entah mengapa tiba-tiba saja merasa cemas akan kondisi wanita yang Brendan tinggalkan di bar dalam kondisi yang begitu mengkhawatirkan. "Brielle maksudmu?" Brendan bertanya dengan kedua mata yang menajam, ia begitu tidak suka ketika sang sahabat menyinggung tentang wanita itu kembali. "Ya, dia maksudku. Bukankah dia juga mengalami hal yang sama sepertimu?" tanya Morgan yang mulai memelankan laju kendaraannya. "Biarkan saja dia di sana, nanti dia juga akan pulang sendiri ke rumahnya," jawab Brendan dengan begitu santainya tanpa ingin membebani pikirannya. "Brendy, kau tidak boleh seperti itu pada seorang gadis. Apalagi kau meninggalkan dia dalam pengaruh obat perangsang, bagaimana jika nanti dia malah bertemu dengan pria yang tidak baik dan malah akan berbuat jahat pada gadis itu. Apa tidak sebaiknya kita antarkan Brielle ke rumahnya dulu?" Morgan coba menasehati Brendan yang terlihat masih begitu kesal karena pertemuannya dengan Brielle. "Aku tidak peduli Morgan, bagaimana jika kau saja yang mengantarkannya pulang ke rumah, biar aku pulang naik taksi saja!" Brendan sudah mulai melepaskan seat belt yang terpasang di tubuhnya semula, ia berniat untuk turun dari mobil Morgan dan membiarkan pria itu untuk kembali ke bar. "Tidak, aku tidak berniat untuk mengantarkannya pulang sendirian. Ingat Brendan, kita berdua itu seorang petugas kepolisian yang bertugas untuk mengayomi masyarakat. Brielle kan termasuk masyarakat yang harus kita lindungi, apa kau tidak khawatir jika gadis itu sampai mengalami kejadian buruk karena bertemu dengan orang yang salah?" Entah mengapa Morgan terus mengompori sahabatnya agar tidak tutup mata dengan kejadian apa pun yang bisa menimpa seorang wanita cantik seperti Brielle, terlebih wanita itu sedang berada di bawah pengaruh obat yang tidak sengaja diminumnya. Brendan menghela napas kasar, perkataan Morgan akhirnya dapat ditangkap oleh hati kecilnya, dan membuat pria itu merasa tidak tega jika apa yang Morgan khawatirkan terhadap Brielle benar-benar akan terjadi dan menimpa wanita itu. Namun, saat melihat jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, Brendan merasa tidak memungkinkan jika harus menjemput wanita itu kembali ke bar lalu mengantarkannya ke rumah. Hingga terbesit sebuah ide dalam benak pria itu untuk menghubungi seseorang yang memiliki hubungan dekat dengan Brielle. Brendan segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya, namun harapannya merasa pupus saat mendapati ponselnya ternyata lowbat dan ia melupakan hal itu. "Kau tidak membawa charger?" tanya Brendan pada sahabat yang memiliki mobil tersebut. "Ada di laci dashboard, ambil di sana jika kau butuh! Tapi kau ingin apa dengan ponsel itu?" tanya Morgan yang kini mulai menghentikan laju kendaraannya di bahu jalan. "Aku ingin menghubungi Alice, wanita yang kita selamatkan di bank tadi. Briel bilang kalau dia dan Alice adalah adik kakak, jadi aku minta saja Alice untuk menyuruh salah satu orang yang berada di rumah mereka agar menjemput adiknya sebelum terjadi apa-apa pada Briel. Dan kamu hubungi Chiko sekarang, minta dia jaga Briel sampai salah satu keluarganya datang menjemput wanita itu!" Brendan pun mengutarakan idenya pada Morgan, rencana yang menurutnya tidak perlu merepotkan mereka dan ia bisa tiba di rumah tepat waktu. "Ah iya, ide yang brilian. Ya sudah, cepat kau hubungi kakaknya agar gadis itu baik-baik saja dan aku akan segera menghubungi Chiko!" titah Morgan yang sangat setuju dengan ide Brendan. Setelah ponselnya kembali aktif, Brendan segera menghubungi Alice. Tak butuh waktu lama, wanita itu langsung menjawab panggilan darinya. "Halo, Tuan Brendan." Alice menyapa dengan suara yang lembut. Ia merasa senang mendapat panggilan dari seorang polisi yang menjadi idolanya. "Ya, Alice. Maaf kalau saya mengganggu waktumu, tapi sekarang ada hal penting yang ingin saya sampaikan sama kamu." Brendan ingin langsung menyampaikan informasi terkait adik dari Alice. "Hal penting apa, Tuan? Apakah ini menyangkut tentang kejadian perampokan siang tadi?" tanya Alice dengan suara bergetar, terdengar jelas dari suaranya bahwa wanita itu masih merasa ketakutan atas kejadian yang ia alami. "Tidak, bukan hal itu. Tapi ini tentang adikmu. Apakah benar kamu memiliki seorang adik perempuan bernama Brielle?" Brendan coba memastikan informasi yang diketahuinya lebih dulu. "Iya, Tuan. Briel adalah adikku. Memangnya kenapa ya Tuan bertanya seperti itu? Apakah Tuan dan Briel saling mengenal sebelumnya?" tanya Alice yang seketika merasa penasaran. "Tidak, saya dan adikmu baru saling mengenal tadi, belum lama ini. Tidak sengaja dia menghampiriku di bar, dia mengenali saya dan mengucapkan terima kasih karena saya sudah sempat menyelamatkan kamu siang tadi, tapi sepertinya adikmu salah menilai tentang saya, dia coba merayu saya dan karena saya tidak suka dengan perlakuan wanita seperti itu makanya saya tinggal dia pergi. Saat di perjalanan pulang saya baru ingat kalau dia meminum minuman yang sudah dicampur sesuatu oleh bartender yang bekerja di sana, saya merasa bahwa keadaannya saat ini sedang tidak baik-baik saja, terlebih dia berada di tempat yang tidak aman. Apakah kamu memiliki keluarga yang tinggal di rumah bersama kalian untuk menjemput Briel di bar?" tanya Brendan setelah memberikan penjelasan yang cukup padat dan jelas. "Astaga, Briel!" terdengar nada suara Alice yang menggeram, ia merasa malu dengan kelakuan adiknya terhadap seorang pria yang telah menyelamatkannya dari insiden perampokan siang tadi. "Tuan, atas nama Briel aku benar-benar minta maaf. Aku tidak menyangka dia membuat kesalahan konyol seperti ini di saat aku sangat membutuhkannya untuk tetap berada di rumah agar dia menemaniku di saat genting seperti sekarang ini. Terima kasih untuk informasinya, Tuan. Aku akan segera pergi ke bar untuk menjemputnya," lanjut Alice kembali. "Tidak apa-apa, Alice. Saya coba mengerti dengan kelakuannya tadi. Tapi apakah harus kamu yang menjemputnya di bar? Apakah di rumah tidak ada orang lain?" Brendan merasa kurang enak jika menyuruh Alice yang masih mengalami trauma ringan pergi keluar rumah dan mendatangi bar untuk menjemput adiknya. "Aku hanya tinggal berdua bersama Briel. Kami berdua sudah tidak memiliki keluarga, Tuan. Jadi mau tidak mau saya harus keluar rumah dan menjemput Briel agar dia aman." "Maaf Alice, bukan maksud saya tidak bersedia membantumu, tapi malam ini adalah malam yang paling penting untuk saya bersama istri saya. Ini adalah malam anniversary pernikahan kita yang kelima tahun, jadi saya benar-benar tidak bisa pulang terlambat karena saya tidak ingin membuatnya kecewa," jelas Brendan untuk menghindari perkiraan-perkiraan buruk di benak Alice dan dianggap tidak ingin membantu. "Tidak Tuan, kamu tidak perlu minta maaf karena ini bukan salahmu. Ya, aku sangat paham bahwa inilah malam spesial untuk kalian berdua. Sebelumnya terima kasih sekali lagi karena kamu sudah bersedia menyampaikan informasi tentang Briel padaku, jadi aku tahu dia sedang tidak aman. Terima kasih Tuan, semoga acaramu bersama istrimu lancar dan semoga Tuhan selalu melimpahkan kebahagiaan dalam pernikahan kalian," jawab Alice yang sangat mengerti posisi Brendan saat ini, karena jika ia berada di posisi Brendan, Alice pun pasti akan melakukan hal yang sama, lebih memilih keluarga menjadi yang utama, dibandingkan apa pun. "Terima kasih, Alice. Kalau begitu kamu hati-hati di jalan ya, kalau kamu butuh bantuan jangan ragu untuk menghubungi Morgan. Dia siap membantumu selama 24 jam." Brendan melirik sekilas ke arah Morgan yang menatapnya penuh tanda tanya karena namanya disebut dalam perbincangan antara Brendan dan Alice. "Terima kasih juga untuk kebaikan hatimu, Tuan. Selamat malam and have fun," ucap Alice mengakhiri panggilan keduanya. Setelah panggilan keduanya berakhir, Brendan segera meminta Morgan untuk kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju rumahnya karena jarum jam terus berputar, dan sesaat lagi waktu akan segera menunjukkan pukul 22.00. "Morgan, ayo lanjut lagi!" titah Brendan yang sudah dapat bernapas dengan lega karena urusan Briel sudah ditangani oleh Alice, seseorang yang merupakan kakak kandung dari wanita itu sendiri. Tanpa menjawab sepatah kata pun Morgan langsung melajukan kendaraannya setelah ia meletakkan kembali ponselnya di atas dashboard begitu selesai mengirim pesan pada Chiko untuk menjaga Brielle hingga kakak dari wanita itu datang menjemputmu. *** Sesampainya di rumah, Brendan melihat sosok Jessie tengah menunggunya di depan pintu, wanita itu mengetahui kepulangan suaminya karena sudah begitu hafal dengan suara mobil milik Morgan, maka dari itu ia menunggu di sana untuk menyambut kepulangan suaminya yang sudah 1 minggu ini tidak menginjakkan kaki di rumah mereka berdua. Ya, mereka memang suami istri tapi jarang hidup bersama karena tugas negara dan abdi Brendan pada pekerjaannya. Jika Brendan tidak sibuk, maka giliran Jessica yang sibuk dengan tugas-tugasnya di rumah sakit. Wanita itu merupakan seorang dokter di rumah sakit milik keluarganya. Sebab hal itulah hubungan keduanya perlahan dengan perlahan mulai renggang karena kesibukan masing-masing, membuat mereka seperti tidak memiliki waktu untuk berbicara dari hati ke hati. Dan malam ini Jessica berusaha untuk membuat acara sederhana di rumah, hanya demi mendapatkan momen romantis dan menghabiskan malam bersama sang suami agar dapat memperbaiki hubungan mereka yang hampir berakhir. Setelah mobil yang Morgan kendaraan berhenti tepat di depan rumahnya, Brendan bergegas turun untuk menjumpai sang istri yang telah menunggunya. "Morgan, makasih banget ya sudah mengantarkanku sampai tepat waktu," ucap Brendan dengan senyuman yang begitu sumringah karena merasa bahagia sekaligus lega tugasnya di luar rumah telah selesai dilaksanakan dan kini ia dapat berkumpul dengan sang istri, menghabiskan waktu bersama selama beberapa hari ke depan. "You're welcome brother. Have fun ya malam ini, semoga hubunganmu bersama Jessy baik-baik saja dan menemukan titik terang agar tidak terjadi lagi masalah apa pun di kemudian hari." "Sekali lagi makasih ya, Gan. Pokoknya have fun juga untuk kamu, dan selamat menikmati waktu liburan yang singkat ini sebelum kembali bertugas!" Setelah selesai mengatakan hal tersebut, Brendan berlalu pergi meninggalkan sahabatnya dan menghampiri Jessica yang telah menyambut kepulangannya dengan senyuman yang begitu menawan. Senyuman yang selalu Brendan rindukan di setiap malam, ketika ia harus jauh dengan sang istri karena sebuah tugas. Setelah keduanya berdiri saling terhadap, Brendan memeluk singkat tubuh istrinya begitu erat. Melampiaskan rasa rindu yang sudah tertahan selama satu Minggu ini, rindu yang sangat menyiksanya. "Jessy, aku sangat merindukanmu sayang." Brendan berucap dengan suaranya yang parau, lalu mengakhiri kalimatnya dengan mengecup permukaan dahi Jessica dalam-dalam. Kecupan itu menjalar, mengabsen setiap inci permukaan wajah cantik Jessica dan berakhir di bibirnya. Brendan melumat bibir seksi istrinya membuat Jessica menyadari bahwa sang suaminya pulang dalam keadaan mabuk. Jessica segera mendorong tubuh suaminya agar melepaskan ciumannya, sambil menepuk kedua sisi wajah Brendan dan menatap kedua matanya lekat-lekat. "Kamu masih sempat untuk datang ke bar dan mabuk sebelum pulang menemuiku?" tanya wanita itu lalu tersenyum tipis menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja, walau di dalam hati ia merasa begitu kecewa. Wajah semringah Brendan seketika sirna dan berganti dengan raut penuh penyesalan begitu menyadari kebodohannya karena melakukan sesuatu hal yang tidak disukai oleh sang istri, yaitu pulang dalam keadaan mabuk. "Sa-sayang, maaf… Aku tidak bermaksud untuk minum, tadi aku hanya berniat untuk menemani Morgan pergi ke bar, tapi dia malah memesan minuman dua botol, aku tidak enak jika harus menolaknya karena takut untuk melukai perasaannya." Brendan coba menjelaskan sembari menangkup kedua lengan istrinya agar tetap berada di posisinya dan tidak pergi meninggalkannya di saat ia masih menjelaskan alasan yang sebenarnya. Jessica menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis. "It's okay, aku paham dengan alasanmu, Brendy. Sekarang kita masuk yuk, aku sudah menyiapkan makan malam untuk kita berdua, semoga kamu belum makan di luar sana dan mau makan bersamaku malam ini." Entah mengapa walau Jessica mengatakan ia paham dengan alasan sang suami, tapi tidak dengan nada suaranya yang bergetar. Ada rasa kecewa yang terdengar, walau bibirnya coba mengulas senyuman. Brendan paham dengan kesalahannya, tapi entah kenapa ia selalu saja merasa tidak enak untuk menolak ajakan Morgan setiap kali pria itu mengajaknya pergi ke bar dan minum-minuman sampai mabuk, tidak seperti malam ini yang hanya menghabiskan satu botol minuman. "Jessy, i am sorry. Boleh tidak kalau aku berjanji ini terakhir kalinya aku minum di luar. I'm promise." Brendan mengungkapkan janjinya sembari menunjukkan dua jari berbentuk huruf v di hadapan sang istri. "Tidak perlu berjanji, Brendy. Kamu cukup membuktikannya dengan tidak pergi ke bar dan menghabiskan malam untuk minum-minum di sana. Akan lebih bermanfaat jika waktunya kamu gunakan untuk pulang ke rumah, menemuiku di sini walau hanya sebentar. Aku ini istri kamu kan?" jawab Jessica dan mengakhiri kalimatnya dengan sebuah pertanyaan, menanti jawaban yang terlontar dari mulut pria yang telah menikahinya lima tahun silam. Tak dapat dipungkiri Jessica menanyakan hal itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Brendan segera menangkup kedua sisi wajah Jessica, hatinya sakit jika mendengar pertanyaan itu, pertanyaan yang seakan Jessica meragukan kesungguhan dirinya. "Jessy, tolong jangan bertanya seperti itu. Kamu adalah istriku dan selamanya akan terus seperti itu, sampai aku menutup mata. Please, jangan pernah mengulangi pertanyaan itu lagi ya," mohon Brendan menatap dalam kedua mata indah Jessica yang mulai berkabut. Brendan tak ingin jika suasana malam ini dipenuhi air mata dan perdebatan seperti malam-malam sebelumnya. Ia sangat ingin di malam spesial ini hanya ada kebahagiaan yang mengarungi malam mereka dengan penuh cinta. "Please, malam ini tidak perlu ada keributan ya. Aku ingin kamu dan aku bahagia malam ini, kita kembali mengingat perjuangan kita sejak 5 tahun yang lalu sampai saat ini. Kamu setuju kan, sayang?" pinta Brendan sembari mengusap halus kedua pipi istrinya. Jessica pun menganggukkan kepala untuk mengiyakan keinginan suaminya, karena ia sendiri menginginkan hal yang sama untuk memperbaiki hubungan keduanya agar tetap bertahan walau sempat berada di ambang kehancuran. "Ayo kita masuk sekarang, nanti steak yang sudah aku sudah siapkan terlanjur dingin," ajak Jessica pada Brendan, melupakan sejenak rasa kesalnya dan ia segera merangkul tubuh suaminya untuk memasuki rumah bersamaan. Sementara di dalam mobil, Morgan memerhatikan dengan intens kedekatan dua sejoli yang sudah terjalin selama 5 tahun belakangan ini. Ia tersenyum tipis melihat melihat hubungan Brendan dan Jessica yang sudah baik-baik saja. "Seharusnya aku ikut senang melihat hubungan mereka yang sudah kembali baik," ucap Morgan dengan suara yang terdengar begitu berat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN