Penculikan

1482 Kata
Secepat kilat Reya keluar dari rumah dan menuju garasi mobil, niatnya untuk mencari Mark tidak dapat ditunda saat sudah menyatu dengan kecemasan. Namun, alangkah nasib sial yang menimpanya hari ini sungguh bertubi. Setibanya di garasi, Reya menemukan ban mobil itu telah kempes. Bisa dipastikan jika ini merupakan ulah para penyusup tersebut. "Sial!" Reya menendang ban mobil dengan keras. Tidak menyerah, lantas Reya berlari keluar, hendak mencari taksi atau kendaraan umum apapun yang bisa ia naiki. Apapun yang terjadi, dia harus memastikan jika Mark baik-baik saja. Sudah berapa kali Reya menghentikan taksi yang lewat, tapi tak satu pun dari mereka yang berhenti. Itu mungkin karena mereka takut saat melihat penampilan berantakan Reya lengkap dengan pistol di tangannya. Penampilannya saat ini tak ubah seperti seorang perampok jalanan. Mengetahui dia gagal setiap kali mencoba, Reya memutuskan untuk menyembunyikan pistol tersebut ke saku celana. Lalu merapikan penampilannya sedikit dan menyisir rambut dengan jari. Dengan begitu, dia sudah berhasil menghentikan satu taksi. "Tidak mungkin. Sean hanya berbohong. Kakek tidak mungkin dibawa pergi. Percayalah, Reya, kakek adalah pria tangguh. Jangan khawatir." Tidak ada yang bisa Reya lakukan selain menghibur diri dengan pikiran positif saat dirinya sudah duduk dalam sebuah taksi. Bahkan, kini ponsel dalam genggamannya menjadi basah oleh keringat. "Anda mau kemana, Nona?" tanya supir taksi. Reya memandang sekeliling, yang ternyata sudah tiba di kota. "Belok kiri," ujarnya saat mereka berada di perempatan jalan. Taksi berhenti di depan pasar raya yang dipadati oleh banyak orang, terbanyak dari mereka adalah kalangan orang tua. Alasan Reya memilih datang ke tempat ini, adalah karena disinilah biasanya Mark dan teman-temannya berkumpul. Nyaris tidak ada tempat lain yang Mark kunjungi. Bahkan dia sudah pernah menjemput pria itu beberapa kali di tempat yang sama. "Bisa tunggu sebentar?" tanya Reya pada supir taksi sebelum turun. "Tidak masalah, Nona." Setelah turun, Reya bergegas memasuki restoran kecil bergaya klasik. Bisa dilihat jika semua pengunjung adalah kalangan pria paruh baya. Memperhatikan di setiap meja, akhirnya Reya menemukan seorang pria yang sedang duduk bersama beberapa pria lainnya, yang tak lain adalah teman-teman kakeknya. Reya langsung mendekati mereka semua. "Permisi, Paman." Lima orang yang berada di meja bundar itu terkejut melihat kedatangan Reya. "Bagaimana ini, sudah tidak hadir, Mark malah mengirim cucunya kemari," kata salah satu dari mereka dengan wajah yang terlihat kesal. "Pulanglah, Reya. Katakan pada kakekmu jika kami kecewa padanya. Sangat kecewa," ujar yang lain disertai wajah sedih. "Ada apa? Apa kakek tidak datang kemari?" tanya Reya hati-hati walaupun dia sudah memprediksi jawabannya seperti apa. Bukankah sudah jelas jika Mark tidak datang saat melihat wajah kecewa semua orang? Tapi Reya tetap ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya. "Entah apa yang sedang kakekmu lakukan, yang jelas dia membatalkan pertemuan ini secara tiba-tiba. Pulanglah, kami pun akan segera bubar." Mendengar hal itu, lengkap sudah kegelisahan Reya, dan apa yang Sean katakan benar-benar nyata. "Kakek diculik," gumam Reya hampir tidak terdengar. Kakinya semakin kaku dan sangat sulit untuk digerakkan. "Apa? Mark, diculik!" seru salah seorang dari mereka yang tidak sengaja mendengar perkataan Reya. Semua orang kini memandang Reya, meminta jawaban dan kepastian. "Apa yang kau bicarakan? Benarkah, Mark, diculik?" "Bagaimana bisa seseorang menculiknya?" Menghadapi situasi seperti ini, lantas Reya memutuskan untuk pergi. Apa gunanya dia di tempat ini jika Mark sedang bahaya dalam genggaman orang lain. Reya tidak peduli pada teman-teman kakeknya yang memanggil dan berusaha mengejar, dia terus berlari keluar dari tempat itu. Baru saja Reya hendak membuka pintu taksi yang masih menunggunya, tiba-tiba layar ponselnya menyala. Panggilan dari nomor yang sama membuat Reya langsung menerimanya. "Kamu tidak percaya padaku, ya? Kasihan sekali," ucap Sean begitu panggilan terhubung. "Sean!" Reya mengepalkan tangan. "dimana kakekku!" hardiknya dengan amarah yang tidak tertahankan. "Tentunya bersamaku, Reya. Tidak mungkin aku menyembunyikannya di kolong jembatan." Sean tertawa puas. "Dasar pria gila!" Tiba-tiba Reya memecahkan kaca taksi di sampingnya tanpa sadar setelah berseru dengan keras. Beberapa orang yang sedang berada di sana dan supir taksi sangat terkejut, mereka semua melihat ke arah Reya dengan tatapan yang aneh. Buru-buru supir taksi itu keluar untuk meminta pertanggungjawaban atas apa yang Reya lakukan sebelum gadis itu kabur. "Kembalikan dia. Jangan main-main denganku, Sean," ancam Reya yang hanya memfokuskan diri pada pembicaraannya dengan Sean. Tidak peduli sama sekali pada beberapa orang yang saat ini sedang mendekat dan mengerumuninya. "Aku tidak mau," tolak Sean cepat. "kamu sendiri yang menciptakan permainan ini, Reya." Sean berbicara tanpa beban, hal itu membuat Reya kian murka. Supir taksi kini telah berdiri di depan Reya dan menatap kaca mobilnya yang rusak parah. "Hei apa kau sudah gila! Kenapa kau memecahkan kaca mobil orang sembarangan. Kamu harus tanggung jawab untuk ini!" hardiknya marah. Beberapa orang kian bertambah mengerumuni Reya, mereka tidak memberi celah seandainya Reya melarikan diri dari sana. Reya mengabaikan supir taksi itu, bahkan tidak peduli sama sekali dengan perkataan pria itu. "Jangan macam-macam denganku, Sean. Kamu tidak tahu siapa aku." Reya masih mengeraskan suaranya pada Sean, tidak peduli dengan beberapa orang yang terus berteriak padanya untuk bertanggung jawab. "Apa peduliku tentang hal itu, Reya." Sean masih sama, terus membuat Reya murka. Reya memejamkan matanya sesaat, lalu menarik nafas dan membuangnya dengan kasar. Kesabarannya sudah lenyap, dia mulai hilang kendali. "Baiklah. Sepertinya membiarkanmu hidup malam itu adalah sesuatu yang salah, Sean." "Cari aku dan buktikan jika kata-katamu patut untuk aku takuti. Daripada berlarut kecewa karena sudah membiarkanku hidup, lebih baik pikirkan saja kakekmu. Mungkin nasibnya tidak akan sama sepertiku.” Lagi-lagi Sean mengatakan kalimat ancaman yang membahayakan nyawa Mark. "Kau-" Reya menghentikan kata-katanya saat dia hendak kembali memukul taksi tersebut. Namun, untung saja dia sempat melihat situasi saat ini, dan dia baru sadar jika sudah menjadi pusat perhatian semua orang. "Jangan membuang tenaga untuk sesuatu yang rumit, Reya," kata Sean yang mengetahui dan bisa melihat segalanya. Mata Reya mengawasi setiap area. Dia sangat waspada terhadap Sean yang ternyata sedang memata-matainya saat ini. "Dimana kau sialan?!" bentaknya dengan nada yang tidak bisa ditahan, meskipun keadaan sekitar sedang tidak cukup baik bagi dirinya. "Jangan buang waktu untuk mencari keberadaanku. Kamu tidak akan mampu." Sean kembali berucap ketidakmungkinan bahwa Reya bisa menemukannya. Jelas sudah bahwa saat ini dia sedang mematai-matai gadis itu. "bergegaslah." Sean langsung memutuskan panggilan sepihak dan tidak ingin membuang waktu lebih lama. Kalimat terakhir Sean membuat Reya tidak bisa menunda lebih lama. Dia harus bergegas jika tidak ingin terjadi hal buruk pada Mark. Dipandang supir taksi yang terus mengawasinya sejak tadi, juga puluhan pasang mata yang belum menjauh darinya saat ini. "Sial!" Reya mengumpat kesal. Sepertinya celah untuk melarikan diri sangat tipis. Melihat usia dari kebanyakan orang-orang disana, tidak mungkin Reya menggunakan kekuatannya untuk membereskan kerumunan. Bisa-bisa mereka semua mati di tangannya. "Beri aku jalan!" seru Reya hendak pergi secara baik-baik walaupun ucapannya bernada kasar dengan tatapan penuh ancaman. "Kamu tidak bisa pergi begitu saja." "Kamu harus tanggung jawab atas perbuatan yang sudah kamu lakukan." "Iya, kamu harus bertanggung jawab. Sebaiknya kita bawa saja dia ke kantor polisi." Keinginan itu terdengar tak bersahabat di telinga Reya. Mereka tidak tahu saja, andai ingin melakukannya, maka Reya bisa saja membawa mereka kesana dengan mudah. Namun, semua orang masih tidak memberi celah sama sekali untuk membiarkan Reya pergi. Mereka terus mendesaknya untuk bertanggung jawab terlebih dahulu. Seruan demi seruan tuntutan dari mereka membuat Reya geram. Dia tahu masalah tersebut tidak bisa hanya diselesaikan dengan damai, mengingat perbuatannya memang telah merugikan supir taksi itu. Bahkan, jika dia peduli pada kaca taksi yang hancur, itu hanya akan menghambat segalanya. Reya yang tidak sabar melihat keterlambatan, tiba-tiba mengeluarkan pistol dan mengarahkan pada supir taksi. Seketika itu semua orang menjerit takut dan menutup mata. Beberapa dari mereka mulai mundur, tapi mereka belum juga memberi Reya jalan. "Beri aku jalan atau ku tembak kepala pria ini," ancam Reya dengan suara yang keras. Dia langsung mengambil langkah jitu agar masalah tidak berlarut. Sebenarnya Reya juga tidak ingin menyakiti siapapun, hanya saja dia ingin segera pergi dari sana. Supir taksi yang merupakan sasaran, langsung mengangkat dua tangan keatas dengan tubuh yang gemetar. Orang-orang yang ketakutan seakan terpaku di tempat masing-masing. Tidak ada yang berani angkat kaki melihat pistol yang Reya pegang. Kaki mereka terkunci rapat di tempat. Merasa waktu semakin terbuang dengan percuma, akhirnya Reya terpaksa mengarahkan senjatanya ke atas dan melepaskan tembakan satu kali. Hal tersebut membuat semua orang menunduk ke tanah tanpa sadar setelah menjerit histeris. Reya mengambil kesempatan untuk melarikan diri segera setelah menjatuhkan beberapa lembar uang di hadapan supir taksi. "Anggap saja urusan kita selesai," ujarnya meninggalkan tempat itu. Sirine polisi terdengar tiba-tiba ketika Reya baru saja menuju jalan keluar. Mungkin ada yang melaporkan dirinya pasca suara tembakan tadi. Reya mengambil jalan lain yang berlawanan arah dengan beberapa mobil polisi untuk menghindar sesuatu yang buruk. Setelah jauh, Reya menghentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat. Dalam perjalanan, dia sempat menghubungi seseorang untuk meminta bantuan. "Akan ku kirim nomor seseorang. Aku ingin kamu melacak keberadaannya segera. Jangan lupa, lacak juga keberadaan kakekku meskipun hanya titik terakhir yang bisa kau temukan," titahnya dalam satu kalimat dan tidak menunggu jawaban dari sana, dia langsung memutuskan panggilan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN