Kesediaan

1553 Kata
Sean mengelus pisau berkilau di bawah lampu terang. Sudah lama ia tidak menggunakan senjata bermata tajam itu untuk bertarung, karena sedang gemarnya memakai pistol keluaran terbaru yang menurutnya sangat tepat untuk digunakan saat bertugas. Tidak lama kemudian, seorang pria masuk dan membungkuk di hadapan Sean. "Dia sudah tiba," lapor pria itu tanpa menatap Sean. "Bawa ke kamar dan ikat," perintah Sean, juga tanpa melihat ke arah pria tersebut. Matanya masih fokus pada kilatan yang menyilaukan mata. "Baik." Setelah pria itu pergi, Sean menurunkan kakinya dari kursi. Lantas pisau di tangannya dilemparkan seperti busur panah yang melesat cepat sesuai arah, berhenti dan tertancap tepat di hidung Reya yang terpampang jelas dalam sebuah gambar berukuran besar. "Reya, kau benar-benar membuatku geram," ucap Sean dengan amarah yang tertahan. Matanya merah seperti mengeluarkan api mematikan. Mengingat bagaimana sulitnya menghadapi seorang gadis seperti Reya, Sean murka luar biasa. Bagaimana tidak, Reya sangat jauh berbeda dari perkiraan. Bahkan, gadis itu masih membangkang meskipun nyawa orang tersayang sebagai taruhan. Sudah dua kali Reya lolos dengan mudah. Juga hampir terjadi hal yang sama beberapa saat yang lalu andai Sean tidak cepat mengirim beberapa orang untuk menghentikan kegilaan gadis itu. Kemudian Sean keluar dari ruangan tersebut setelah cukup lama menimang hal apa yang akan ia lakukan pada gadis itu sebagai pelajaran yang setimpal. Naik ke atas dengan seulas senyum penuh rencana, menuju kamar dimana Reya diamankan dengan baik. Benar-benar harus diamankan agar tidak bertingkah terlalu banyak. "Bagaimana keadaannya?" tanya Sean pada dua penjaga pintu sebelum masuk. Mengingat kinerja Reya, dia harus membuat keamanan yang ketat. "Kami membawanya tanpa cedera." "Bagus sekali. Aku akan memeriksanya." Salah satu penjaga langsung membuka pintu untuk Sean. Begitu masuk, Sean mengangkat sebelah sudut bibirnya saat melihat keadaan Reya. Gadis yang luar biasa tangguh menentang dan melawannya, kini nampak tak berdaya dalam kurungan yang luas dengan satu tangan terborgol di tiang ranjang. Teya membuang muka malas melihat kehadiran Sean. Sean mendekat lalu membungkuk di hadapan Reya. "Menyedihkan sekali, Reya," ucapnya dengan seringai dan tatapan tajam. "Apa hanya ini yang bisa kamu lakukan?" Reya menatap sinis Sean dan meremehkan. Menyembunyikan rasa takut yang seharusnya memang tidak ada. Tapi sayangnya, Reya malah harus menakuti diri andai Sean bertindak terlalu jauh pada kakeknya. Sungguh, hanya itu yang saat ini paling Reya takuti dibandingkan keselamatannya sendiri. Seringai kembali tercetak di wajah tampan Sean, bahkan lebih mengerikan dari sebelumnya. "Apa kamu berharap lebih banyak dariku?" "Sepertinya memang tidak banyak yang bisa kamu lakukan," balas Reya meremehkan dan tersenyum sinis. Lengan Reya langsung dicengkram kuat oleh Sean detik itu juga. "Tidak untuk mengotori tubuhku dengan seseorang, Reya. Kau paham?" Reya membulatkan mata. Kata-kata Sean sangat menusuk, tembus ke ulu hati. Lagi-lagi pria itu mengungkit perbuatannya pagi itu. Dia sungguh dipandang rendah oleh Sean hanya karena inseden yang tidak seharusnya terjadi. Mata elang Sean bersitatap dengan mata indah milik Reya secara tiba-tiba. Tatapan yang mereka sendiri tidak bisa mengartikan dengan baik saat perasaan muncul dengan debaran yang aneh. Saling menyimpan satu sama lain, keduanya malah menunjukkan kenyataan yang berbeda. Dalam rasa marah tersimpang suka. "Aku tidak melakukan apa-apa padamu! Kenapa kau terus merendahkanku?" Reya memberontak hebat. Dia berusaha menjelaskan kejadian sebenarnya pada pria itu. Sean tertawa lepas, merasa pernyataan yang diberikan sangat konyol. "Tidak melakukan apa-apa? Lalu bagaimana dengan bagian itu? Kamu kira aku bodoh?" Gigi Sean saling bertemu, dia sangat geram. "dimana urat malumu saat membuka pakaianku, Reya. Aku benar-benar ingin mencungkil matamu saat ini juga." Kata demi kata meluncur bebas dari mulut Sean, bahkan masih banyak kalimat tersisa yang belum ia keluarkan. Dia terlalu jijik bahkan hanya dengan mengingatnya saja. "Kau seharusnya tidak melakukan apapun padaku." Kembali Sean berkata. Dendam Sean lebih mengarah pada perlakuan Reya yang satu ini. Andai Reya hanya mengambil file itu saja, mungkin dia tidak akan bertindak sejauh ini untuk membalas. Tapi Sean yang sudah lebih mengutuk perbuatan Reya, pun tidak sudi jika membiarkan dia berkeliaran dengan bebas. "Jangan bertindak seolah kau jauh lebih baik, Sean. Bahkan semua perbuatanmu tak lebih baik dari binatang buas," kata Reya membalas. Kini dia mengungkit salah satu dari banyaknya kasus kejahatan yang Sean lakukan. Sean tidak terkejut jika Reya mengetahui pekerjaannya selama ini, dia juga tidak ingin menyangkal terhadap tuduhan tersebut yang menurutnya tiada hubungan apa-apa dengan gadis itu. Bukankah itu memang sudah menjadi tugas utamanya mengenal target sebelum berburu? Sean menarik lengan Reya hingga wajah mereka berdekatan. "Dengar, Reya, apapun pekerjaanku, aku tidak pernah melakukannya dengan cara yang menjijikkan sepertimu. Setidaknya, aku tidak mengambil sesuatu yang tidak pantas dari mereka." Apapun yang Reya katakan, Sean tetap mengarahkan kalimat demi kalimat untuk terus mengungkit kejadian pagi itu. Tidak peduli seberapa baik gadis itu berusaha mengalihkan pembicaraan, Sean masih tertarik membahas masalah yang satu ini. Mendengar hal tersebut, Reya mengerti jika Sean belum pernah melewatkan sesuatu yang istimewa dengan seseorang. Tidak meleset sama sekali perkiraannya tentang Sean yang tidak tahu apa-apa soal ranjang. "Bukan sepertimu." Sean menggeleng sekali lagi. "yang mungkin saja sudah ada banyak pria yang bernasib sama sepertiku." Jalan yang berbeda Sean temukan dalam diri Reya. Menurut yang dia lihat selama ini, adegan seperti itu hanya dilakukan oleh pria saja, tapi kali ini dia malah melihat tabiat menjijikkan itu dikuasai oleh seorang gadis. Entah itu adalah cara Reya dalam melakukan tugasnya, atau dia memang memiliki kegemaran langka. "Jaga mulutmu saat menghinaku!" bentak Reya murka seraya memamerkan kekuatan tangannya pada Sean. Sebuah tinju kuat yang berasal dari tenaga dalam Reya, membuat darah segar mengalir di sudut bibir Sean. Diusapnya darah dengan perih yang hampir tidak terasa, lalu membuang muka ke arah lain. Beberapa kali memejam mata dan hanya mengepal tangan, dengan d**a yang bergemuruh hebat. Sean benar-benar sedang menguatkan diri untuk tidak menyakiti satu makhluk yang menurutnya harus dilindungi dari apapun. Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa dia sendiri ingin wanita yang satu ini segera mati. Entah mengapa, meskipun ini bukan kali pertama Sean menghadapi seorang gadis, tapi dia menjadi begitu peduli pada Reya untuk tidak menyakitinya sama sekali. Bahkan, malah berpikir untuk melindungi gadis itu dari apapun. Gila. Ya, mungkin Sean terlalu gila karena kelemahannya harus terletak pada gadis yang satu ini. Atau rasa itu akan berubah suatu saat karena rasa benci yang mendalam. Sean tidak paham dengan jalan pikiran yang tiba-tiba menyulitkan posisinya. Namun begitu, perasaan iba yang tak seharusnya ada masih Sean tutupi dari Reya. Beberapa detik kemudian, Sean bangkit dan membelakangi Reya. "Aku tidak punya banyak waktu untuk membahas standar kerjamu, Reya. Sebaiknya cepat selesaikan urusanmu denganku." Lagi dan lagi. Sean tetap pada pembahasan serupa. Dia tak ubahnya seperti seorang gadis di mata Reya. Biasanya sikap itu hanya ada dalam diri wanita, dimana mereka sangat suka mengatakan hal yang sama ribuan kali. "Aku tidak punya urusan denganmu, Sean. Bukankah kau yang memulai? Menculik kakekku hanya menjadikanmu pecundang di mataku," ucap Reya setengah berteriak. "Mencuri dari seorang pencuri adalah hal yang seimbang. Semua ini adalah permulaan permainan yang kamu ciptakan, aku hanya mengikutinya saja." Suara Sean tak kalah lantangnya dari Reya. Keduanya masih sama berdebat dengan kata-kata. "Semua tidak setara saat kau melibatkan keluarga, Sean! Kenapa tidak hanya berurusan denganku saja, kenapa harus menyeret kakekku!" Reya meronta hebat. Akhirnya suara serak memenuhi tenggorokannya yang mulai kering. Dia tidak terima dengan tindakan Sean yang membalasnya melalui Mark. Sean memalingkan wajahnya menghadapi Reya. "Jika ini satu-satunya cara, bahkan aku siap menukar nyawanya dengan satu jawaban darimu. Dimana kau menyimpannya, Reya? Dimana!?" Teriakan keras Sean membuat jantung Reya hampir copot. Tentu dia tidak menginginkan hal seperti itu terjadi pada Mark. "Aku tidak memilikinya!" jawab Reya ikut berteriak. "sudah berapa kali aku katakan jika aku tidak memilikinya." Jawaban yang sama masih Reya pertahankan, karena memang dia tidak menyimpan apapun. Usai melakukan tugas, Reya menyerahkan apa yang seharusnya ia serah. Selebihnya menikmati buah dari kerja kerasnya. Sean kembali mendekat dan menangkap dagu Reya. "Lalu ada dimana? Apa kau memberinya pada seseorang? Siapa dia? Temukan dia lalu ambil kembali." Begitu Sean menanyakan dan memerintah, tidak peduli meskipun gadis itu menggeleng beberapa kali. Reya diam. Tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Meskipun bisa, dia sendiri bingung harus memulai cerita darimana. Mustahil mengambil kembali harta karun yang sudah ia lemparkan dalam mulut harimau. Melihat Reya diam, hilang sudah kesabaran Sean. Lalu dia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang dengan segera. "Nyalakan layarnya." Setelah perintah tersebut Sean utarakan pada seseorang, layar dengan ukuran sedang yang terpasang di dinding memperlihatkan keadaan dan keberadaan Mark secara langsung. Mata Reya terbuka lebar dengan jantung berpacu bak kuda berlarian. "Mari lihat, apa kamu masih menyembunyikannya," kata Sean, mengambil sebuah remot di meja dan menekan tombolnya. Meskipun masih dalam wajah yang tertutup rapat, Reya masih bisa mengenali jika yang saat ini sedang berteriak sakit adalah Mark. Kakeknya yang berusia lebih dari delapan puluh tahun. "Lepaskan kakekku, lepaskan!" jerit Reya histeris dan panik luar biasa. Dia berusaha bangkit untuk mendekati Sean, tapi hanyalah gerakan yang sia-sia. Sean belum juga melepas tangannya dari tombol tersebut sebelum Reya mengatakan sesuai keinginannya. "Jangan sakiti kakekku. Aku mohon!" pinta Reya mengiba dengan deraian air mata. Sungguh, pemandangan di depan mata membuatnya tak tahan. "Itu tergantung padamu, Reya," kata Sean seolah buta akan kesakitan yang Reya rasakan. "Baiklah." Reya mengangkat wajahnya secepat mungkin. "aku akan melakukan apapun untukmu." Bersamaan dengan perjanjian yang Reya lakukan, Sean melepaskan tombol di tangannya. Lega Reya rasakan saat melihat Mark yang kini tidak lagi meraung sakit, meski beberapa saat lagi dia sendiri yang akan merasakan sakit dengan perjanjian yang baru saja ia sepakati. "Pintar sekali," kata Sean puas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN