Dika sedang menemani adiknya duduk di ruangan yang sudah seperti kapal pecah. Diseberang meja rafa terdiam sejak lima jam yang lalu. Sang abang sudah sangat kesal dengan jadwal lembur satu minggu ini dan sekarang ditambah adiknya yang tidak mau beranjak dari posisinya, membuat dika makin sulit untuk menghabiskan waktu dengan tika. Ini pertama kalinya dika melihat adiknya tidak memiliki semangat hidup. Setelah selesai menghancurkan properti dan menghajarnya, rafa bersikap seperti batu. Beruntung tadi melati mau membantu membersihkan luka-luka pada tangan rafa. "Raf.." "...." "Seratus dua puluh tujuh" ucap dika, ini sudah yang ke seratus dua puluh tujuh dirinya memanggil sang adik dan diabaikan Keduanya kembali terdiam, rafa dengan semua emosinya dan dika dengan penyesalan yang tak mamp