Bab 5

1061 Kata
Hah! Ciuman? Laki-laki yang duduk di depanku ini ternyata punya penyakit jiwa ya? Seenaknya minta ciuman! Fix dia harus segera ke rumah sakit jiwa! Angga nggak pernah cerita kalau sepupunya ini resenya minta ampun, kalau tahu dia suka seenaknya lebih baik dulu aku nggak terima jadi istri endorse nya. "Lo ya, rese banget jadi cowok. Nggak ada cerita cium-ciuman! Hubungan kita itu sekedar endorse saja, lo butuh gue untuk jadi istri endorse dan gue butuh lo untuk jadi suami konten, nggak ada cerita lebih dari itu! Paham? Kalau paham kita lanjut kalau nggak batalin saja semuanya," ujarku dengan tegas. Senno berdiri dari tempatnya duduk tadi lalu menghampiriku. "Oke, saya tunggu di parkiran." Parkiran lagi? "Nggak mau, tunggu di sini saja." Aku berjalan menuju pintu masuk dan mencabut kuncinya agar dia tidak kabur ke parkiran. Sudah cukup aku mengikuti maunya apa dan sekarang dia yang harus ikuti mauku apa. Senno terdiam beberapa saat lalu kembali duduk di sofa. Seharusnya dari awal aku bersikap tegas agar dia tidak menindasku. Walau aku sudah menerima uang endors tapi tetap saja harus ada aturan dalam kontrak endors yang sudah disepakati. "Kita harus mempertegas hubungan kita sebelum melangkah lebih jauh. Gue nggak akan bersikap lunak ke lo lagi, paham?" Ujarku dengan mata melotot. Senno mengangguk pelan. "Aturan yang harus lo patuhi selama gue menjadi istri endors. Pertama, tidak boleh ada kontak fisik baik itu ciuman, hubungan seksual dan lain-lain. Kedua, lo nggak boleh seenaknya dan memperlakukan gue kayak tadi. Ketiga, lo harus lebih sering tersenyum saat menjadi suami konten gue," aku menghembuskan napas beberapa kali saking lelahnya bicara aturan yang harus dibuat sebelum endors ini berlanjut. "Tidak masalah," balas Senno datar. "Oke, kita temui wanita itu." **** Restoran tempat Senno membawaku lumayan sepi malam ini, bahkan bisa dibilang tidak ada satupun pelanggan lain atau memang disengaja? Entahlah. Senno membukakan pintu mobil agar aku bisa turun dan untuk pertama kali dia tersenyum. Baiklah, dia mulai mengikuti kemauanku. Mungkin karena kami berada di tempat umum dan dilihat banyak orang walau hanya pelayan yang berdiri di depan pintu masuk restoran ini. "Terima kasih," balasku dengan senyum tak kalah manis. Kami berjalan memasuki restoran dan langsung disambut dua pelayan yang langsung membawa kami ke bagian tengah restoran. Aku melihat seorang wanita sedang duduk membelakangi kami, aku hanya melihat punggungnya dan rambut indah yang tergerai, beberapa kali wanita ini menoleh ke arah penyanyi kafe yang sedang melantunkan lagu. Senno berhenti tepat di belakang wanita itu. Dia melihatku, matanya menyiratkan kalau aku harus menolongnya. Tidak lama dia menggenggam tanganku lalu berjalan menuju arah kiri meja wanita itu. "Adara," sapanya. Adara, nama yang indah dan juga seindah wajahnya. Wajahnya sangat cantik dengan polesan makeup minimalis. Senyumnya indah, sungguh sangat keibuan dan dewasa pantasan Senno sampai rela mengeluarkan uang untuk mengendors ku. "Wah, ini dia calon istri lo?" Tanyanya. Senno mengangguk. "Mana bang Setto?" Tanyanya sambil celingak celinguk mencari sosok laki-laki yang namanya hampir sama dengannya. Mungkin itu abangnya. "Lagi di toilet, hai ... silakan duduk," ujarnya dengan ramah ke arahku. Tidak lama aku melihat seorang laki-laki dewasa dan rupawan, sangat mirip dengan Senno sedang berjalan dari arah toilet. Matanya mengarah ke Adara dan terlihat jelas mereka saling mencintai. Senno gila! Mereka saling mencintai dan dia dulu berusaha memisahkan mereka! Nggak punya perasaan! "Masih mual?" Tanya Adara kuatir. Laki-laki bernama Setto menggeleng pelan lalu duduk menatap kami. "Apa kabar lo?" Tanya Setto ke arah Senno. "Baik, oh iya perkenalkan ini Ellia calon istri gue," ujarnya memperkenalkan aku ke Setto dan Adara. Aku reflek menjulurkan tangan ke arah Setto lalu Adara. "Silakan duduk," ujar Adara dengan ramah. Kami berdua pun duduk lalu memesan makanan. Setelah pelayan pergi Senno mulai membuka percakapan. "Lo sakit bang?" Tanya Senno. Ah iya, tadi Adara bilang Setto mual. Setto menggelengkan kepalanya lalu menggenggam tangan Adara, sekilas aku melirik raut wajah Senno dan entah kenapa ada kesan sedih dari tatapan matanya. "Onet akan punya adik, Adara hamil dan kali ini gue yang mual-mual," balas Setto dengan antusias, dia lalu mencium tangan Adara. Adara tersenyum dan menatap Setto penuh cinta. Duh, aku nggak habis pikir ada manusia yang berusaha memisahkan mereka. Ah, mereka sempat berpisah dan semua ini karena manusia bernama Senno. Jahat banget. "Wow, Onet akan punya adik. Selamat bang, Adara." Balad Senno. "Selamat bang, mbak." Aku pun berusaha bersikap normal dan mengucapkan selamat atas berita bahagia ini. "Terima kasih, Ellia. Semoga kalian cepat menyusul, kasih Onet sepupu agar bisa bermain bersama," balas Setto. Aku hanya bisa tersenyum. "Doakan saja," balasku. "Gimana persiapan pernikahan kalian? Lancar?" Tanya Adara. Makan malam pun berlanjut dengan banyak pembahasan tentang kapan pertama kalinya kami bertemu, apakah Senno bersikap baik padaku dan banyak pembahasan lain di sela-sela makan malam kami. "Kami merokok sebentar, kamu dan Ellia di sini dulu" ujar Setto kepada Adara. Adara mengangguk pelan. Setto mencium pipi Adara dengan lembut sebelum jalan menuju taman belakang, Senno pun berdiri dari kursinya dan menatapku seakan sedang meminta izin untuk ikut bersama Setto. Aku mengangguk pelan, tanpa aku sadari Senno mengelus pipiku sebelum dia pergi mengikuti Setto. "Ellia," panggil Adara. Aku yang sedang menikmati live musik langsung menatap Adara. "Terima kasih sudah mengisi kekosongan hati Senno," ujar Adara. Aku tersenyum. "Aku beruntung bisa mengenal dan jatuh cinta ke laki-laki sebaik Senno, mbak." Balasku. Sudah seharusnya aku membantu Senno karena ini sudah termasuk tugasku sebagai istri endors. "Syukurlah," balas Adara. Kami mulai membahas tentang pernikahan dan lika liku yang akan aku hadapi nanti setelah menikah. Kami juga membahas tentang anak pertama mereka dan juga kehamilan Adara yang masih muda. Tidak lama Senno muncul sendirian dari arah luar, wajahnya tegang dan gusar. "Kita pulang," ujarnya dengan nada sedikit tinggi. "Loh kenapa? Setto mana?" Tanya Adara. Senno bukannya menjawab malah menarik tanganku meninggalkan meja makan lalu membawaku keluar dari restoran. "Senno!" Aku berusaha untuk melepaskan tangannya. Kenapa jadi begini? "Lo kenapa sih? Kok nggak sopan gitu?" Tanyaku membabi buta. "Kita pulang," balasnya lebih lunak. Aku menghela napas. "Kalian berantem lagi? Ya Tuhan, masalah Adara lagi? Helloooo, tuan Senno. Kapan move on? Gila lo ya!" Makiku kesal. "Diam!" "Mereka sudah mau punya anak dua? Masih saja rese gangguin pernikahan mereka, ingat karma itu ada! Jangan menyesal kalau istri lo nanti juga diganggu cowok lain!" Senno membuang napasnya beberapa kali sedangkan aku masih mengoceh tanpa henti. Tidak lama Senno tiba-tiba menarikku ke arahnya lalu langsung membungkam mulutku yang masih mengoceh dengan mulutnya. Senno menciumku! ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN